ILMU NEGARA
TINJAUAN MATA
KULIAH
1. Diskripsi Singkat Mata Kuliah
Mata
Kuliah Ilmu Negara (IN) pada dasarnya memakai sistematika Georg Jellinek
ditambah teori-teori lain yang berkembang. Adapun pembahasannya meliputi, Sifat
dan Hakekat Ilmu Negara, Unsur-unsur Negara, Teori Terjadinya Negara, Teori
Lenyapnya Negara, Teori Tujuan Negara, Teori Bentuk Negara, Teori Bentuk
Pemerintahan dan Organisasi Negara.
2. Kegunaan Mata Kuliah
Mata
kuliah Ilmu Negara merupakan Mata Kuliah Prasyarat, yang berguna bagi Mahasiswa
khususnya untuk dapat mengetahui dan memahami dasar-dasar tentang negara secara
umum.
3. Tujuan Perkuliahan
Mata
Kuliah Ilmu Negara disajikan untuk memberikan pemahaman yang konprehensif
tentang prinsip-prinsip Ilmu Negara Umum yang meliputi :
-
Sifat
dan Hakekat Ilmu Negara;
-
Unsur-unsur
Negara;
-
Teori
Terjadi dan Lenyapnya Negara;
-
Teori
Tujuan Negara;
-
Teori
Bentuk Negara;
-
Teori
Bentuk Pemerintahan;
-
Organisasi
Negara.
4. Strategi Perkulihan
Metode penyajian yang digunakan terdiri dari ceramah, tanya
jawab, diskusi dan penugasan.
BAB I
SIFAT DAN
HAKEKAT ILMU NEGARA
1. Pengertian Ilmu Negara
Ilmu Negara
berasal dari rangkaian dua kata-kata, yakni : “Ilmu” dan “negara”. Ilmu
berarti suatu sistem pengetahuan (supernatural
knowledge; esoteric wisdom; science);
Sedangkan
pengertian negara dirumuskan juga dalam berbagai definisi, seperti dikemukakan
oleh para ahli pikir :
a. Aristoteles, negara (polis) ialah
persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang
sebaik-baiknya;
b. Jean Bodin, negara ialah suatu persekutuan
dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akan
dari suatu kekuasaan yang berdaulat;
c. Hans Kelsen, negara ialah suatu susunan
pergaulan hidup bersama dengan tata paksa;
d.
Harold Laski, negara adalah suatu organisasi paksaan (coercive instrument);
e.
Hugo Grotius, negara merupakan suatu persekutuan yang
sempurna dari masyarakat yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
f.
Woodrow Wilson, negara adalah rakyat yang terorganisasi
untuk hukum dalam wilayah tertentu (a
people organised for law within a definite territory);
g.
Bluntschli, negara adalah diri rakyat yang disusun
dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu (politisch organisierte Volksperson eines bestimten landes).
h.
Logemann, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan
yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu
masyarakat.
i.
Kranenburg, manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya
juga makhluk golongan dan Ilmu Negara memandangnya sebagai makhluk golongan
tersebut.
Sedangkan dalam pengertian
negara itu harus tercermin tiga unsur yang merupakan syarat keberadaan negara
itu yakni :
1. Adanya tempat, daerah atau wilayah
tertentu.
2. Adanya rakyat atau masyarakat yang
mendiami atau menempati daerah atau wilayah tertentu itu.
3. Adanya organisasi yang berbentuk
pemerintah yang berkuasa dan berdaulat, yang menjamin dan melindungi rakyat
atau masyarakat yang mendiami daerah atau wilayah tertentu tersebut.
Di
negara-negara yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris, dipergunakan istilah “political science” atau “political theory”, di Perancis disebut “science politiques” atau “science d’etat”, di Spanyol disebut “teoria politica”, sedangkan di negeri
Belanda disebut “staatsleer”.
Istilah “political science” mengandung makna “politik”,
yang berasal dari kata “politeia”,
yang berarti “negara”. Ilmu Negara dianggap sama dengan ilmu politik, yang
berasal dari bahasa Yunani (= polis)
yang tidak hanya berarti negara. Kata tersebut tidak hanya berkaitan dengan
masalah kenegaraan, tapi juga berarti suatu akal dan upaya untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
2. Obyek Ilmu Negara
Ilmu Negara berarti ilmu yang mempelajari, mengkaji dan
menyelidiki segala sesuatu yang menyangkut negara. Baik mengenai asal usulnya,
seluk-beluk, bentuk dan wujudnya maupun tentang segala sesuatu yang menyangkut
negara itu secara umum.
Karena itu, Prof. Kranenburg dalam bukunya “Algemeene Staatsleer” menyatakan, negara
adalah buah penyelidikan ilmu negara umum. Olehnya dicoba untuk mengikuti
tumbuh, wujud dan bentuk-bentuk negara. Dari obyeknya, yakni negara dalam
pengertian yang abstrak, ilmu negara mengkaji lebih lanjut asal mula, hakekat
dan bentuk negara pada umumnya.
Tugas ilmu negara adalah mengkaji dan mempelajari sifat,
seluk-beluk, segi-segi dan masalah-masalah negara secara umum tersebut.
termasuk asal mula negara, sejarah terjadinya negara, organisasi dan peranannya
dalam perikehidupan manusia. Ilmu negara mengumpulkan segala gejala-gejala
serta peristiwa-peristiwa mengenai negara, pada masa lalu, kini dan tinjauannya
pada masa datang.
Pola
pengkajian ilmu negara bertautan pada dua kerangka yang beraspek ganda. Di satu
pihak penyelidikan dan pengkajiannya dalam tatanan struktural yang merupakan
strategi dan tata kerjanya merangkai gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa
mengenai seluk-beluk negara, di lain pihak berperan fungsional, yang merupakan
taktik kerjanya dalam menentukan materi mencapai tujuan.
3.
Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara
Jika ilmu
negara menilai obyeknya adalah negara dalam pengertian yang abstrak, terlepas
dari keadaan, tempat dan waktu tertentu. Ilmu negara menitik-beratkan untuk
mempelajari keseluruhan permasalahan negara secara umum, utuh dan menyeluruh,
tanpa mempersoalkan negara yang mana atau yang bagaimana.
Sebaliknya
hukum tata negara menitikberatkan perhatiannya pada masalah-masalah hukum yang
menjadi landasan kehidupan suatu negara tertentu. Dengan kata lain, hukum tata
negara menilai negara itu dari pengertian, sifat dan bentuknya dalam pengertian
yang sudah kongkrit. Terikat
pada keadaan, tempat dan waktu tertentu. Jadi obyeknyapun sudah pasti, pada
suatu negara tertentu.
Dari negara
tertentu itu, misalnya negara Republik Indonesia, negara Amerika Serikat,
negara Republik Rakyat Cina, dan lain sebagainya, dipelajari strukturnya,
lembaga-lembaga beserta wewenang dan kewajibannya masing-masing.
Lebih jelas
lagi pengertian tentang hukum tata negara ini, seperti dirumuskan oleh Prof.
Van Vollenhoven dalam bukunya “Thorbecke
enhet Administratief Recht”, hukum tata negara adalah rangkaian
peraturan-peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ)
suatu negara dengan memberikan wewenang-wewenang kepada badan-badan itu dan
yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik
yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
Dengan
demikian, seperti disimpulkan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya
“Asas-asas Ilmu Negara dan Politik”, kini letak batas dengan “ilmu negara” yang
tidak mengenal negara-negara tertentu, melainkan menyelidiki terbentuknya,
sifat dan wujud negara-negara di dunia ini pada umumnya.
Sudah barang
tentu, hukum tata negara di satu pihak dan ilmu negara di lain pihak saling
mempengaruhi dan saling menjelaskan. Maka dalam buku-buku hukum tata negara
hal-hal dari ilmu negara dapat dipergunakan sebagai batu loncatan untuk sampai
pada pembahasan suatu hukum tata negara. Sebaliknya, dalam buku-buku tentang
ilmu negara hal-hal dari hukum tata negara dari negara-negara tertentu dapat
dipergunakan sebagai contoh dalam praktek dari apa yang diuraikan dalam ilmu
negara.
Jadi jika
ilmu negara bebas dalam upayanya mengumpul dan menyusun data-data dan
memperoleh pengertian mengenai negara pada umumnya, dengan obyeknya negara
dalam pengertiannya yang umum dan abstrak; maka hukum tata negara terbatas pada
bidang hukum dengan batasannya dalam suatu negara tertentu saja dengan
pengertian dan pembahasan yang kongkrit.
Menurut
kesimpulan Soehino, disarikan dari buku
karangannya : “Ilmu Negara”, bahwa obeyk dari ilmu negara itu bersamaan dengan
obyek ilmu hukum tata negara, hanya sudut pandangannya yang berlainan. Ilmu
negara memandang negara itu dalam pengertian yang abstrak, sedangkan hukum tata
negara dari sudut pandangan yang kongkrit, yang tertentu, maka demikian
ternyata ilmu negara itu merupakan syarat yang terpenting, dan merupakan dasar
dalam mempelajari ilmu hukum tata negara. Di sinilah letak hubungan yang sangat
erat antara ilmu negara dengan ilmu hukum tata negara itu.
4.
Ilmu Negara dan Disiplin Ilmu Lain
Ilmu negara
pada hakekatnya bertautan erat dengan pelbagai disiplin ilmu lain yang
menyangkut hidup dan penghidupan manusia lain yang menyangkut hidup dan
penghidupan manusia seperti sosiologi, psikologi, hukum, ekonomi, sejarah,
filsafat dan lain sebagainya. Ilmu negara di suatu ujung tertambat pada
sosiologi dan di ujung yang lain ilmu filsafat.
Untuk
memperoleh gambaran tentang kawasan suatu negara perlu ilmu menunjang ilmu
bumi, untuk mengkaji sejarah perkembangan suatu bangsa dibutuhkan pengetahuan
tentang hukum publik internasional. Tentang sarana untuk mempelajari
masyarakatnya diperlukan bantuan ilmu sejarah, ekonomi, politik, filsafat,
sosiologi, psikologi dan sebagainya.
Ilmu negara
pun berkaitan erat dengan ilmu politik. Di tilik dari aspek kenegaraan, dalam
ilmu negara dan ilmu politik, kedua-duanya sangat erat hubungannya dengan
adanya negara. Meskipun pada dasarnya, ilmu negara lebih cenderung mendekati
sifat hukum tata negara yang bersifat statis, maka ilmu politik seperti halnya
hukum administrasi negara, sifatnya lebih dinamis lagi.
Tapi tak
dapat disangkal, persoalan ilmu negara mencakup bidang yang cukup kompleks.
Menyangkut segi kawasan, persoalan masyarakat dan organisasi pemerintahan
dengan segala pengaruh dan hubungannya satu dengan lainnya. Mempelajari dan
mengkaji ilmu negara mutlak memerlukan ilmu penunjang lainnya yang tak dapat
dielakkan kaitannya.
BAB II
UNSUR-UNSUR
NEGARA
Yang
dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan negara
itu ada. Dengan lengkapnya unsur-unsur itu, maka lengkaplah tiang-tiang yang
pokok bangun seuah negara.
Unsur-unsur negara dimaksud terdiri
dari :
1. Wilayah tertentu.
2. Rakyat.
3. Pemerintahan yang diakui.
1. Wilayah
Yang
dimaksud dengan wilayah tertentu ialah batas wilayah dimana kekuasaan negara
itu berlaku. Selain itu dikenal apa yang disebut daerah-daerah eksteritorial yang artinya keuasaan
negara bisa berlaku di luar daerah kekuasaannya sebagai pengecualian, misalnya
di tempat kediaman kedutaan asing, dimana berlaku kekuasaan negara asing
tersebut. Juga suatu kapal perangbisa merupakan daerah eksteritorial.
Mengenai
batas wilayah suatu negara tidak ditemui dalam Undang-undang Dasar Negara,
tetapi merupakan ketentuan dalam perjanjian (traktat)
antara dua negara atau lebih yang berkepentingan dan biasanya merupakan negara
tetangga. Jika antara dua negara saja maka perjanjian itu bersifat bilateral, sedangkan jika lebih dari dua
negara, sifat perjanjian itu mulilateral.
Jika kata-kata wilayah itu disebutkan juga dalam UUD, maka ketentuan itu tidak
mempunyai arti yuridis sama sekali. Oleh karena penentuan wilayah tidak bisa
ditentukan secara sepihak. Penentuan dalam UUD hanya suatu peringatan saja
bahwa negara itu mempunyai wilayah yang terbatas.
Wilayah
atau territoir mempunyai arti luas
yang meliputi :
1. Udara.
2. Darat.
3. Laut.
Ketiganya itu ditentukan oleh perjanjian
internasional.
2. Rakyat
Istilah rakyat dalam arti sehari-hari sangat luas,
sehingga dalam arti teknisnya sering menimbulkan kekaburan. Setidak-tidaknya
bisa dirumuskan bahwa rakyat sebagai sekumpulan manusia yang hidup di suatu
tempat. Arti rakyat dengan bangsa itu berbeda.
Beberapa
istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat ialah :
a. rumpun (ras).
b. Bangsa (volks).
c. Nazi (natie).
Rumpun,
diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena
mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama. Ciri-ciri jasmaniah itu misalnya warna
kulit, warna rambut, bentuk badan, bentuk muka dan sebagainya. Karena persamaan
ciri-ciri jasmaniah itulah maka penduduk dunia ini dibagi-bagi dalam dalam
macam-macam rumpun seperti rumpun melayu, rumpun kuning, rumpun putih, rumpun
hitam dan sebagainya. Masing-masing rumpun itu dibagi-bagi lagi dalam
rumpun-rumpun kecil atau campuran.
Bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia
yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai perasaan kebudayaan, misalnya
bahasa, adat kebiasaan, agama dan sebagainya. Oleh karena persamaan bahasa itu
misalnya maka orang akan menyebut bangsa Arab, walaupun di dalamnya terdiri
dari bangsa-bangsa Mesir, Irak, Yordania dan sebagainya. Dengan ciri-ciri
tersebut di atas, maka jelaslah bahwa arti rumpun
dibedakan dari bangsa.
