“Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam, dan tidaklah orang-orang yang telah diberi kitab berselisih paham kecuali sesudah pengetahuan datang kepada mereka, karena kedengkian sesamanya. Dan siapa-siapa yang tidak percaya kepada keterangan-keterangan Allah ini. Maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya. (QS. 3 : 19).
Al'Islam (kepasrahan) adalah suatu perjalanan yang suci untuk menuju Tuhan Yang Maha Pemurah. Dengan demikian Al-Islam akan dapat menghilangkan pengaruh penyempitan lingkungan kosmos atas manusia, karena kapanpun dan dimanapun selubung materi Al'Islam terangkat, maka bersinarlah cahaya ilahi melaluinya. Karena sesungguhnya, Al'Islam melukiskan keserbaragaman dalam keEsaan, ia adalah realitas surgawi yang turun ke bumi dan merupakan kristalisasi Ruh dan bentuk ajaran dalam selubung kesempurnaan yang bukan berasal dari dunia perubahan dan kematian.
Al'Islam merupakan gema dari dunia lain (al'akhirah) dalam metrik eksistensi temporal tempat dimana manusia hidup (al'dunya), yang pada hakikatnya merupakan saksi pengejawantahan Yang Maha Esa dalam yang banyak dan keselarasannya telah memberi pengaruh pembebasan jiwa, yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada yang banyak dan memungkinkan manusia untuk merasakan kebahagiaan yang tak terperikan dari kedekatannya dengan Yang Maha Esa.
Al'Islam memenuhi tujuan dan fungsinya sebagai penopang dan pembantu ajaran Al-Qur'an itu sendiri dengan bertindak sebagai pendukung untuk mencapai tujuan Islam
Prinsip-prinsip Al'Islam ini yang ada dalam dimensi batin ajaran dan spiritualitasnya di dalam pengertian universalnya akan dapat dijadikan kriteria ampuh untuk menilai sifat suatu proses pencapaian pembaharuan dengan kembali ke Islam yang murni. Namun, konsepsi Islam yang murni ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum muslim dan sangat menghancurkan kekuatan yang dapat menentang pengaruh kebudayaan asing yang melemahkan.
Oleh karena itu, merubah tradisi dan budaya Islam berarti mengosongkan jiwa dan pikiran muslim dari kekayaan kandungan Islam itu sendiri.
Sebuah analisa mendalam telah mengungkapkan bahwa keinginan untuk mengubah gaya dalam tradisi dan budaya Islam dalam banyak hal bukanlah berasal dari urgensi zaman; melainkan karena sebagian besar orang yang ingin mengadakan beberapa perubahan itu telah terlepas dari tradisi Islam dan bahkan terasing dari para jenius etnis masyarakat Islam tradisional itu sendiri.
Karena malapetaka dalam agama apapun yang diakibatkan oleh penghancuran tradisi dan kebudayaannya tidaklah lebih baik daripada yang diakibatkan oleh melemahnya ajaran-ajaran moral dan spiritual serta pengingkaran terhadap perintah yang terkandung dalam hukum Tuhannya.
Kejujuran akan menuntut seseorang yang tidak mengakui kelemahan dirinya sendiri dengan dalih tuntutan zaman, dan tidak mempunyai keberanian untuk menciptakan bentuk baru dari tradisi dan budaya yang tidak keluar dari tradisi dan budaya Islam tradisional, hal ini dikarenakan orang tersebut tidak memahami ajaran agama dan spirit yang mendasari tradisi dan budaya Islam tradisional tersebut, atau tidak memahami akar-akar terdalam dari masyarakatnya sendiri yang telah memelihara tradisi dan budaya Islam tradisional sepanjang masa.
Berbicara mengenai Al'Islam, tentu saja tidak terlepas dari kata “Din”. Karena “Din” menunjukkan adanya kaitan dan hubungan yang sangat dekat antara Allah dan manusia.
Oleh sebab itu, “Din” bukanlah sekadar arti Agama, sebagaimana pengertian terbatas pada masa sekarang ini, akan tetapi “Din” adalah; nafas kehidupan manusia yang dilandasi kesadaran akan ketuhanan. Karena kehidupan ini tidak akan bermakna sama sekali dan menjadi sia-sia jika tanpa dilandasi kesadaran ini.
Maka, “Din” merupakan pengetahuan yang berdasarkan tata cara dalam menghayati maknanya yang terkandung di dalam Al'Islam (penyerahan), dan bertujuan mempersiapkan manusia dan jin untuk menerima pengetahuan ilahiah (gnosis-ma'rifah) dalam hukum suci (syari'ah).