Natie,
juga sering disebut sebagai bangsa, akan tetapi mempunyai ciri-ciri yang
berbeda. Natie diartikan
sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai
kesatuan politik yang sama. Ciri-ciri jasmaniah maupun kebudayaan tidak
merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya suatu bangsa (natie). Contoh
terdirinya natie didunia ini merupakan gabungan dari bangsa-bangsa yang
mempunyai bahasa-bahasa yang berbeda dan terdiri atas beberapa rumpun. Orang
menyebut bangsa Swiss, tetapi bangsa ini sebenarnya terdiri atas bangsa-bangsa
yang berbeda-beda bahasanya, sehingga negara itu disebut sebagai negara
nasional, karena negara itu didirikan atas keadaan nasional.
Dari
uraian arti rumpun, bangsa dan natie, maka rakyat itu mempunyai arti yang
netral. Rakyat sebagai salah satu unsur daripada negara harus dihubungkan
dengan ikatannya dengan negara, karena itu rakyat harus dimaksudkan sebagai
warga negara yang dibedakan dengan orang asing.
Kewarganegaraan
Ikatan
seseorang yang menjadi warga negara itu menimbulkan hak dan kewajiban baginya.
Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan seorang warga negara dapat
disimpulkan dalam empat hal yang disebut sebagai berikut :
1. Status Positif
Status positif seorang warga
negara ialah memberi hak kepadanya untk menuntut tindakan positif daripada
negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan
sebagainya. Untuk itu maka negara membentuk badan-badan pengadilan, kepolisian
dan kejaksaan dan sebagainya, yang akan melaksanakan kepentingan warga
negaranya dalam pelanggaran-pelanggaran yang behubungan dengan hal-hal tersebut
di atas.
2. Status Negatif
Status negatif seorang
warga negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara tidak boleh campur
tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara terhadap
hak-hak asasi warga negaranya bersifat terbatas, untuk mencegah timbulnya
tindakan yang sewenang-wenang daripada warga negara. Walaupun demikian, dalam
keadaan tertentu, negara dapat melanggar hak-hak asasi rakyat jika tindakannya
ditujukan untuk kepentingan umum. Umpamanya dalam hal negara hendak membuat
jalan yang harus melewati tanah milik perseorangan. Demi kepentingan umum,
milik perseorangan ini dapat dilanggar, akan tetapi sebagai imbangannya
diberikan ganti rugi.
3. Status Aktif
Status aktif memberi hak
kepada setiap warga negaranya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Untuk
mewujudkan hal ini, setiap warga negara diberi hak untuk memilih dan dipilih
sebagai anggota dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Status Pasif
Status pasif merupakan
kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan tunduk kepada segal
perintah negaranya. Misalnya, apabila negara dalam keadaan perang, maka setiap
warga negara menurut syarat-syarat tertentu wajib memanggul senjata untuk
membela negaranya.
Berdasarkan
empat kedudukan tersebut di atas, maka seorang asing itu dibedakan dari seorang
warga negara, karena bagi orang asing tidak ada ikatan hak dan kewajiban
terhadap bukan negaranya. Bila seorang asing itu menetap untuk waktu yang tidak
lama, maka ia dapat digolongkan sebagai penduduk yang terikat pada
syarat-syarat peraturan tertentu.
Mengenai
soal kewarganegaraan, masing-masing negara menganut asas yang menguntungkan,
misalnya orang mengenal dua macam asas kewargangeraan, dan lainnya adalah
campuran dari kedua asas itu. Asas tersebu adalah :
1.
Ius Sanguinus, adalah suatu asas dimana seorang menjadi warga negara
berdasarkan keturunan. Jadi seseorang itu menjadi warga negara Indonesia,
karena ia dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia.
2. Ius Soli, adalah suatu asas dimana seseorang menjadi warga negara
berdasarkan tempat kelahiran. Jadi seseorang itu menjadi warga negara Indonesia
bila ia dilahirkan diwilayah Indonesia.
Adpun
yang dimaksudkan dengan campuran adalah bilamana dua asas tersebut sekaligus
diperlakukan.
Dwikewarganegaraan (Bi patride)
Hal
ini adalah suatu keadaan bahwa seseorang mempunyai dua macam kewarganegeraan.
Misalnya, menurut syarat kewarganegaraan Inggris, seseorang yang dilahirkan di
dalam wilayah Inggris dianggap sebagai British
Citizen, walaupun orang tuanya itu warga negara Belanda. Sedangkan menurut
kewarganegaraan Belanda, seseorang yang diturunkan oleh seorang Belanda menjadi
orang belanda, walaupun ia dilahirkan di luar wilayah negeri Belanda. Dengan
demikian, timbullah keadaan bahwa orang tadi mempunyai dua macam
kewarganegaraan.
Tanpa Kewarganegaraan (A Patride)
Seseorang
juga dapat berstatus tidak memiliki kewarganegaraan sehingga ia menjadi tanpa
kewargangaraan. Misalnya
sebagaimana contoh di atas, negara Inggris memakai asas ius soli. Sedangkan
Belanda Ius Sanguinus. Maka jika seorang warga negara Inggris melahirkan
seorang anak di Belanda, maka anak tersebut terlahir tanpa kewarganegaraan.
3. Pemerintahan
Pemerintahan
merupakan alat bagi negara bagi penyelenggaraan segala kepentingan rakyatnya
serta merupakan alat untuk mewujudkan tujuan negara yang sudah ditetapkan.
Pemerintah harusklah diartikan secara luas yang mencakup semua badan-badan
negara. Suatu hal yang penting ialah bahwa pemerintahan yang berkuasa haruslah
diakui oleh rakyatnya karena pada hakekatnya pemerintah merupakan pembawa suara
dari rakyat, sehingga pemerintah dapat berdiri dengan stabil.
Demikian
pula pengakuan dari luar, sering didasarkan atas kestabilan dari pemerintah dan
apakah pemerintahan yang dijalankan itu benar-benar efektif. Karena itu pada
permulaan negara merdeka, tidak jarang pengakuan terhadap negara itu mula-mula
bersifat sementara sampai pada saat tertentu negara itu sudah mempunyai
pemerintah yang stabil dan efektif.
Negara
mempunyai sifat yang lebih kekal, baik mengenai bentuk maupun susunannya,
sedangkan pemerintahan seringkali berubah-ubah. Selain itu di dunia ini
terdapat negara yang belum merdeka penuh atau negara jajahan atau setengah
jajahan. Walaupun demikian ketiga unsur sebagai negara harus ada, walaupun
salah satu unsur diantaranya yaitu unsur pemerintahan belum sempurna. Misalnya
pemerintahannya masih di bawah pengawasan negara lain. Negara yang merdeka
adalah negara dimana memiliki ketiga unsur itu yang terdiri atas satu bangsa.
BAB III
TEORI TERJADINYA
NEGARA
1. Teori Teokrasi
Menurut teori
teokrasi (Ketuhanan), negara itu terjadi karena kehendak Tuhan. Suatu negara
tidak atau belum akan terbentuk di muka bumi ini, jika Tuhan belum memperkenannya.
Perlambang dari faham yang menganut teori ini seperti : “Atas berkat rakhmat
Tuhan Yang Maha Esa”, atau “By the grace of God” yang tercantum pada berbagai
konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara.
Munculnya faham
yang mengemukakan bahwa kedaulatan negara itu berasal dari Tuhan (Goddelijke
souvereiniteit), karena orang beragama dan beriman bahwa Tuhanlah Maha Pencipta
langit dan bumi serta segala isinya dan Tuhan pula yang mempunyai kekuasaan
tertinggi diseluruh alam raya ini. Segala kekuasaan di langit dan di bumi
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tiada kekuasaan manapun di bumi ini yang
tidak berasal dari pada-Nya.
Karena itu
kekuasaan yang ada pada negarapun berasal dari anugerah Tuhan, yang
dianugerahkan dan diamanatkannya kepada pemerintah. Menjadi kewajiban
pemerintah dari suatu negara untuk melanjutkan kesinambungan kedaulatan Tuhan
itu kepada rakyatnya sesuai dengan perintah dan kehendak-Nya dan harus pula
ditujukan untuk memuliakan, melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-Nya.
Berdasarkan alam
pikiran inilah, maka raja-raja pada zaman purbakala sampai abad pertengahan
tetap dipandang rakyatnya sebagai “Wakil Tuhan” atau “Bayang-bayang Allah di
muka bumi”, karena para raja itulah sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi
di dunia. Pada upacara penobatan raja-raja di eropa misalnya, Paus di roma
datang untuk meletakkan mahkota di atas kepala raja, atas nama Tuhan.
Menurut aliran
teokrasi ini, Tuhan Yang Maha Esa (monotheisme) atau para dewa (polytheisme)
yang mencipta dan memerintah alam semesta ini dengan segala isinya. Dalam
ajaran polytheisme misalnya, para dewa di kayangan menitahkan keturunanya untuk
memerintah negara di bumi. Misalnya di Jepang : Mikado adalah turunan dewa
Matahari, Iskandar Zulkarnaen putera Zeus Ammon, dinasti raja-raja di Tiongkok
klasik, dan lain sebagainya.
Penganut teori ini
antara lain : agustinus seperti ternyata dalam bukunya “De Civitate Dei”,
Friedrich Julius Stahl pada bukunya “Die Philosophie des Rechts” ; Thomas
Aquinas, Ludwig von haller, Friedrich Hegel, dan lain sebagainya.
2. Teori Perjanjian
Menurut teori ini,
terjadinya suatu negara karena adanya perjanjian masyarakat. Semua warganegara
mengikat dirinya dalam suatu perjanjian bersama untuk mendirikan negara.
Kemudian masing-masing wargaegara menyerahkan kedaulatan dirinya kepada negara
yang baru terbentuk itu, agar negara tersebut berdaulat sehingga dapat
melindungi dan menjamin kehidupan mereka bersama.
Teori perjanjian
ini disebut juga teori kontrak sosial. Di antara penganjurnya seperti Thomas
Hobbes menghendaki agar negara yang terbentuk berdasarkan kontrak sosial itu
terbentuk kerajaan (monarchie). Sebaliknya John Locke menuntut agar negara tersebut berbentuk kerajaan
konstitusional. Sementara Jean Jaques Rousseau menghendaki organisasi negara
itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Pandangan Thomas
Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau yang mendasarkan pembentukan
negara atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat, itulah yang kemudian
dikenal dengan dengan teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial.
Perbandingan
antara ketiga teori para ahli dirumuskan oleh Utrecht (sebagaimana dikutip M.
Solly Lubis dalam bukunya “Ilmu Negara”): “walaupun tak berlainan, mereka
mempunyai anggapan tentang pembentukan dan adanya negara itu disusun atas
pembentukan dan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial,
kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara tersebut sangat
berlainan”.
Menurut Hobbes
negara negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuasaan tak terbatas
(absolut). Pendapat Locke, negara selayaknya bersifat kerajaan konstitusional
yang memberi jaminan tentang hak–hak dan kebebasan– kebebasan pokok manusia
(ingat : life, liberty, healty, dan property). Sementara Rousseau memandang
negara bersifat suatu perwakilan rakyat , Negara sepantasnya berbentuk negara
demokrasi, yakni yang berdaulat adalah rakyat.
3. Teori Kekuasaan
Yang berkemampuan
untuk memiliki kekuasaan atau yang berhasil mencapai suatu kekuasaan,
selayaknya mereka memegang tampuk pemerintah. Kekuasaan itu adalah upaya dan
ciptaan mereka yang paling kuat dan berkuasa. Baik dengan kekuatan fisik,
kekuatan ekonomi, politik maupun sosial
Menurut teori
evolusi Charles Darwin bahwa kehidupan semesta alam ini diliputi oleh serba
perjuangan untuk mempertahankan hidup masing–masing. Yang kuat akan menindas
yang lemah. Maka semuanya berusaha untuk menjadi kuat dan unggul dalam
perjuangan. Setiap perjuangan harus
senantiasa berusaha menambah kekuatan dan kemampuan agar berkuasa. Dalam
keadaan itulah terjadi evolusi, terjadi proses perubahan dan pertumbuhan yang
terus menerus yang dibawakan oleh penyesuaian diri pada kondisi perjuangan
hidup.
Semua imperium
ditegakkan dengan dasar kekuasaan ini. Pemerintah dikantor Napoleon
(1769-1821), Hitler (1889-1945); Mussolini (1883-1945); Lenin (1870-1924);
Stalin (1879-1953) dipancangkan dengan teori kekuasaan ini.
Teori kekuasaan
dipaparkan juga oleh Karl Marx dalam buku “Das Kapital”. Kelas pemegang
produksi menghisap kelas lainnya. Bentuk lahir penghisapan itu ialah negara dan
pemerintahan sebab itu perlu kaum proletar yang selama ini terhisap dan
tertindas merebut pemerintahan. Sebelum tercapai masyarakat tanpa kelas, maka
diktatur kaum proletar mutlak perlu
ditegakkan, jadi marxisme itu dalam teori, juga dalam prakteknya, menagunut
faham kekuasaan dalam bentuk diktatur.
Seperti juga
Fridrich Engels, Ludwig Von Gumplowicz menilai terjadinya negara itu sebagai
suatu perjuangan kelas antara manusia, kekuasaan negara timbul dari persekutuan
golongan yang menang, yang membuat peraturan-peraturan untuk memaksa yang kalah
agar berbuat menurut kehendaknya. Seluruh kekuasaan negara dengan alat-alat
perlengkapannya tidak lain dari tata paksa pihak yang kuat dan menang terhadap
pihak yang lemah dan kalah.
Laski berpendapat
senada dengan Marx bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa (coercive instrument) untuk menjamin kelanjutan
hubungan produksi yang tetap, sebab jika tidak demikian maka pergaulan hidup
itu tidak akan menjamin nafkahnya
Marxisme dan
anarchisme pada dasarnya sama-sama berpendapat bahwa negara itu timbul dari
paksaan, sebagai alat pemaksa dari pihak yang kuat dan menang terhadap pihak
yang lemah dan kalah bahwa negara ini, bagaimanapun juga, pada akhirnya harus
lenyap. Meskipun antara keduanya persamaan, tapi ada juga perbedaan besar
diantaranya
Marxisme menggagap
adanya negara itu sebagai suatu hal yang tidak dapat dielakkan selama masih ada
perbedaan dan perjuangan kelas, kaum pekerja harus merebut kekuasaan negara dan
mempergunakannya untuk menghancurkan sistem produksi kapitalis dan kemudian
menyusun masyarakat sosialis. Apabila kapitalisme sudah runtuh dan sosialisme
terwujud, maka akan lenyap perbedaan hak milik, lenyap perbedaan kelas dan akan
hilang pula perjuangan kelas itu. Dengan lenyapnya perjuangan kelas, maka
adanya negara sebagai alat perjuangan kelas itupun akan hilang pula dengan
sendirinya. Tapi sebaliknya, penganut anarchis menilai adanya negara itu
sebagai suatu hal yang tidak pada tempatnya, oleh karena itu negara mutlak
perlu dihapuskan saja.
4. Kekuasaan dan Kedaulatan
-
K e k u a s a a n
Secara
umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain/kelompok lain, sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri
(pada semua aspek kehidupan masyarakat).
Kekuasaan negara atau kekuasaan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan sering disebut sebagai kekuasaan politik.
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum (peme-rintah), baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya
sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri (Miriam Budiardjo).
Kekuasaan
pemerintahan tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari
warga negara masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan
tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara dibidang administratif,
legislatif dan yudikatif.
- K e d a u l a t a n
Jika kekuasaan diartikan secara yuridis,
maka kekuasaan disebut sebagai kedaulatan.
Kedaulatan adalah suatu kekuasaan
tertinggi pada suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap
rakyat dalam negara tersebut. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh dan mutlak
untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari kekuasaan atau
pemerintahan negara lain.
Ciri
khas kedaulatan ialah dimana kekuasaan itu sama sekali tidak terikat dan
tergantung, tidak dibatasi oleh apapun dan siapapun serta kekuasaan itu harus
bebas dan berlaku terus menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Beberapa
Teori Tentang Kedaulatan
Dari manakah sesungguhnya Pemerintah
atau Penguasa tersebut memperoleh kedaulatan ?, pertanyaan inilah yang
menimbulkan berbagai teori tentang kedaulatan, sekaligus mencari jawaban
tentang darimanakah sumber kekuasaan itu sendiri.
Adapun teori-teori tentang kedaulatan
adalah sebagai berikut :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini bahwa negara atau
pemerintah memperoleh kekuasaan tertinggi itu berasal dari perintah atau titah
Tuhan. Oleh karena itu pemerintah
harus mempergunakan kedaulatan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi menurut
teori ini, Tuhanlah yang berdaulat. Berdasarkan alam pikiran inilah maka raja-raja zaman dahulu sampai dengan
abad pertengahan, tetap dipandang rakyatnya sebagai “Wakil Tuhan” atau
“Bayang-bayang Tuhan” di muka bumi.
2.
Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut
teori ini, karena Raja mendapat limpahan kekuasaan dari rakyat, maka yang
memegang kekuasaan tertinggi sekaligus pemegang kedaulatan adalah rakyat. Raja
hanya melaksanakan saja aspirasi dan amanat rakyat. Perihal yang terbaik dalam suatu masyarakat,
bukanlah sebagaimana yang dikehendaki oleh raja, melainkan apa yang dianggap
baik oleh rakyat itu sendiri. Adapun yang diserahkan kepada pemerintah/penguasa
adalah ‘kekuasaan saja’ untuk jangka waktu tertentu , sedangkan kedaulatan
tetap berada pada rakyat.
3. Teori Kedaulatan
Negara
Menurut
teori ini, yang berdaulat bukanlah rakyat melainkan negara, karena negaralah
yang membuat hukum. Ditambahkan lagi bahwa dengan adanya berbagai gejala dalam
masyarakat, ternyata kepentingan individu selalu dikalahkan oleh kepentingan
negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang berwenang membuat
peraturan. Adanya hukum karena dikehendaki pemerintah atau negara.
Menurut
paham ini, kedaulatan itu timbul karena adanya negara dan oleh karena itu
kedaulatan melekat secara utuh pada keberadaan negara.
4. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori
ini hukum itu tercipta dari rasa keadilan yang hidup pada sanubari rakyat. Menurut Savigny, pembuat undang-undang sebenarnya bukanlah
pencipta undang-undang itu sendiri. Mereka adalah sekedar perumus dari
kesadaran hukum yang tumbuh dari dalam kalangan masyarakat. Oleh karena itu
pemerintah memperoleh kekuasaan bukanlah dari Tuhan, rakyat ataupun negara,
akan tetapi dari hukum dan berdasarkan atas hukum, sehingga kedaulatan itu
berada pada hukum. Baik pemerintah maupun rakyat yang memperoleh kekuasaan dari
hukum itu, wajib tunduk pada ketentuan hukum itu sendiri.
BAB IV
TEORI LENYAPNYA
NEGARA
1. Teori Organis
Para teoritisi
yang memandang negara sebagai suatu organisme, yang mendapat prospek baru di
abad ke XIX dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu
biologi dengan diketemukannya sistem sel pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan
berkembangnya teori evolusi dari Darwin.
Umumnya mereka
menilai, negara sebagai organisme, yang memiliki anggota-anggota dan badan
perelengkapannya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Warga negara
yang dikiaskan sebagai sel-sel yang hidup sendiri berperan menentukan bagi
hidup atau matinya organisme negara tersebut. Jika sel-sel itu kokoh dan kuat,
maka organismenyapun akan tegar pula, tapi sebaliknya jika warganegaranya lemah
jasmani dan rohaninya, maka negara itupun akan ringkih pula.
Menjadi kewajiban
negara memberikan keleluasaan, kebebasan dan kemerdekaan kepada warganegaranya
agar menjadi rakyat yang sehat dan kuat. Demikian pula sebagai sel-sel dari
organisme negara itu, warganegara dituntut untuk menjadi pilar dan menyangga
utama kekuatan negara agar selalu kuat dan kokoh.
Sebagai layaknya
makhluk yang hidup, setiap organisme takkan luput dari hukum perkembangan
hidup. Lahir, berkembang, mengalami masa kecil, dewasa, tua dan pada akhirnya
mati. Begitu juga dengan negara, sebagai suatu organisme negara pasti tidak
akan lepas dari kenyataan perkembangannya. Dari mula berdiri, kecil, besar,
kokoh dan kuat, kemudian melemah hingga akhirnya tidak kuasa lagi
mempertahankan eksistensinya sebagai negara, lalu lenyap dari percaturan dunia.
Penganut faham ini
memeperkuat argumentasinya dengan menunjuk contoh misalnya, Mesir, Babilonia,
Persi, Phunisia, Romawi yang semuanya menjalani makanisme organisme itu, tumbuh
dari kecil hingga besar dan kuat, tapi kemudian menjadi kecil kembali dan lemah
dan akhirnya lenyap. Tapi organisme tersebut tidak selalu sampai mati tua,
begitu juga halnya dengan negara adakalanya justru hilang sebelum berkembang,
pupus oleh kejamnya lingkungan.
Pemuka teori
organisme ini antara lain, F.J. Schnitthenner (Grundlinien Des Allgemeinen
order idealen Staatsrecht); Herbert Spencer dalam bukunya System of Synthetie
phylosophy; Gonstantin Frantz dalam Natuurlehre des Staats als Gurundlage;
Heinrich Ahrens dalam karyanya Organische Staatslechre dan juga Blunischi (Algemeine
Staatslehre).
2. Teori Anarchis
Menurut teori
anarchis, negara adalah suatu bentuk susunan tata paksa yang sesungguhnya hanya
sesuai jika diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang masih primitif,
tidak bagi masyarakat modern yang beradab dan bertata-krama. Oleh karena itu mereka
percaya, pada suatu saat negara itu pasti akan lenyap dan akan munculnya
masyarakat yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa paksaan dan perkosaan
serta tanpa pemerintahan dan negara. Merupakan keyakinan dan kewajiban penganut
paham ini untuk menghilangkan tata paksa negara tersebut agar dapat terwujud
masyarakat yang diwarnai kebebasan, tanpa paksaan apapun.
Penganut paham
anarchis dibedakan menjadi dua golongan. Yang pertama, menilai tata paksa
negara itu sebagai kejahatan yang dibuat oleh manusia yang memerintah untuk
melindungi kelalimannya maupun tindakan dan perbuatan yang dinilai merugikan
kepentingan rakyat. Kekuasaan negara dilakukan untuk melindungi hak-milik yang
dirampasnya dari rakyat. Menurut aliran anachis, karena negara itu melakukan
kekerasan dan penindasan, maka tindakan untuk menghapus atau melenyapkan tata
paksa itu harus dilakukan dengan menghancurkan organisasi negara tersebut
bersama perlengkapan dan pendukungnya.
Paham anarchisme
menimbulkan terrorisme yang membabi-buta, menghalalkan segala cara untuk
mencapai maksudnya, melakukan pembunuhan, penyanderaan bahkan pembajakan, menghancurkan
bangunan-bangunan dan alat-alat vital dalam bidang telekomunikasi, transportasi
dan produksi. Pola pikiran kaum anachis ini sesungguhnya sudah bertentangan
dengan sistem masyarakat bebas yang dicita-citakan mereka sendiri, dengan
pembunuhan, pengrusakan dan kekacauan tersebut justru akan menambah kekalutan
dan penderitaan.
Golongan kedua,
berharap masyarakat yang penuh kebebasan tanpa pemerintahan itu akan dapat
diwujudkan tanpa melalui kekerasan dan kekejaman. Mereka berpendapat masyarakat
bebas tersebut akan dapat terlaksana melalui evolusi dan pendidikan, tanpa
harus melalui tindakan kekerasan untuk menghancurkan negara. Salah satu
pengikut faham, yang tidak menghendaki kekerasan ini, adalah Leo Tolstoy,
menurut pandangannya kekerasan dari manapun datangnya akan mengundang dendam
dan pembalasan dengan kekerasan pula. Kekerasan dapat dihilangkan dengan kasih
sayang dan pendidikan.
Terrorisme dan
kekerasan ini pada hakekatnya merupakan reaksi yang berkelebihan atas tindakan
yang dikatakan melampaui batas dari penguasa yang tidak disenangi mereka. Pada
zaman pemerintahan Tsar Alexander II di Rusia mencapai puncaknya. Penganut
anarchisme antara lain William Godwin, Joseph Proudhon, Kropotkin dan Michael
Bakounin.
3. Teori Mati Tuanya Negara
Menurut teori ini,
negara sebagai suatu struktur tata paksa tidak perlu dihapus atau diperangi,
karena keberadaannya maupun kehilangannya sesuai dengan hukum lingkungan yang
berlaku. Negara datang atau lenyap menurut syarat-syarat obyektifnya sendiri.
Jika kriterianya sebagai negara tidak terpenuhi lagi, ia akan hilang dengan
sendirinya pula, akan mati tua.
Menurut GS
Diponolo dalam bukunya “Ilmu Negara”, negara adalah suatu susunan kekuasaan
yang merupakan perpaduan dari unsur-unsur tempat, umat dan organisasinya, daerah, bangsa dan
pemerintahannya. Maka timbul atau tenggelamnya negara terutama tergantung dari
ada atau tidaknya situasi dan kondisi dari unsur-unsur tersebut yang
memungkinkan terangkainya kekuatan bagi organisasi kekuasaan tersebut. Jika
keadaan yang menunjang unsur-unsur tersebut subyektif dan obyektif cukup kuat,
maka negara akan kuat pula, tapi apabila tidak lagi memenuhi persyaratan
minimum bagi kehidupan suatu negara, negara itu pasti akan lenyap.
Prof. Wirjono
Prodjodikoro menilai, apabila suatu negara dianggap terhenti atau hancur atau
jatuh, maka unsur wilayah dan unsur masyarakat tetap tidak berubah. Hanya unsur
pemerintahan yang musnah. Ini dapat berarti bahwa orang-orang yang memegang
pemerintahan dimusnahkan atau dipenjarakan, atau dapat berarti mereka tidak
mempunyai kekuasaan lagi, melainkan takluk pada penguasa yang berada di luar
wilayah atau masyarakat semula dan wilayah ini menjadi jajahan atau daerah
bagian dari negara lain.
Indonesia pada
zaman pemerintahan Kerajaan Sriwijaya di abad ke VII pernah mencapai periode
kejayaannya, namun kemudian tenggelam. Demikian juga masa keemasannya Kerajaan Majapahit di abad ke XIV, tapi
kemudian juga runtuh. Tapi unsur daerah dan rakyatnya tetap ada yang hilang
hanya unsur pemerintahannya saja.
4. Teori Lain
Sejarah
membuktikan, terdapat unsur lain yang juga berpengaruh bagi kelangsungan suatu
negara. Negara dapat timbul atau tenggelam, lahir atau hilang, karena
peperangan, meskipun tidak dapat ditilik dari unsur terjadi peperangan itu saja
tapi juga latar belakang terjadinya peperangan tersebut. Suatu negara dapat timbul karena peperangan tapi
dapat juga runtuh oleh peperangan. Beberapa negara memang berdiri setelah
didahului dengan peperangan.
Dalam keadaan yang
ekstrim pada zaman dahulu, negara yang kalah berperang akan binasa secara
total. Tapi setelah kebudayaan dan peradaban manusia lebih maju yang lebih
menghargai harkat dan martabat sesamanya, kekalahan dari peperangan hanya
berakibat hancurnya organisasi pemerintahan dari negara tersebut, sementara
wilayah negara yang didudukinya dijadikan jajahan atau ditempatkan di bawah
pengaruh atau kekuasaannya.
Kemungkinan lain
yang dapat terjadi dalam peperangan ini, negara yang kalah dan merasa lebih
lemah dari negara yang menyerangnya, menyerah tanpa syarat. Dalam keadaan yang
demikian, organisasi bangsa itu kemungkinan dapat dipertahankan dan tetap
dipertahankan. Tetapi negara yang menyerah tersebut dijadikan negara bawahan
(disebut Vazal) dari negara yang menang dan kuat tersebut, dengan memberikan
konsesi-konsesi teritorial, ekonomi, politik dan militer.
BAB V
TEORI TUJUAN
NEGARA
Negara adalah
suatu organisasi kekuasaan yang merupakan persekutuan masyarakat dan merupakan
alat untuk mencapai tujuan bersama. Dengan mengetahui tujuan suatu negara, akan
dapat dikaji sifat serta legitimasi kekuasaan dari organisasi negara tersebut.
Selain itu pula
dipahami orientasi dan motivasi terbentuknya negara dan ke arah mana cita-cita
yang hendak diwujudkannya melalui organisasi negara tersebut. Dengan mengetahui tujuan suatu negara,
dapat juga dikenal tatanan dan pengendalian organisasinya dengan keadaan
lingkungan warganegara.
Teori-teori
tentang tujuan negara tersebut antara lain diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Teori Kekuasaan
Penganut teori kekuasaan ini ialah :
a. Shang Yang
Ia adalah seorang negarawan Tiongkok, yang hidup pada
abad ke-3 atau ke-4 sebelum Masehi. Bukunya antara lain diberi judul “A Classic
of the Chinese School of Law”. Pendapat-pendapatnya
kemudian ditulis kembali oleh Duyvendak dalam buku “The Book of Lord Shang”.