Maka “dinil Islam” (Agama Islam) adalah; suatu pengetahuan tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan dilandasi kesadaran akan ketuhanan melalui penyerahan diri pada suatu perjalanan suci yang berdasarkan penampakkan hukum hakikat ilahi (alhaqiqah).
“Ia memberikan prinsip dan sarana bagi manusia untuk mengembangkan pengetahuan dan memperoleh sifat-sifat akhlak yang mulia”.
Jika Al'Islam diambil dari kata; “Istilam” (reruntuhan), yakni; gejolak cinta yang menggelora (walah) dari seorang hamba terhadap Tuhannya pada saat terbentuk menjadi suatu reruntuhan.
Maka sang pecinta akan merasakan pengalaman spiritual dan berintegrasi ke dalam pusat utama, karena istilam berhubungan erat dengan prinsip intelektual manusia.
Istilam di dalam Al'Islam, bukanlah ekspresi dari pengalaman subyektif ego semata dari seorang pecinta Tuhan yang bangkit dari reruntuhan, melainkan buah pengamatan terhadap realitas yang melebihi wujud sang pecinta itu sendiri, dan untuk itulah sang pecinta harus menjadi seorang penyingkap rahasia dan penunjuk jalan (al-huda).
Jika Al'Islam diambil dari kata “Istislam” (aktivitas) yang secara aktif telah memenuhi kehendak ilahi dengan ketaatan dan kepatuhan penuh serta sempurna, karena Istislam merupakan tahapan dari Al'Islam yang hakiki.
Istislam melengkapi logika untuk mencapai bentuk pengetahuan yang tidak dapat dipahami tanpa bantuan kecakapan logis manusia yang pasrah.
Selain itu, Istislam menghasilkan transformasi jiwa serta perasaan-perasaannya dalam suatu cara yang sangat aktif yang tidak mungkin dihasilkan oleh usaha logis semata, dan pada akhirnya akan melahirkan kesepakatan dalam jiwa manusia untuk mentaati dan mematuhi panggilan suci ilahi rabbi.
Jika Al'Islam diambil dari kata; “Salaam” (kedamaian keselamatan kebahagiaan dan kesejahteraan) yang kesemuanya itu mengacu pada hamba-hamba Allah didalam pencariannya (thalab) sebagai ekspresi kebenaran spiritual dari seorang yang telah mencapai kebenaran itu dan hidup dalam keselarasan alam (thab'I mauzun), sebagai tangga untuk pendakian menuju dunia spiritual, dunia makrifat dan pencerahan metafisik.
Perpaduan antara Al'Islam dengan Salaam tidak dapat terjadi, melainkan harus melalui penemuan kembali tentang gnosis-ma'rifah atau metafisika yang hanya dapat dijangkau oleh para hamba Allah yang mampu menerima pesan-Nya.
Karena “Salaam” didalam “Al'Islam” tetap dipandang sebagai sarana untuk mengungkapkan tidak hanya perasaan-perasaan, melainkan juga pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang mendasar dalam mencapai kedamaian dan keselamatan yang dicerna dan membantu proses transformasi seseorang untuk mengungkapkan dirinya dalam epifani-epifani yang logis, seperti alam yang murni dan mengantar pada kebebasan dari kungkungan duniawi yang serba terbatas itu.
Dinil Islam (agama Islam) secara garis besarnya dapatlah dikatakan sebagai suatu reruntuhan dari gejolak cinta seseorang hamba terhadap Tuhannya yang secara aktif memenuhi kehendak ilahi dengan melakukan ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya, untuk mencapai kedamaian keselamatan kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun diakhirat kelak,
Dinil Islam adalah suatu agama samawi yang diberi nama langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-hamba-Nya yang merindukan asal kediaman mereka di surga.
Dinil Islam secara langsung melambangkan hakikat realitas penerbangan dan pendakian melalui tingkatan inisiatik paling tinggi yang memungkinkan diri hamba Allah lebur dan muncul dalam subsistensi diri sejatinya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan benar kepada agama ciptaan Allah, yang diciptakan-Nya (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah agama yang lurus); tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. 30 : 30)
“Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya); pada hari itu mereka terpisah-pisah” (QS. 30 : 43).
sangat bermanfaat sekali
ReplyDeleteterima kasih atas makalahnya
di tunggu postingan berikutnya
salam kenal & sukses selalu
penerjemah bahasa jerman
penerjemah bahasa belanda