Pada waktu Shang Yang hidup, di daratan Cina dilandai
kerusuhan dan kemelut peperangan yang berkepanjangan. Karena itu ucapannya yang
termasyhur banyak dikutip oleh para ahli : “A weak people means a strong state
and a strong state means a weak people”. Jika menghendaki suatu negara yang
kuat, maka rakyat harus dilemahkan dan dimiskinkan, namun sebaliknya jika
menghendaki rakyat menjadi kuat dan kaya, maka negara itu akan menjadi lemah.
Lebih lanjut dikatakannya : “Therefore a country, which has the right is
concerned with weaking people” ; Karena itu suatu negara yang menempuh cara
yang benar, hendaklah berupaya untuk melemahkan rakyat.
(Bilamana di dalam suatu negara terdapat ‘ten evils’
(sepuluh hal yang jahat) yaitu : rites ( = upacara agama atau adat), music ( =
musik), odes ( = nyanyian; Syair pujian), history ( = sejarah), virtue ( =
kebaikan, kebajikan), moral culture ( = kesusilaan), filial piety ( =
penghormatan terhadap orang tua), brotherly duty ( = kewajiban persaudaran),
integrity ( = kejujuran), dan sophistry ( = sofisme), penguasa tidak akan dapat
dielakkan lagi dan akan membawanya pada kebinasaan. Sebaliknya jika negara
tidak memiliki sepuluh hal tersebut, penguasa akan dapat membuat rakyatnya
berjuang sehingga ia akan jaya dan mendapatkan supremasi.
Menurut Shang Yang, negara yang tidak memiliki kekuatan
dan mengusahakan pengetahuan dan kepintaran pasti akan binasa, tetapi rakyat
yang takut yang diancam dengan pelbagai hukuman, akan menjadi bangsa yang
perkasa dan bangsa yang berani tersebut yang dirangsang dengan pelbagai hadiah,
akan berjuang sampai mati.
Ringkasnya,
teori Shang Yang ini menyatakan : keadaan rakyat harus merupakan kebalikan dari
keadaan negara. Jika menghendaki negara yang kuat dan sejahtera, maka rakyat
harus lemah, miskin dan bodoh. Karena rakyat yang kuat akan menyebabkan negara
menjadi lemah dan miskin. Rakyat mempunyai banyak keinginan dan tuntutan.
Karena itu rakyat mutlak harus dibodoh dan dimiskinkan, dibuat agar tidak
mempunyai kemauan dan selalu dihibur.
b. Nicollo Machiavelli
Machiavelli, pujangga Florence yang hidup pada abad ke-11
membentangkan teorinya yang realistis dalam buku “II Principe” (The Prince), dipersembahkannya
sebagai nasehat dan petuah kepada Lorence the Magnificent Son of Piero de Medici.
Ia berpendapat yang senada dengan Shang Yang bahwa tujuan negara itu adalah
kekuasaan. Tapi kekuasaan itu hanya merupakan alat belaka untuk mencapai tujuan
negara yang sebenarnya, yakni kebesaran dan kehormatan.
c. Fridriech Nietzsche
Dalam karyanya “Also sprach Zarasthustra” dan “Der Wille
zure Macht”, Nietzsche mengemukakan bahwa manusia adalah dalam kerusakan dan kemunduran,
karena berpegang pada nilai-nilai moral yang salah dan sesat. Hidup adalah
perjuangan, hasrat untuk berkuasa itulah rahasianya hidup. Inilah pokok dari
segala penilaian hidup manusia. Apa yang disebut baik? Ialah segala kekuatan
dan kekuasaan pada diri manusia. Apa yang disebut buruk? Ialah kelemahan pada
manusia. Pihak yang lemah pasti tidak akan mampu mencapai tujuannya.
Menurutnya, tujuan hidup manusia bukanlah
“sebesar-besarnya kebahagiaan bagi sebesar-besarnya jumlah manusia”, seperti
diajarkan kaum utihtarian yang antara lain di anut oleh John Stuart Mill dan
Yeremias Bentham, tapi penjelmaan tokoh pilihan dari mereka yang paling
sempurna. Hidup adalah serba memenangkan dan menaklukkan yang akan meningkat
terus ke atas, yang akan dapat mengatasi bahaya keruntuhan manusia.
Ajaran-ajaran
dari Shang Yang, Machiavelli dan Nietzsche menjadi landasan politik totaliter
pada pertengahan abad ke-20. Seperti misalnya pada zaman kekuasaan Nazi Adolf
Hitler di jerman, Fascisme Benito Mussolini di italia atau militerisme di
jepang menjelang Perang Dunia ke-2.
2. Teori Keamanan/Ketertiban
a. Dante Alleghieri
Dante adalah
pujangga Italia pada abad ke 13-14. Ia hidup dalam zaman kekeruhan dan kekacauan negerinya. Ia anti Paus, tapi
pro Kaisar Jerman. Dante menghendaki persatuan dan perdamaian dunia, Paus
dimintanya untuk tidak mencampuri masalah kenegaraan dan menghimbau agar antara
gereja dan negara terwujud kerjasama untuk terciptanya perdamaian.
Meskipun
pendapat Dante nyaris sama dengan ajaran Machiavelli bahwa tujuan negara pada
akhirnya adalah kekuasaan, tapi bagi Dante kekuasaan itu hanya sekedar alat
belaka untuk sampai pada tujuan lain yang lebih tinggi, yakni ketertiban,
keamanan dan kebahagiaan. Untuk menuju pada ketertiban dan perdamaian itu,
menurutnya mutlak diperlukan suatu ‘Kerajaan Dunia’.
Dalam bukunya
“De Monarchia”, ia membentangkan pendapatnya bahwa manusia baru akan dapat
melaksanakan kewajibannya dengan baik, jika telah tercipta tujuan perdamaian
itu yang merupakan hak setiap orang. Selama manusia masih diperintah oleh
begitu macam penguasa dan begitu banyak yang memerintah, maka selama itu pula
akan tetap terjadi permusuhan dan peperangan yang membawa malapetaka bagi umat
manusia.
Karena itu menurut
Dante, yang menjadi tujuan negara ialah menciptakan keamanan, ketertiban dan
perdamaian dunia tersebut. Dengan
cara menciptakan peraturan perundang-undangan yang seragam bagi seluruh umat
manusia. Kekuasaan seyogyanya dipusatkan di tangan seorang monarc, supaya
perdamaian dan keamanan dapat tetap terjamin.
b. Thomas Hobbes
Thomas Hobbes pun berpendapat bahwa perdamaian adalah
unsur yang menjadi hakekat tujuan negara. Karena masyarakat tidak mampu
menanggulangi terjadinya pelbagai gejolak, maka mereka secara bersama-sama
mengikat dirinya dalam suatu perjanjian dan tunduk pada suatu pucuk pimpinan
yang sanggup menegakkan keamanan dan ketertiban itu. Demi perdamaian dan
ketenteraman masyarakat tersebut melepaskan kemerdekaan individunya kepada
kemerdekaan umum yang dikendalikan oleh negara.
c. Montesquieu
Montesquieu pun berpendapat, bahwa negara itu harus
dipandang sebagai alat belaka yang dibuat manusia untuk melindungi dirinya dari
segala macam ancaman dan bahaya. Maksud didirikannya negara adalah untuk
melindungi diri sehingga dapat tercipta kehidupan yang aman dan sentosa.
d. Epicurus
Epicurus menilai terjadinya negara tersebut untuk
menjamin keamanan, ketertiban dan kepastian hidup segenap warganegaranya.
3. Teori Kemerdekaan
a. Imanuel Kant
Ia berpendapat bahwa kemerdekaan itulah yang sebenarnya
menjadi tujuan negara. Terciptanya suatu negara tidak lain untuk melaksanakan
hukum, sedangkan fungsi hukum itu untuk menjamin kemerdekaan manusia. Hukum dan
kemerdekaan, tidak dapat dipisah-pisahkan. Kemerdekaan dan kebebasan saja akan
menerbitkan kekacauan, karena itu kemerdekaan harus di batasi oleh hukum. Dan hukum itu harus merupakan aspirasi
seluruh rakyat yang merdeka.
b. Herbert Spencer
Menurut ajarannya, negara itu tidak lain adalah bagi
manusia untuk memperoleh lebih banyak lagi kebebasan dan kemerdekaan, daripada
yang dimiliki warganegara sebelum adanya suatu negara. Jadi negara adalah alat
untuk menegakkan dan menjamin kemerdekaan.
c. Jean Bodin
Jean Bodin
berpendapat bahwa dengan adanya negara maka akan lenyapnya kemerdekaan manusia
yang asli. Manusia yang semula bebas dan leluasa akan menjadi terikat dan
tunduk pada kekuasaan negara. Jadi tujuan negara adalah kemerdekaan itu.
d. Gotlieb Fichte
Menurut
pendapatnya, negara dilahirkan dengan paksaan itu pula ia harus menuju ke arah
kemerdekaan. Pemerintahan yang benar menurutnya, ialah pemerintahan yang menuju
ke arah terciptanya keadaan yang tidak memerlukan lagi adanya pemerintahan.
Artinya
ialah, hak dan kewajiban warganegara baik secara individual maupun komunal
benar-benar dapat dipatuhi sehingga tidak terdapat lagi pelanggaran dari tertib
umum. Dengan demikian, dapat
diciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi masyarakat tersebut.
4. Teori Kesusilaan
Teori ini
diajarkan oleh Plato, sehingga disebut Teori Plato. Menurutnya, negara
bertujuan untuk memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai perorangan
(individu), maupun sebagai makhluk sosial.
5. Teori Kebahagiaan
a. Montesquieu
Montesquieu juga berpendapat, tujuan negara agar tetap
memiliki wilayahnya yang akan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan
masyarakat sehingga mereka dapat hidup tenteram dan bahagia. Dari tujuan inilah
yang dijadikan landasan Montesquieu mencetuskan gagasan ‘Trias Politic’nya
seperti termuat dalam buku “L’Esprit des Lois” tersebut.
b. Hartmann
Ahli filsafat ini menyatakan, tujuan mendirikan negara
tidak hanya untuk mencapai kebesaran negara itu saja, tapi juga untuk mencapai
kebahagiaan hidup bagi rakyatnya.
c. Harold J. Laski
Menurut Laski, negara harus berusaha semaksimal mungkin
membuka kesempatan bagi warganegaranya untuk mewujudkan ‘the best, that is in
themselves’.
d. Faham Utilitarianisme
Pelopor faham utilitarianisme (utility = kegunaan) ini
antara lain John Stuart Mill dan Jeremy Bentham mengemukakan, tujuan negara itu
dimaksud untuk mencapai ‘the greatest happiness of the greatest number’.
6. Teori Keadilan
a. Thomas Aquinas
Pendapatnya menyatakan, kekuasaan dan hukum negara itu
hanya berlaku selama ia mewujudkan keadilan untuk kebaikan bersama (bonum
komune) masyarakat, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Thomas Aquinas tidak membenarkan
menentang kekuasaan yang di nilai tidak adil itu dengan kekerasan, karena akan
menimbulkan kekacauan yang lebih besar lagi.
b. Aristoteles
Aristoteles dalam ajarannya menghendaki agar negara
menjamin kebaikan hidup warganegaranya, karena kebaikan hidup itu adalah
idealisme sekaligus tujuan negara. Ini
hanya dapat dicapai dengan keadilan yang harus menjadi dasar dari setiap
pemerintahan.
Perwujudan
keadilan ini dijalankan melalui undang-undang yang dibuat berdasarkan kemauan
atau kehendak warganegara. Dalam sistem pemerintahan yang demikian, menurut
Aristoteles, sebenarnya yang berkuasa bukan orang-orang yang memegang
pemerintahan, tetapi jiwa keadilan itu sendiri.
7. Teori Kesejahteraan
Negara
kesejahteraan (Walfare state atau social service) bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya sebagai alat belaka yang dibentuk
oleh manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni suatu tata kehidupan
masyarakat yang bahagia, makmur dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
negara itu.
Teori
kesejahteraan ini pada garis besarnya dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Aliran Liberalis kapitalis
Menurut
aliran ini, kesejahteraan akan terwujud dengan kemerdekaan dan kebebasan setiap
individu. Sesuai dengan falsafahnya mereka memperjuangkan kehidupan yang serba
bebas (liberal), dalam sistem persaingan bebas setiap orang akan berkompetesi
untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Mereka berpendapat, kebahagiaan
dan kesejahteraan masyarakat harus dicapai lewat politik dengan sistem liberal
dan persaingan bebas. Dengan sistem perekonomian yang bebas akan terbuka
peluang dan kesempatan kerja yang lebih luas sehingga bertambahnya pendapatan
rakyat.
Penganjur teori ini antara lain Adam Smith, dalam
bukunya “Wealt of Nation”, Yeremy Bentham dengan karyanya “Introduction to
Moral and Legislation”, Herbert Spencer, dan lain-lain.
b. Aliran Solidaris Sosialis
Menurut penganut faham ini, tujuan negara ialah
menciptakan kebahagiaan yang semaksimal mungkin bagi setiap warganegaranya. Hal
ini baru akan terlaksana bilamana masyarakat mempunyai pekerjaan dan
penghasilan yang patut untuk kehidupannya dan dijaminnya hak-hak mereka oleh
undang-undang.
Bertolak
belakang dengan prinsip liberalis kapitalis, pada ajaran ini sistem perekonomian
yang dituntut mereka adalah yang memungkinkan pembagian pendapatan yang merata
di kalangan rakyat. Akibatnya akan terjadi pengurangan dan pengekangan hak-hak
pada individu.
Keadilan
sosial hanya mungkin terwujud dengan mengubah sistem perekonomian liberal
dengan perekonomian kekeluargaan yang terpimpin di bawah pengawasan negara.
Karena itu negara harus memiliki semua alat-alat produksi dan distribusi agar
terdapat pemerataan.
Menurut
caranya mereka melaksanakan tujuannya, aliran solidaris sosialis ini, dapat
dikelompokkan lagi menjadi :
-
Aliran Komunis
Yang bermaksud menghapuskan
dengan tuntas semua hak milik perseorangan dengan menghentikannya menjadi hak
milik umum (komunal). Hak individu dilebur mutlak dalam satu komune.
-
Aliran Sosialis
Faham yang bermaksud membatasi hak milik individu khusus mengenak hak
milik atas sumber-sumber dan alat-alat produksi serta distribusi yang vital
saja yang harus dikuasai negara.
Para pemuka aliran Solidaritas Sosialis ini diantaranya
ialah Thopmas More dalam bukunya “Utopia”, Eduard Bellamy “The Year 2000”, Karl
Marx dengan bukunya “Das Kapital”, Louis Blanc, Henri de Saint Simon, dan
sebagainya.
BAB VI
TEORI BENTUK
NEGARA
Menurut teori,
bentuk negara yang terpenting dan banyak dianut berbagai negara di dunia ialah
: negara kesatuan (unitaris) dan negara serikat (federasi).
1. Negara Kesatuan atau Unitaris
Negara kesatuan
atau unitaris adalah negara yang bersusunan tunggal, negara yang hanya terdiri
dari satu negara saja. Jadi tidak terdapat negara dalam suatu negara. Negara
kesatuan adalah bentuk negara yang tunggal dan mandiri, terdiri dari satu
negara, satu pemerintahan, satu kepala negara dan satu lembaga legislatif untuk
seluruh kawasan negaranya.
Dalam prakek,
dalam suatu negara kesatuan (atau disebut juga : eenheidstaat; simple state)
diadakan juga pembagian daerah yang pada setiap daerah itu terdapat organisasi
kenegaraan yang berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri. Lazim
disebut Pemerintah Daerah Tingkat I atau II. Propinsi, kabupaten atau
kotamadya. Namun pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang tertinggi dalam
pemerintahan, kekuasaan ini tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
Negara kesatuan
yang mengadakan pembagian daerah seperti itu disebut negara kesatuan yang
desentralisasi, sedangkan negara unitaris yang tidak mengadakan pembagian
daerah, disebut negara kesatuan yang dekonsentrasi.
Tegasnya negara
kesatuan (unitaris) dapat terbentuk dengan dua alternatif :
a. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
Daerah-daerah
diberikan keleluasaan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
(otonomi).
b. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
Di mana segala sesuatu dalam
negara tersebut langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat sendiri,
termasuk segala hal yang menyangkut pemerintahan dan kekuasaan daerah.
2. Negara Serikat atau Federasi
Negara serikat
atau negara federal atau federasi, adalah negara yang merupakan gabungan dari beberapa
negara, yang kemudian menjadi negara-negara bagian daripada negara serikat
tersebut. Negara ini berdiri sendiri dengan masing-masing perlengkapannya,
dengan kepada negara sendiri, dengan pemerintahan sendiri dan dengan
lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif sendiri pula.
Negara-negara
bagian itu pada mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta
berdiri sendiri. Dengan menggabungkan pada suatu negara serikat, maka negara yang
tadinya berdiri sendiri itu, kini menjadi negara bagian dengan melepaskan
sebagian dari kekuasaan dan kewenangannya secara limitatif (berangsur-angsur)
kepada negara serikat (delegated powers).
Kekuasaan yang
diserahkan negara-negara bagian kepada negara serikat tersebut ialah hal-hal
yang berkenaan dengan hubungan luar negeri, keuangan, pertahanan negara. Tapi kadang-kadang
pembagian kekuasaan antara pemerintah federasi dengan pemerintah negara-negara
bagian adalah urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah negara-negara
bagian, yang berarti bidang kegiatan pemerintah federal adalah hal-ikhwal
kenegaraan yang selebihnya (residuary powers).
Dalam hubungan
ini, perincian kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah federal umumnya
dapat dibagi menjadi lima hal :
a. Hal-hal yang menyangkut kedudukan negara
sebagai subyek hukum internasional. Misalnya : masalah daerah-daerah,
kewarganegaraan, imigrasi, transmigrasi, hubungan dan pertukaran perwakilan
dengan negara lain;
b. Hal-hal yang mutlak mengenai keselamatan
negara, seperti pertahanan dan keamanan, masalah perang dan damai;
c. Hal-hal yang mengenai konstitusi dan
organisasi pemerintahan federasi dan yang mengenai asas pokok hukum, serta
organisasi peradilan, sepanjang dipandang perlu oleh pemerintah pusat;
d. Hal-hal yang mengenai mata uang dan
keuangan untuk pembiayaan pemerintahan federasi, termasuk pajak, bea cukai,
monopoli negara dan lain sebagainya;
e. Hal-hal yang mengenai kepentingan bersama
antara negara-negara bagian seperti, pos dan telekomunikasi, statistik,
industri, perdagangan, penyelidikan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Menitik latar belakang
bergabungnya negara-negara tersebut di dalam negara federal dimaksudkan untuk
lebih meningkatkan hubungan kerjasama, maka bentuk negara federal tersebut
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Negara Serikat (Bundesstaat).
b. Serikat Negara (Staaten bund).
Beberapa pendapat
yang mengupas perbedaan antara negara serikat dan serikat negara, menyatakan
sebagai berikut :
(1) Jellinek
Dalam bukunya “Allgerneine Staatslehre”, Jellinek
mengemukakan, perbedaan antara negara serikat dengan serikat negara terletak
pada kedaulatannya. Pada negara
serikat, kedaulatan (souvereiniteit) terletak pada negara federal atau negara
gabungan. Sedangkan pada serikat negara, kedaulatan tetap dipegang oleh
negara-regara bagian.
Jadi
Jellinek dengan tegas menyandarkan perbedaan antara negara serikat dengan
serikat negara tersebut dengan kriteria ”kedaulatannya”.
Tinggal melihat siapa yang
berdaulat : negara gabungan atau negara bagian. Dengan demikian akan diketahui
jenis negara tersebut, negara serikat atau serikat negara.
(2)
Kranenburg
Prof.
Kranenburg seperti dikemukakannya dalam buku ”Algemene Staatsleer” menolak
pendapat Jellinek tersebut. Kriterium, untuk membedakan negara serikat dengan
serikat negara menurut Kranenburg, tidak tepat jika kedaulatan atau
souvereiniteit yang dijadikan dasarnya. Karena pengertian kedaulatan itu sendiri
masih kabur dan masih menimbulkan pelbagai macam penafsiran yang paling
berbeda.
Menurut
Kranenburg kriteria yang dipakai untuk membedakan antara negara serikat dengan
serikat negara tergantung pada dapat atau tidaknya pemerintah gabungan itu
membuat peraturan perundang-undangan yang langsung mengikat warganegara dari
negara-negara bagian tersebut.
Jika peraturan
atau hukum dari pemerintah federal atau negara gabungan itu dapat dengan
langsung berlaku dan mengikat terhadap negara-negarg bagian, maka negara itu
adalah negara serikat. Sebaliknya bila peraturan-peraturan hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintahan federal itu tidak dapat secara langsung berlaku
dan mengikat kepada warganegara dari negara-negara bagian, maka negara tersebut
disebut serikat negara.
Sementara
itu menurut Kranenburg antara sistem negara serikat dengan negara kesatuan yang
desentralistis terdapat pula dua perbedaan yang bersifat hukum positif, yaitu :
a. Pada negara serikat, negara-negara bagian
memiliki kekuasaan sendiri untuk membuat konstitusi (pouvoir constituant),
mereka dapat mengatur sendiri bentuk organisasinya, sedangkan dalam negara
kesatuan yang desentralistis daerah-daerah ditetapkan oleh pembuat undang-undang
pusat.
b. Dalam negara serikat kekuasaan pembuat undang-undang
pusat untuk memberikan peraturan mengenai pelbagai masalah telah disebut satu
persatu, sedangkan dalam negara kesatuan yang desentralistis kekuasaan pembuat
undang-undang pusat telah ditentukan dalam rumus yang bersifat umum, serta
kekuasaan legislatif badan-badan yang lebih rendah tergantung kepada pembuat
undang-undang pusat dalam menggunakan kekuasaan tersebut.
3. Negara Dominion
Negara dominion
ialah suatu negara yang sebelumnya merupakan jajahan Inggris, yang kemudian
telah merdeka dan berdaulat. Tapi tetap mengakui raja Inggris sebagai rajanya,
sekaligus sebagai perlambang dari persatuan dan kesatuannya. Negara-negara
tersebut tergabung dalam suatu ikatan yang disebut “The British Commonwealth of
Nations” atau Negara-negara Persemakmuran.
British Commonwealth of Nations ini adalah suatu persekutuan
kerajaan Inggris dengan daerah-daerah bekas jajahannya yang telah dilimpahkan
wewenang penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagai negara merdeka,
berhak mengatur politik dalam dan luar negeri sendiri dan berhak pula
menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kedaulatannya.
Dalam Report on the Imperial Conference tahun 1926 dirumuskan
kedudukan negara-negara dalam British Commonwealth of Nations tersebut
(Daerah-daerah bagian dalam kerajaan Inggris yang berkedudukan sama, tidak
dengan cara apapun berada di bawah yang lain dalam urusan dalam negeri maupun
luar negeri, walaupun bersatu dalam setia kawula bersama kepada mahkota dan
dalam persekutuan bebas sebagai anggota Persemakmuran bangsa-bangsa Inggris).
British
Commonwealth of Nations ini merupakan sarana untuk mempersatukan mereka dalam
kepentingan bersama antara negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama dalam
bidang ekonomi dan militer. Dominion-dominion Inggris tersebut diantaranya
ialah Kanada, Australia, Afrika Selatan, New Zealand, India, Malaysia, dan
lain-lain.
4. Negara Protektoral
Negara
Protektoral, adalah suatu negara yang berada dibawah lindungan (to protect =
melindungi ; perlindungan) negara lain. Lazimnya masalah hubungan luar negeri
dan pertahanan keamanan dari negara protektorat itu dengan persetujuan bersama
diserahkan kepada negara yang memberikan perlindungan tersebut (suzeren).
Kenyataannya, negara protektorat bukan merupakan subyek dari hukum
internasional.
Negara protektorat
dibagi menjadi dua macam :
a. Protektorat Kolonial
Terhadap masalah hubungan luar negeri dan urusan pertahanan/keamanan
serta sebagian besar urusan dalam negeri yang penting, diserahkan kepada negara
pelindungnya. Karena itu negara
protektoral kolonial jenis ini tidak menjadi subyek hukum internasional.
b. Protektorat Internasional
Dalam protektorat
internasional ini, negara yang berada di bawah perlindungan tersebut dapat
bertindak dan menjadi subyek daripada hukum internasioanl.
Contoh negara protektorat yang pernah ada,
antara lain : Zanzibar, protektorat Inggris (1890); Mesir, protektorat Turki
(1917) dan Albania, protektorat dari India (1936).
5. Negara Uni
Dua negara atau
lebih yang masing-masing merdeka dan berdaulat, mempunyai satu kepala negara
yang sama. Walaupun pada hakekatnya uni tersebut bukan merupakan bentuk suatu
negara, tapi bentuk gabungan negara-negara atau badan kerjasama antara
negara-negara tersebut. Uni itu dibentuk dengan sengaja untuk menciptakan
persatuan di antara dua negara atau lebih.
Uni ini dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu :
a. Uni Riil atau Uni Nyata
Uni riil ini terjadi apabila negara-negara tersebut mempunyai alat
kelengkapan negara bersama, yang telah ditentukan terlebih dahulu. Uni ini
dibentuk dengan sengaja untuk mewujudkan persatuan yang nyata antara beberapa
negara tersebut.
b. Uni Personal atau Uni Pribadi
Uni personal ini terjadi
apabila kepala negaranya saja yang sama. Uni tersebut tercipta seakan-akan
tidak dengan kesengajaan, seorang raja secara kebetulan dalam masa yang sama
sekaligus mengepalai lebih dari satu negara.
Contoh uni riil : Austria-Hongaria (1918),
Uni afrika Selatan, Uni Birma, dan lain-lain. Sedangkan contoh uni personal :
Belanda-Lexumburg (1890), Swedia-Norwegia (1814-1905), Uni Inggris Hannover
(1714-1837).
Dalam pemekaran berikut
baik uni riil maupun uni personal ternyata cenderung menunjukkan sifat-sifat
khasnya, sesuai dengan erat atau longgarnya ikatan persetujuan yang diterapkan
masing-masing negara tersebut. Uni ini
menunjuk pada sifat-sifatnya sebagai negara yang berbentuk fusi,
federasi atau konfederasi, yaitu :
a. Uni Fusi
Uni ini dibentuk untuk mewujudkan persatuan yang bulat sebagai suatu
negara kesatuan. Uni ini berarti
penggabungan dan peleburan secara total menjadi satu negara, sehingga disebut
juga uni fusi. Misalnya uni Afrika Selatan.
b. Uni Federasi
Uni ini dibentuk untuk menyusun persatuan yang lebih rapi antara beberapa
negara atau satuan daerah dengan tidak menghilangkan keutuhan serta sifat asli
dari satuan-satuan negara tersebut, dengan mewujudkan negara serikat atau
federasi. Karena itu hal semacam ini
disebut uni federasi, seperti misalnya Uni India, Uni Sovyet Sosialis Rusia.
c. Uni Konfederasi
Untuk menciptakan persekutuan yang lebih longgar, dibentuk uni yang mirip
dengan kofederasi. Seperti halnya Uni Holland Zeeland dahulu yang dilanjutkan
dengan Uni Utrecht, yang semua hanya dimaksudkan sebagai persekutuan kerjasama
dalam masa perang saja, tapi kemudian tumbuh menjadi uni konfederasi dengan
terbentuknya Republik der Verenigde Nederlander.
Catatan :
Selain jenis uni
personal dan uni riil, terdapat juga uni yang bersifat khas yang disebut Uni
Sui Generalis. Seperti halnya Uni Indonesia-Belanda tahun 1949, sebagai
realisasi dari Konferensi Meja Bundar. Uni Sui Generalis ini bukan uni riil
atau uni personal, karena tidak mempunyai alat perlengkapan negara bersama,
juga tidak mempunyai kepala negara yang sama dan bersama. (Uni Indonesia-Belanda ini secara resmi dibubarkan
21 April 1956).
BAB VII
TEORI BENTUK
PEMERINTAHAN
1. Teori Tua
Menurut penganut
teori tua atau kuno, bentuk pemerintahan suatu negara itu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan besar yakni : Monarchi, Aristokrasi dan
Demokrasi. Kriteria yang dipakai tokoh aliran ini seperti Plato, Aristoteles,
Thomas van Aquino dan Polybios dalam membedakannya ialah :
a. Jumlah orang yang memerintah
Apakah pemerintahan suatu negara itu dipegang oleh seorang saja, beberapa
orang ataukah oleh seluruh rakyat.
b. Sifat dari pemerintahan
Pemerintahan itu ditujukan kepada
siapakah? Untuk kepentingan umum yang dinilai baik atau sebaliknya hanya
diarahkan untuk kepentingan diri sendiri atau sekelompok orang saja.
Semuanya menimbulkan ekses-ekses atau
dampak tertentu. Dampak dari pemerintahan monarchi akan menimbulkan tirani,
dampak dari aristokrasi mengakibatkan oligarchi dan dampak dari demokrasi
sendiri dapat menyebabkan timbulnya anarchi.
2. Teori Modern
Dalam teori
modern, pembagian bentuk pemerintahan suatu negara itu dibedakan hanya dalam
dua jenis yakni Monachie dan republik. Penjenisan ini dianut oleh
Machiavelli, Jellinek dan Leon Duguity.
a. Machiavelli
Menurut Nicholo Machiavelli, semua negara dan semua
kekuasaan yang melakukan pemerintahan negara atas manusia, adalah republik atau
kerajaan. Tapi dalam bukunya “II Princep” itu, Machiavelli tidak menjelaskan
lebih lanjut arti dan perbedaan kedua bentuk pemerintahan tersebut. Ia hanya
menerangkan bahwa kerajaan itu adalah negara yang dipimpin oleh seorang kepala
negara berdasarkan hak waris yang turun-temurun, dan bagaimana seyogyanya suatu
kerajaan harus dipimpin.
b. Jellinek
Dalam bukunya “Allgeimene Staatslehre”, ia mengupas
perbedaan antara monarchi dan republik itu berdasarkan cara pembentukan
kehendak negara (der staatslichen willensbildung). Untuk mengetahui cara pembentukan kehendak
negara itu, terdapat dua alternatif :
-
Secara
psikologis, di mana kehendak negara itu terjelma sebagai kehendak seorang. Dalam
hal ini terdapat bentuk monarchi.
-
Secara Yuridis, di mana kehendak negara itu terwujud
sebagai kemauan yang berupa hasil suatu peristiwa yuridis (eines juristischen
verganges), maka dalam hal ini terdapat bentuk republik.
Di dalam negara monarchi kehendak negara terwujud dalam
kemauan raja selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Sedangkan dalam negara berbentuk republik kehendak
negara merupakan manifestasi dari suatu peristiwa hukum. Dalam republik ini
terdapat suatu aparat yang mewakili sejumlah orang sebagai pemegang kekuasaan
dan kedaulatan. Badan ini memiliki intergritas dan kepribadian sendiri menurut
hukum dan terpisah dari kehidupan kepentingan orang-orang di dalam strukturnya.
Keputusan badan ini dilahirkan menurut prosedur hukum sesuai dengan konstitusi
negara dan inilah yang merupakan kehendak negara tersebut.
Jika
dipergunakan kriteria Jellinek di atas, dalam perkembangan pemerintahan
kenegaraan saat ini dijumpai bentuk monarchi yang menurut Jellinek adalah
bentuk republik, sebaliknya ada bentuk republik yang menyerupai monarchi.
Misalnya di inggris, kemauan negara ternyata tidak ditentukan oleh raja
sendiri, tapi hasil konsensus di parlemen. Undang-undang di negara itu dibuat
oleh parlemen dan parlemen pula yang menyusun formasi kabinet.
Dengan bukti
ini ternyata kemauan negara tidak berada di tangan raja dan tidak terdapat
sifat kerajaan menurut rumusan Jellinek dimaksud. Tapi ia menyebut sistem di
Inggris itu sebagai monarchi, dengan argumentasi : walaupun kekuasaan pada
dasarnya berada di tangan parlemen, tapi kebinetnya diangkat oleh raja sendiri
dengan mengangkat pimpinan partai yang memperoleh suara terbanyak atau
mayoritas di Majelis Rendah untuk menjadi perdana menteri. Perdana menteri
kemudian mengangkat menteri-menteri sebagai pembantunya dari partai yang
berkuasa atau memperoleh suara terbanyak tersebut.
Kranenburg,
salah seorang yang membantah teori Jellinek tersebut. Ia mengatakan, kenyataan
yang sebenarnya di Inggris tidaklah demikian. Raja memang dapat menghentikan
perundang-undangan secara informal, tapi secara formal raja sendiri tidak dapat
melaksanakannya tanpa dukungan dari parlemen. Dengan suatu ‘royal proclamation’
saja, raja tidak akan dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang
mengikat.
c. Leon Duguit
Penjenisan
bentuk suatu pemerintahan negara menurut Duguit dengan kriteria cara atau
sistem penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya. Negara disebut monarchi
bilamana kepala negaranya diangkat atau ditunjuk berdasarkan stelsel pewarisan.
Sedangkan negara disebut republik, jika kepala negaranya diangkat tidak
berdasarkan stelsel pewarisan tersebut. Tapi dapat melalui suatu pemilihan,
kudeta, dan lain seabagainya.
Seperti
ditandaskannya dalam buku “Traite de Droit Constitusionel”, Duguit berkata :
“La monarchie est la forme de gouverment dans laquelle ilyun chef d’Etat
hereditaire; la republique celle on il n’y pas hereditaire”. (monarchi adalah
bentuk pemerintahan yang kepala negaranya turun-temurun, republik ialah apabila
tidak terdapat kepala negara atau dimana kepala negara tidak berganti
turun-temurun).
d. Hans Kelsen
Menurutnya, untuk mengklasifikasikan bentuk pemerintahan
suatu negara harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria yang dipergunakan.
Kriteria tersebut harus sesuai dengan hakekat negara itu yang mempunyai
akibat-akibat tertentu terhadap warga-negaranya. Hakekat negara yang
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap warganegara tersebut yang
dipakai Kelsen sebagai kriteria membedakan negara satu dengan negara yang lain.
Menurut ajarannya, hakekat negara itu adalah tertib
hukum atau tertib masyarakat yang menjelma menjadi peraturan-peraturan hukum
yang mengandung sanksi-sanksi tertentu pula. Karena peraturan hukum itu
bersifat memaksa, dengan sendirinya akan membatasi kebebasan warganegara,
padahal kebebasan warga negara itu menurut Hans Kelsen merupakan nilai pokok
yang fundamental dalam suatu negara totaliter.
e. Kranenburg
Meskipun ia berpendapat terdapat ketidak-pastian dalam
penggunaan istilah monarchi atau republik, dan tidak jelas pula apakah monarchi
atau republik itu merupakan bentuk negara atau bentuk pemerintahan, ia
cenderung untuk menyetujui pendapat Leon Duguit dan Otto Koelreutter yang
bahkan menambahkan jenis pemerintahan ketiga, yakni : negara pemimpin otoriter
(autoritaire leiderstaat).
Diungkapnya bahwa sifat hakekat negara itu tergantung
dari masalah bagaimanakah sifat hubungan antara fungsi-fungsi negara itu dengan
organ-organnya serta sifat hubungan masing-masing organ dimaksud. Dengan kata
lain, apakah fungsi-fungsi negara itu dipusatkan pada satu organ atau justru
dibagi-bagi kepada beberapa organ yang saling berhubungan satu dengan yang
lain, ataukah dengan melihat dasar perkembangan sejarah dan penjenisan negara
modern yang timbul sebagai hasil dari perkembangan politik sekarang.
3. Monarchi
Monarchi atau kerajaan, ialah negara yang dikepalai seorang
raja atau (ratu), yang bersifat turun-temurun dan menjabat tanpa batas atau
seumur hidup. (Kata monarchie terdiri dari “monos” yang berarti = satu-satunya;
dan anarchie, asal katanya archien yang berarti kekuasaan (heerschen). Bearati monarchi ialah kekuasaan
yang berada pada seorang saja.
Beberapa sistem monarchie ialah :
a. Monarchie Absolut atau Monarcho Monokrasi
Kekuasaan dan wewenang raja atau kaisar atau Syah yang mengepalai negara
itu bersifat tidak terbatas atau mutlak. Perintah raja merupakan undang-undang yang harus dilaksanakan tanpa
reserve. Kehendak raja dianggap sebagai kehendak rakyat, seperti ucapan Louis
XIV dari Perancis yang termasyhur itu : “L’Etat cest moi” (negara adalah saya).
b. Monarchie Konstitusional atau Moarcho
Oligarchie
Monarchie ini dibatasi oleh suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Raja tidak dapat berbuat dengan
sewenang-wenang, ia tidak dapat bertindak selain atas dasar konstitusi
tersebut.
c. Monarchie Parlementer atau Monarcho
Demokrasi
Ialah suatu monarchie di mana terdapat suatu dewan perwakilan rakyat atau
parlemen, dimana para menteri baik secara perseorangan maupun secara
keseluruhan harus bertanggungjawab kepada parlemen tersebut.
Dalam sistem monarchie parlementer, raja selaku kepala negara
hanya merupakan lambang saja dari keutuhan dan kesatuan negara yang tidak dapat
diganggu-gugat dan tidak diharuskan bertanggungjawab (The King can do not
wrong). Yang dibebankan pertanggungan jawab atas segala tindakan dan
kebijaksanaan pemerintah, adalah para menteri baik secara perorangan maupun
secara keseluruhan.
Negara
yang masih menganut monarchie antara lain : Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia
dan Thailand .
4. Oligarchie
Kata “oligarchie” berasal dari “oligoi” yang berarti =
sedikit orang (weinigen) dan “archie” yang bearti = berkuasa. Kekuasaan yang
ada pada sedikit orang. Oligarchie berarti, kekuasaan negara untuk memerintah
di tangan sejumlah orang saja.
Kekuasaan pemerintahan negara yang bersifat oligarchie ini
dibedakan dalam dua jenis :
a. Aristokrasi
(Aristos, kaum bangsawan), yaitu bila pemerintahan negara dipegang oleh
beberapa orang kaum bangsawan (Baron; Hertog, dan lain-lain), seperti halnya
republik Romawi di zaman Julius Caesar.
b. Plutokrasi
(Plutos, kekayaan), yaitu apabila pemerintahan negara dipegang oleh
beberapa orang kaum saudagar atau pedagang yang kaya-kara; seperti halnya
negara-negara Eropah di abad pertengahan.
5. Autokrasi
Asal katanya
dari “auto dan cratein”, yang berarti memerintah sendirian. Negara autokrasi
adalah negara yang diperintah oleh satu orang. Dalam sejarah tercatat adanya
autokrasi kuno yang tidak mempunyai badan perwakilan rakyat dan autokrasi
modern yang sudah memiliki badan perwakilan rakyat tersebut, meskipun pada
prakteknya lembaga tersebut hanya sebagai kedok atau topeng belaka.
Pada negara
autokrasi modern, lembaga perwakilan rakyat dimaksud hanya sebagai pelengkap
saja dari organ negara yang tidak memiliki fungsi dan hak-hak sebagai lembaga
negara yang representatif. Pada negara modern pemerintahan autokrasi
dimanifestasikan dalam sistem satu partai, sedangkan pada negara autokrasi kuno
diperintah oleh satu orang saja.
Contoh
pemerintahan autokrasi ini ialah Fasisme Italia di bawah Benito Mussolini,
Naziisme Jerman di bawah pemerintahan Hitler, Spanyol di bawah Jenderal Franco.
Meskipun
sistem autokrasi ini dulunya dianut oleh negara-negara fasisme seperti Jerman
di bawah nazi Adolf Hitler dan Italia di bawah Mussolini, sistem autokrasi
modern dengan partai tunggal terdapat pula di negara-negara komunis. Mereka
merupakan seorang pemimpin tertinggi partai komunis, jabatan Sekretaris
Jenderal partai adalah yang paling tinggi dan berkuasa, lebih berkuasa dari
Presiden atau Perdana Menteri.
Dalam sistem
partai tunggal ini, pada pemilihan umum para pemilihnya hanya diberi satu
alternatif untuk memilih calon-calon dari satu-satunya partai yang ada, atau
sama sekali tidak memilih. Kekuasaan negara sepenuhnya dipegang dan
dikendalikan oleh partai, dengan Sekjen sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
6. Demokrasi
Makna katanya :
“demos” = rakyat; kratein = pemerintahan. Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat
dan untuk rakyat (menurut Abraham Lincoln). Pemerintahan demokrasi ialah suatu
pemerintahan negara yang dipegang oleh seluruh rakyat. Rakyatlah yang
memerintah, melalui wakil-wakilnya dan kemauan rakyatlah yang harus dituruti. Semboyannya
: “Vox Populi, Vox Dei”. Suara rakyat, Suara Tuhan!
Menurut prof.
Wirjono Prodjodikoro, demokrasi dalam arti yang sangat tepat, yaitu
pemerintahan oleh rakyat sendiri, hanya ada, apabila berwujud demikian rupa,
bahwa segala putusan pemerintah selalu diambil oleh rakyat seluruhnya, yang
untuk itu setiap kali berkumpul dalam suatu rapat raksasa.
Tapi tentu saja wujud demokrasi semacam ini sangat sukar
diterapkan, mengingat besarnya negara, luasnya daerah dan banyaknya penduduk.
Seperti tersirat dari definisi yang dirumuskan oleh Prikles, tujuan demokrasi
ialah pelaksanaan kemerdekaan dan persamaan oleh Prikles, tujuan demokrasi
ialah pelaksanaan kemerdekaan dan persamaan martabat yang hakiki dari
warganegara.
Dalam perkembangannya
pengertian demokrasi ini mempunyai dua makna. Demokrasi dalam artian formal,
ialah adanya pengakuan bahwa faktor yang menentukan dalam negara adalah kemauan
rakyat yang menjadi sebagian besar dari rakyat (volonte generale dari
Roussseau) tanpa adanya batasan yang dapat dijadikan jaminan bagi kemerdekaan
individu. Demokrasi dalam arti materil, ialah hakekat daripada demokrasi itu
terletak pada jaminan bagi kemerdekaan dan kebebasan warganegara.
Hans Kelsen
menyimpulkan prinsip umum demokrasi yang diuraikannya sebagai berikut : “adanya
persamaan wujud antara yang memerintah dan yang diperintah antara subyek dan
obyek kekuasaan. Rakyat harus dikuasai oleh rakyat sendiri”.
Cara untuk
menerapkan pemerintahan demokrasi tersebut umumnya digolongkan menjadi dua
bentuk :
a. Demokrasi Langsung (Directe Democratie)
Ialah, bilamana segala rakyat
berkumpul bersama-sama untuk membuat undang-undang negara yang perlu. Sistem
ini sekarang masih terdapat di beberapa daerah negara Swiss, dengan sistem
referendum.
b. Demokrasi Perwakilan (Representatieve
Democratie)
Yaitu bilamana segala rakyat yang telah dewasa memilih wakil-wakilnya
untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah, yang
akan melaksanakan mekanisme pemerintahan.
Selain
itu, demokrasi langsung juga dahulu pernah dianut di negara-negara kota Yunani, Swedia dan di
beberapa negara bagian Amerika Serikat; sedangkan demokrasi tidak langsung
umumnya dianut oleh negara-negara modern saat ini.
7. Teori Pemisahan Kekuasaan
Menurut beberapa ahli, untuk menunjang perwujudan demokrasi
tersebut perlu adanya pemisahan kekuasaan negara. Para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang
teori pemisahan kekuasaan ini antara lain :
a. John Locke
John Locke, seorang ahli hukum tata negara Inggris
pertama kali memperbincangkan teori ini dalam bukunya “Two Treatises on Civil
Government” (1690) memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam :
(1)
Kekuasaan legislatif, atau kekuasaan untuk membuat
undang-undang;
(2) Kekuasaan eksekutif, atau kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang;
(3) Kekuasaan federatif, atau kekuasaan untuk
mengadakan perikatan dan alliansi beserta tindakan semua badan-badan di luar
negeri
Kekuasaan ketiga lembaga
tersebut menurut John locke harus dipisahkan antara satu dengan lainnya.
b. Montesquieu
Montesquieu (1698-1755), seorang ahli politik dan
filsafat Prancis menulis buku yang berjudul “L’Esprit des Lois” (Jiwa
Undang-Undang) yang menyatakan bahwa, dalam suatau kekuasaan pemerintahan harus
dipisah-pisahkan dalam tiga jenis yakni : kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan
negara, ketiga macam kekuasaan itu harus terpisah sama sekali, baik mengenai
fungsi dan kewenangannya maupun tentang alat perlengkapan yang melaksanakan :
a. Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh
suatu badan perwakilan rakyat (parlemen);
b. Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh
pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan Kabinet);
c. Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh
badan peradilan (Mahkamah Agung dan peradilan lainnya).
Isi ajaran
Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara (the seperation of power) ini
dikenal dengan sebutan Trias Politika. Istilah yang konon diberikan oleh
Immanuel Kant ini berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ‘Politik Tiga Serangkai’.
Menurut ajaran tersebut, dalam suatu negara harus terdiri dari tiga jenis
kekuasaan yang tidak diperkenankan dipegang oleh satu tangan saja, tapi
masing-masing kekuasaan itu harus saling terpisah.
Dalam
perkembangan berikutnya, ternyata ajaran trias Politika dari Montesquieu ini
ternyata menumbuhkan tiga bentuk penafsiran baru dalam pelaksanaannya, yaitu :
(1)
Di Amerika Serikat
Menurut pembentuk konstitusi
Amerika Serikat, yang dikehendaki Montesquieu ialah pemisahan kekuasaan negara
secara sempurna. Antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainnya
jangan terjadi saling mencampuri kewenangan masing-masing.
Penafsiran ini menimbulkan
suatu sistem pemerintahan yang dikenal sebagai sistem presidensiel.
(2)
Di Negara-negara Eropa barat
Menurut faham mereka yang dimaksud Montesquieu dengan teori Trias
Politikanya itu ialah antara satu badan dengan badan yang lain terdapat
hubungan timbal balik, khususnya antara lembaga legislatif dengan lembaga
eksekutif.
Penafsiran ini menumbuhkan
suatu sistem pemerintahan yang terkenal dengan sebutan sistem parlementer.
(3)
Di Swiss
Faham pemisahan kekuasaan Montesquieu ini di tafsirkan bahwa badan
eksekutif itu hanya merupakan badan pelaksana atau badan pekerja saja dari apa
yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Sistem ini disebut sistem
referendum atau sistem badan pekerja.
c. Maurice Duverger
Maurice Duverger membeda-bedakannya berdasarkan cara
pemilihan penguasa, dengan cara tersebut ia mengelompokkan sebagai berikut :
(1)
Negara-negara dengan pemilihan bebas
Misalnya di Inggris, Amerika
Serikat dan Perancis;
(2) Negara-negara dengan pemilihan terpimpin
Misalnya negara-negara Balkan;
(3) Negara-negara dengan pemilihan secara
plebisit
Misalnya di USSR
(4) Negara-negara yang tidak mengadakan
pemilihan
Misalnya di Spanyol dan Tiongkok
Terhadap
klasifikasi di atas, Maurice Duverger mengakui masih terdapat
kekurangan-kekurangan, oleh sebab itu pembagian yang lebih memuaskan ialah :
(1)
Sistem pemerintahan parlementer
Misalnya di Inggris
(2)
Sistem pemerintahan presidensiel
Misalnya di Amerika Serikat
(3)
Sistem pemerintahan majelis perwakilan
Pernah dianut di Perancis
Terhadap klasifikasi ini, masih diberikan alternatif
lain oleh Maurice Duverger dengan pembagian yang lain ditinjau dari struktur
partai-partai politik yang terdapat di negara tersebut, yang menghasilkan
penjenisan :
(1)
Sistem partai tunggal
Misalnya di USSR
(2)
Sistem partai dua
Misalnya di Amerika Serikat
dan Inggris
(3)
Sistem partai banyak
Misalnya di Perancis , Jerman, Italia
Tapi pembagian ini masih juga belum memuaskan, karena
masing-masing negara mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda, karena itu
Maurice Duverger mengajukan lagi klasifikasi dengan kriteria pada struktur
pemerintahannya, tapi juga memperhitungkan kekuasaan para penguasanya beserta
cara-cara pembatasan kekuasaan tersebut, sehingga terdapatlah penjenisan:
(1)
Sistem pemerintahan bebas atau liberal
(2) Sistem pemerintahan setengah bebas atau
setengah liberal
(3)
Sistem pemerintahan totaliter atau kolektif
Dalam sistem ini penguasa mempunyai kekuasaan yang bersifat mutlak
terhadap warganegaranya. Kekuasaan yang dipegang pemerintah didukung oleh
partai negara.
Misalnya di Rusia atau Era Nazi di jerman dan Facis di italia.
Terhadap pelbagai klasifikasi tersebut Maurice Duverger
menyadari masih terdapat kelemahan atau kekurangan-kekurangannya. Dari sudut logika atau penalaran,
menurutnya pada garis besarnya pemerintahan yang bener-benar ada di dalam dunia
ini dibedakan dalam tiga golongan besar, yaitu ::
(1)
Tipe Inggris
Misalnya dianut di Inggris
sendiri, dominion Inggris serta sebagian besar negara-negara di eropa Barat.
(2)
Tipe Amerika
Terdapat pada sebagian besar dari negara-negara di Benua Amerika, selain
Kanada.
(3)
Tipe Rusia
Terdapat di Rusia itu sendiri,
yaitu UUSR bersama negara-negara bagiannya.
8. Tipe Demokrasi Modern
Tipe atau jenis
demokrasi modern, digolongkan sebagai berikut :
a. Demokrasi dengan sistem Presidensiel
Sistem
demokrasi atau pemerintah perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem
pemisahan kekuasaan secara tegas ini disebut juga demokrasi dengan sistem
presidensiel. Di samping pembagian kekuasaan di antara masing-masing alat
perlengkapan negara (division of power), sekaligus terdapat pemisahan kekuasaan
(separation of power).
Kekuasaan
eksekutif pada dasarnya terpisah dengan badan perwakilan rakyat, demikian juga
terdapat kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif, Presiden mengangkat menteri-menteri
sebagai pembantunya yang bertanggungjawab kepadanya, bukan kepada badan
perwakilan rakyat. Presiden mempertanggung-jawabkan pemerintahannya kepada
rakyat melalui wakil-wakilnya, sementara badan perwakilan rakyat tidak menggulingkan
pihak eksekutif.
Sistem pemisahan kekuasaan ini
antara lain dianut oleh Amerika Serikat.
b. Demokrasi dengan Sistem Parlementer
Demokrasi atau sistem pemerintahan perwakilan rakyat yang
representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi diantara badan-badan
yang diserahi kekuasaan ini, terutama antara eksekutif dan legislatif dapat
saling mempengaruhi disebut juga demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada sistem ini
memang terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan
perwakilan rakyat. Kabinet atau dewan menteri bertanggungjawab atas jalannya
roda pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat tersebut. Sepanjang pihak
legislatif masih mempercayai pihak
eksekutif dapat melaksanakan kekuasaannya sesuai dengan haluan dan politik
negara, selama itu pula eksekutif tetap memperoleh dukungan, sebaliknya jika
tidak lagi mendapat kepercayaan, legislatif dapat menjatuhkan eksekutif
sehingga akhirnya kabinet jatuh.
Menurut sistem
ini, terdapat pembagian kekuasan antara kedua badan tersebut. Eksekutif
melaksanakan tugas-tugasnya menurut ketentuan-ketentuan yang digariskan
legislatif. Dewan ataupun badan perwakilan rakyat dapat berbentuk satu majelis
atau dewan (monocameraal atau uni-cameraal), dapat juga berbentuk bicameraal
(dua majelis atau dewan), sedangkan kekuasaan eksekutif berada pada suatu dewan
menteri yang dibagi-bagi atas beberapa departemen.
Ternyata
bukan hanya negara yang berbentuk republik yang menganut sistem parlementer,
tapi juga hampir semua monarchie atau kerajaan yang menerapkan bentuk
parlementer ini. Sistem ini semula dianut Inggris pada abad ke-18 dan 19,
kemudian dipergunakan juga oleh Negeri Belanda, Belgia, Skandinavia dan
dominion Inggris lainnya.
c. Demokrasi dengan Sistem Referendum
Demokrasi atau sistem pemerintahan perwakilan rakyat
yang representatif dengan pengawasan secara langsung oleh rakyat, disebut
demokrasi dengan sistem referendum atau dengan sistem badan pekerja.
Dalam sistem
ini perundang-undangan diawasi langsung oleh rakyat. Pengawasan ini
melalui dua cara yaitu :
(1) Referendum Obligatoire
Berlaku dan mengikatnya suatu rancangan undang-undang tergantung pada
persetujuan rakyat terbanyak lebih dahulu. Referendum jenis ini terutama dilaksanakan mengenai peraturan-peraturan
yang bertalian dengan konstitusi negara.
(2) Referendum Fakultatief
Suatu peraturan diumumkan
terlebih dahulu oleh badan legislatif. Jika dalam waktu yang telah ditetapkan,
rakyat menyatakan tidak setuju dengan jumlah minimum tertentu, maka peraturan
tersebut dianggap batal dan tidak dapat diberlakukan.
Keistimewaan demokrasi
dengan sistem referendum seperti yang dianut Swiss ini, terutama karena
sifatnya yang langsung sehingga memungkinkan rakyat melakukan peransertanya
secara aktif dalam mekanisme pemerintahan negara.
Sistem
demokrasi langsung di swiss ini disalurkan dengan hak inisiatif dan hak
referendum. Hak inisiatif dalam hal, hak rakyat untuk membuat gagasan memajukan
suatu usul baik menyangkut konstitusi maupun perundang-undangan lainnya.
Sedangkan hak referendum dimaksudkan dalam hal-hal penentuan sikap rakyat.
9. Sistem Pemerintahan
Sistem
pemerintahan adalah suatu sistem yang berlaku dalam mengatur berbagai alat-alat
perlengkapan negara dan tentang bagaimana hubungan antara alat-alat
perlengkapan negara itu.
Menurut paham ini dikenal 3 macam
sistem pemerintahan, yaitu :
1. Sistem pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara badan
eksekutif dengan badan legislatif.
Penjelasan : Sistem ini identik dengan sistem
eksekutif parlementer.
2.
Sistem pemerintahan dimana terdapat
pemisahan yang tegas antara badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Penjelasan : sistem ini dikenal atau biasa disebut
dengan sistem Presidensil yang murni (fixed executive – sistem eksekutif
Presidentiil) atau juga disebut dengan sistem pemerintahan ala Amerika Serikat
yang menerapkan ajaran Trias Politika.
3.
Sistem pemerintahan dimana terdapat
pengaruh/pengawasan yang langsung dari rakyat terhadap badan legislatif
Sistem pemerintahan seperti ini sering juga disebut
sebagai sistem pemerintahan rakyat yang representatif. Dalam sistem ini badan
legislatif tunduk pada kontrol langsung rakyat. Kontrol langsung rakyat
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui inisiatif rakyat dan
referendum. Model pemerintahan seperti ini masih diterapkan pada sistem
pemerintahan di Negara Swiss (legislatur langsung oleh rakyat – lihat materi
perkuliahan sebelumnya).
10. Teori Cyclus Polybios
Suatu hal yang
penting dalam memperbincangkan teori-teori tentang bentuk pemerintahan suatu
negara ini adalah teori yang dikenal kemudian sebagai Cyclus Polybios. Polybios
ini adalah seorang ahli politik dan sejarah berkebangsaan Yunani yang hidup
antara tahun 204-144 sebelum Masehi. Ia pernah ditawan dan dibawa ke Roma
ketika Romawi menyerang Afrika Utara, ia ikut ke negeri itu.
Setelah kembali ke
Yunanai, ia gencar mempropagandakan sistem pemerintahan Roma dalam buku
karyanya yang termasyhur “Historiae”. Rumusnya yang juga terkenal ialah : “Setiap
sebab akan menimbulkan akibat yang sama pula”. Rumusan inilah yang menjadi
dasar dari teorinya yang disebut “causaliteit pricipe” itu.
Menurut Polybios
untuk mencapai sistem pemerintahan yang sebaik-baiknya sehingga terwujud
menjadi kenyataan, haruslah diambil unsur-unsur yang baik dari tiga macam
sistem yang merupakan suatu cyclus yakni, “monarchie-oligarchie-democratie”.
Pemerintahan yang tertua menurutnya ialah monarchie, kemudian tyrannie,
seterusnya aristocratie, oligrachie, democratie, ochlocratie dan kembali kepada
monarchi lagi.
Bermula adalah
dalam suatu tatanan masyarakat yang masih bersahaja, muncullah seorang yang
gagah berani dan dapat mengungguli pihak-pihak lainnya sehingga ia berkuasa,
yaitu seorang raja (monarch) tapi setelah beberapa kurun waktu, pewarisnya yang
kemudian justru zalim dan sama sekali tidak lagi mementingkan kehidupan
masyarakatnya, ia lebih banyak mementingkan kekuasaannya sendiri, sehingga
lahirlah pemerintahan tyrannie.
Lalu perbuatan
tyrannis ini bersimaharejalela, mabuk kekuasaan sehingga muncul beberapa orang
yang berupaya menentangnya. Jika berhasil, akan terbentuklah pemerintahan yang
dilaksanakan oleh beberapa orang. Sistem pemerintahan ini disebut Oligarchie.
Semula juga berorientasi untuk kepentingan umum, tapi lama-kelamaan mereka
mengabaikan hal itu atau pengganti-gantinya melupakannya sama sekali. Seluruh
tindakannya ditujukan untuk kepentingan diri sendiri.
Apabila tindakan
semacam ini sudah berlarut-larut dalam kesewenang-wenangan para penguasa
negara, rakyat berhak melawannya sehingga timbullah kekerasan, kerusuhan dan
pemberontakan dari rakyat banyak yang menuntut hak-haknya. Kemudian akan muncul kembali pemerintahan
demokrasi. Seperti biasa, mula-mula pemerintahannya baik untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyatnya.
Tapi ternyata
rakyat mendewa-dewakan kebebasan, menyalahgunakan kekuasaan. Korupsi dan
manipulasi merajalela kembali, hal ini tidak langgeng. Kelak muncullah seorang
yang bijak memerangi kemelut monarchie atau dictator.
Demikianlah
perputarannya kembali lagi ke bentuk semula menurut Cyclus tersebut. Dapatlah
disimpulkan bahwa Menurut Polybios untuk mencapai sistem pemerintahan yang
sebaik-baiknya sehingga terwujud/menjadi kenyataan, haruslah diambil
unsur-unsur yang baik dari tiga macam bentuk pemerintahan di atas. Hal ini
merupakan suatu siklus, yakni dari bentuk
“monarkhi-oligarkhi dan demokrasi”.
Pemerintahan
yang tertua menurutnya adalah monarkhi, kemudian secara berurutan berubah
menjadi Aristokrasi, Oligarkhi, Demokrasi, Tirani dan kembali lagi ke bentuk
Monarkhi, demikianlah seterusnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar
berikut :
Siklus bentuk negara dari Polybios :
Keterangan
:
-
Aristokrasi adalah pemerintahan oleh kalangan
aristokrat (cendikiawan) sesuai dengan pikiran keadilan, guna kepentingan
seluruh rakyat;
-
Tirani yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang
bertindak dengan sewenang-wenang dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri.
Kranenburg
dan Mac-Iver tidak mengikuti gagasan/pikiran Polybios tersebut, dengan menyatakan
bahwa bentuk pemerintahan tidaklah selalu berubah sebagaimana yang diungkapkan
oleh Polybios, namun akan berubah sesuai dengan keadaan suatu wilayah/negara
masing-masing.
BAB VIII
PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM NEGARA
1. P e n g a n t a
r
Aristoteles dalam bukunya “Politics”
mengintrodusir perlunya pembagian kekuasaan (division of powers) dalam suatu
negara yang disebutnya dengan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini tidak berarti pemisahan kekuasaan (separation of
powers).
Montesquieu
(1689 – 1755) pengarang Perancis yang masyhur dengan bukunya yang terbit tahun
1748 “L’Esprit des lois” (Jiwa Undang-undang), antara lain menyatakan bahwa :
·
Apabila
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh satu orang /satu
lembaga, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya kemerdekaan (liberty);
·
Apabila
kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif dipegang oleh satu orang/satu
lembaga, maka kemerdekaan perorangan hanya tergantung pada pengawasan yang
sewenang-wenang (arbitrarty controle);
·
Sedangkan jika kekuasaan yudikatif dan kekuasaan
eksekutif dipegang oleh satu orang/satu lembaga, maka seorang hakim akan
menjelma menjadi seorang penindas (oppressor).
Montesquieu menilai bahwa kekuasaan
dalam negara harus dibagi dalam tiga lembaga yang masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri, dimana lembaga yang satu merupakan pengawas bagi lembaga
lainnya.
Pembagian kekuasaan itu terdiri dari :
1. Kekuasaan
legislatif, yaitu
kekuasaan membentuk undang-undang yang harus diserahkan kepada parlemen yang
dapat terdiri atas majelis rendah dan majelis tinggi;
2. Kekuasaan
eksekutif, yaitu
kekuasaan menjalankan undang-undang atau pemerintahan yang harus diserahkan
kepada raja yang diberi hak veto;
3. Kekuasaan
yudikatif, yaitu kekuasaan
mengadili yang harus diserahkan kepada hakim-hakim yang disumpah.
Nilai
Ajaran Trias Politika ternyata sukar diterapkan secara konsekuen dimanapun.
Hanya di Amerika Serikat dilaksanakan seoptimal mungkin kendatipun tidak utuh.
Walaupun demikian nilai teori ini justru sangat essensial. Asas-asasnya dianut
dan dicantumkan dalam pelbagai konstitusi negara-negara modern dewasa ini.
Meskipun
umumnya para ahli sependapat tentang differensial dan spesialisasi kekuasaan
sebagaimana tersebut di atas, namun dihubungkan dengan realita, terdapat 5
pendapat/aliran tentang kekuasaan dalam negara (GS. Diponolo dalam
karangannya “Ilmu Negara”).
·
Pertama, aliran abolutis yang menghendaki
pemerintahan otoriter dengan kekuasaan mutlak ditangannya sendiri, aliran ini tidak
menerima gagasan pemisahan kekuasaan. Menurut penganut aliran ini, pada
hakekatnya kekuasaan itu adalah satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dibagi-bagi ataupun dipisahkan;
·
Kedua, aliran yang menilai kekuasaan negara itu
hanya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur legislatif dan unsur eksekutif.
Sedangkan unsur yudikatif dianggap sebagai bagian dari unsur eksekutif;
·
Ketiga, aliran yang membagi kekuasaan atas tiga
unsur, namun tidak persis sama dengan ajaran trias politika. John Locke misalnya, membagi kekuasaan
menjadi: legislatif, eksekutif dan federatif.
Kekuasaan federatif adalah kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri. Adapun
kekuasaan yudikatif oleh John locke tidak disinggung sama sekali, sedangkan
kekuasaan legislatif dipandang sebagai kekuasaan yang tertinggi;
·
Keempat, aliran yang memandang kekuasaan itu
terdiri dari empat unsur. Dimana dinyatakan bahwa sebelum lahirnya 3 kekuasaan
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), kekuasaan awal yang terpenting dan
dianggap paling menentukan adalah unsur
kekuasaan pemilih dalam pemilihan;
·
Kelima, aliran yang menyatakan bahwa selain 4
unsur kekuasaan di atas, masih ada unsur kelima, yaitu unsur kepegawaian dengan tata usahanya.
2. Lembaga Legislatif
Perkataan
Parlemen asalnya dari Bahasa Perancis ‘parler’ yang artinya = berbicara. Dewasa
ini yang dimaksud dengan Parlemen adalah Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu tempat
rakyat memperdengarkan suaranya dalam pemerintahan (keikutsertaan). Parlemen
merupakan lembaga legislatif tertingi dalam suatu negara.
Beberapa
negara menganut asas dua majelis/dua kamar (Bi-kameralisme) dalam susunan
parlemennya, utamanya negara-negara penganut sistem federal misalnya Amerika
Serikat. Sedangkan beberapa negara lainnya menganut sistem satu kamar
(Uni-kameralisme), termasuk Indonesia .
-
Majelis tinggi mempunyai kekuasaan terbatas (kecuali di
Amerika Serikat), utamanya adalah mengawasi majelis rendah. Oleh karena itu
majelis tinggi sering disebut pula sebagai majelis tambahan.
Keanggotaan Majelis
Tinggi dapat ditentukan atas beberapa dasar, yaitu :
a.
Turun-temurun (Inggris)
b.
Ditunjuk (Inggris dan Kanada)
c. Dipilih (India, Amerika Serikat dan
Filipina).
Keberadaan majelis tinggi tidak selalu mencerminkan konstelasi kekuasaan
yang sebenarnya.
-
Majelis rendah merupakan badan yang mewakili rakyat dan
mempunyai kewenangan yang lebih besar. Keanggotaan majelis rendah ditentukan
melalui proses pemilihan umum. Fungsi legislatur secara umum, dijalankan oleh
majelis rendah.
Fungsi badan legislatif yang terpenting
adalah :
1.
Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat
undang-undang.
2.
Mengontrol badan eksekutif, dalam arti menjaga supaya
semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah
ditetapkan.
Untuk
menjalankan dua fungsi pokok tersebut, maka oleh undang-undang badan legislatif
diberikan hak-hak tertentu/khusus.
Berdasarkan kedudukan dan kekuasaannya, maka badan legislatif dapat dibedakan
menjadi :
a. Legislatur Nominal
Hakekat peranannya hanya pada formalitas belaka. Dalam prakteknya badan
legislatif tunduk (subordi nated) kepada badan eksekutif. Lembaga ini mudah
dibubarkan oleh pihak eksekutif. Dianut oleh negara-negara dengan kekuasaan
yang totaliter.
b. Legislatur Supremasi
Lembaga legislatif mempunyai kedudukan dan kekuasaan supremasi di dalam
negara dan mempunyai peranan yang menentukan. Legislatur ini pada hekekatnya
menguasai badan eksekutif. Biasanya diterapkan pada negara-negara penganut
sistem eksekutif parlementer.
c. Legislatur Perimbangan
Dalam sistem ini kedudukan lembaga legislatif seimbang dan mempunyai
peranan yang sama dengan lembaga eksekutif, demikian juga dengan lembaga
yudikatifnya. Ketiga-tiganya
sejajar (nebengeordnet). Legislatur seperti ini diterapkan pada negara-negara
penganut ajaran Trias Politika.
d.
Legislatur langsung oleh rakyat
Legislatur
semacam ini lazim disebut ‘direct populer legislature’ yakni lembaga legislatif
yang peranannya dilakukan oleh rakyat secara langsung, melalui hak inisiatif
dan referendum, seperti yang dianut di Swiis.
3. Lembaga Eksekutif
Lembaga eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan
kehendak negara. Lembaga ini diartikan dalam dua aspek, yaitu :
-
Pertama,
dari pengertian yang sempit berarti badan pimpinan tertinggi pemerintahan,
termasuk kepala negara dan para menteri yang tergabung dalam kabinet;
-
Kedua,
dalam arti luas adalah keseluruhan badan yang menjalankan tugas pemerintahan
dari pusat sampai ke daerah-daerah dengan seluruh jajarannya.
Tugas badan eksekutif menurut tafsiran tradisionil
ajaran trias politika, hanyalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
telah ditetapkan oleh badan legislatif dan menyelenggarakan undang-undang yang
dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sesuai dengan
perkembangan negara modern, maka wewenang badan eksekutif jauh lebih luas dari yang
disebutkan di atas. Bahkan terkesan pada saat ini badan eksekutif sudah
memerankan fungsi badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.
Kekuasaan badan eksekutif dewasa ini tercakup dalam
beberapa bidang :
1.
Diplomatik; menyelenggarakan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain;
2. Administratif; melaksanakan
undang-undang serta peraturan-peraturan lain dan menyelenggarakan administrasi
negara;
3.
Militer; mengatur angkatan bersenjata,
menyelenggarkan perang serta keamanan dan pertahanan negara;
4.
Yudikatif; memberi grasi, amnesti dan
sebagainya;
5.
Legislatif; merencanakan rancangan
undang-undang dan membahasnya bersama-sama DPR untuk dapat ditetapkan sebagai
undang-undang.
Sistem eksekutif terbagai atas :
a. Sistem eksekutif parlementer
Dalam sistem ini, di samping terdapat kepala negara
yang dijabat oleh seorang raja atau presiden yang hanya berkuasa secara
simbolik belaka, terdapat lagi kabinet yang terdiri dari Perdana Menteri
(prime-minister) dan menteri-menteri yang menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan. Kabinet inilah yang menyelenggarakan kekuasaan eksekutif yang
dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada parlemen.
b. Sistem Eksekutif Presidentiil
Pada sistem ini
kepala negara sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan atau eksekutif.
Badan eksekutif ini tidak tergantung dan tidak bertanggung jawab kepada
legislatif.
c. Sistem eksekutif Kepemimpinan Mutlak
Sistem ini
dimaksudkan sebagai pemusatan kekuasaan yang berada di satu tangan. Eksistensi
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang terpisah-pisah dan
masing-masing berdiri sendiri itu, dianggap tidak ada. Dalam sistem
ini lembaga eksekutif memegang peranan yang dominan.
d. Sistem Eksekutif Kollegium
Sistem ini
merupakan kombianasi antara sistem demokrasi lagsung dan demokrasi
perwakilan sebagaimana yang terdapat di
Swiis. Pada sistem ini terdapart suatu kollegium (forum bersama) dari beberapa
orang dengan 1 orang ketua. Kollegium inilah yang menjalanakan fungsi-fungsi eksekutif tertentu.
4. Lembaga Yudikatif
Kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan Yustisi (kehakiman) merupakan kekuasaan dengan
kewajiban mempertahankan undang-undang dan memberikan peradilan kepada rakyat.
Lembaga Yudikatif berkuasa untuk memeriksa dan memutus perkara serta
menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran undang-undang yang
berlaku.
Kekuasaan
yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas), dalam artian kekuasaan
lainnya (legislatif dan eksekutif) tidak boleh mencampuri segala urusan
peradilan yang merupakan perwujudan kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal
yang telah ditentukan oleh konstitusi.
Studi
mengenai kekuasaan yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis-yuridis yang
termasuk ke dalam bidang ilmu hukum. Dalam hal Kekuasaan yudikatif (Mahkamah
Agung) memainkan peranan politik, maka pembahasannya juga merupakan kajian ilmu
politik di samping kajian dari Ilmu Negara.
DAFTAR BACAAN
Azhary, Ilmu Negara, Pembahasan Buku Kranenburg, PT. Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.
G.S., Diponolo, Ilmu
Negara, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1985.
Kranenburg, Ilmu
Negara Umum, terjemahan Mr. Tk.S. Sabaruddin, JB Wolters, Jakarta, 1969.
Maurice Duverger, Teori
dan Praktek Tata Negara, PT. Pustaka Rakyat, Jakarta 1971.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1984.
Moh. Kusnardi dan
Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta 2000.
Ramdlon Naning, Gatra
Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1999.
Soehino, Ilmu
Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, PT.
Eresco, Jakarta ,
1981.
.