Wednesday, June 1, 2016

Pengertian Ilmu Negara

ILMU NEGARA
TINJAUAN MATA KULIAH

1. Diskripsi Singkat Mata Kuliah
            Mata Kuliah Ilmu Negara (IN) pada dasarnya memakai sistematika Georg Jellinek ditambah teori-teori lain yang berkembang. Adapun pembahasannya meliputi, Sifat dan Hakekat Ilmu Negara, Unsur-unsur Negara, Teori Terjadinya Negara, Teori Lenyapnya Negara, Teori Tujuan Negara, Teori Bentuk Negara, Teori Bentuk Pemerintahan dan Organisasi Negara.

 2. Kegunaan Mata Kuliah
            Mata kuliah Ilmu Negara merupakan Mata Kuliah Prasyarat, yang berguna bagi Mahasiswa khususnya untuk dapat mengetahui dan memahami dasar-dasar tentang negara secara umum.

3. Tujuan Perkuliahan
            Mata Kuliah Ilmu Negara disajikan untuk memberikan pemahaman yang konprehensif tentang prinsip-prinsip Ilmu Negara Umum yang meliputi :
-          Sifat dan Hakekat Ilmu Negara;
-          Unsur-unsur Negara;
-          Teori Terjadi dan Lenyapnya Negara;
-          Teori Tujuan Negara;
-          Teori Bentuk Negara;
-          Teori Bentuk Pemerintahan;
-          Organisasi Negara.

4. Strategi Perkulihan
      Metode penyajian yang digunakan terdiri dari ceramah, tanya jawab, diskusi dan penugasan.



BAB I
SIFAT DAN HAKEKAT ILMU NEGARA

1.      Pengertian Ilmu Negara
Ilmu Negara berasal dari rangkaian dua kata-kata, yakni : “Ilmu” dan “negara”. Ilmu berarti suatu sistem pengetahuan (supernatural knowledge; esoteric wisdom; science);
Sedangkan pengertian negara dirumuskan juga dalam berbagai definisi, seperti dikemukakan oleh para ahli pikir :
a.       Aristoteles, negara (polis) ialah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya;
b.      Jean Bodin, negara ialah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akan dari suatu kekuasaan yang berdaulat;
c.       Hans Kelsen, negara ialah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa;
d.      Harold Laski, negara adalah suatu organisasi paksaan (coercive instrument);
e.       Hugo Grotius, negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna dari masyarakat yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
f.       Woodrow Wilson, negara adalah rakyat yang terorganisasi untuk hukum dalam wilayah tertentu (a people organised for law within a definite territory);
g.      Bluntschli, negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu (politisch organisierte Volksperson eines bestimten landes).
h.      Logemann, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat.
i.        Kranenburg, manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya juga makhluk golongan dan Ilmu Negara memandangnya sebagai makhluk golongan tersebut.
Sedangkan dalam pengertian negara itu harus tercermin tiga unsur yang merupakan syarat keberadaan negara itu yakni :
1.      Adanya tempat, daerah atau wilayah tertentu.
2.      Adanya rakyat atau masyarakat yang mendiami atau menempati daerah atau wilayah tertentu itu.
3.      Adanya organisasi yang berbentuk pemerintah yang berkuasa dan berdaulat, yang menjamin dan melindungi rakyat atau masyarakat yang mendiami daerah atau wilayah tertentu tersebut.
Di negara-negara yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris, dipergunakan istilah “political science” atau “political theory”, di Perancis disebut “science politiques” atau “science d’etat”, di Spanyol disebut “teoria politica”, sedangkan di negeri Belanda disebut “staatsleer”.
Istilah “political science” mengandung makna “politik”, yang berasal dari kata “politeia”, yang berarti “negara”. Ilmu Negara dianggap sama dengan ilmu politik, yang berasal dari bahasa Yunani (= polis) yang tidak hanya berarti negara. Kata tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah kenegaraan, tapi juga berarti suatu akal dan upaya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2.      Obyek Ilmu Negara
Ilmu Negara berarti ilmu yang mempelajari, mengkaji dan menyelidiki segala sesuatu yang menyangkut negara. Baik mengenai asal usulnya, seluk-beluk, bentuk dan wujudnya maupun tentang segala sesuatu yang menyangkut negara itu secara umum.
Karena itu, Prof. Kranenburg dalam bukunya “Algemeene Staatsleer” menyatakan, negara adalah buah penyelidikan ilmu negara umum. Olehnya dicoba untuk mengikuti tumbuh, wujud dan bentuk-bentuk negara. Dari obyeknya, yakni negara dalam pengertian yang abstrak, ilmu negara mengkaji lebih lanjut asal mula, hakekat dan bentuk negara pada umumnya.
Tugas ilmu negara adalah mengkaji dan mempelajari sifat, seluk-beluk, segi-segi dan masalah-masalah negara secara umum tersebut. termasuk asal mula negara, sejarah terjadinya negara, organisasi dan peranannya dalam perikehidupan manusia. Ilmu negara mengumpulkan segala gejala-gejala serta peristiwa-peristiwa mengenai negara, pada masa lalu, kini dan tinjauannya pada masa datang.
Pola pengkajian ilmu negara bertautan pada dua kerangka yang beraspek ganda. Di satu pihak penyelidikan dan pengkajiannya dalam tatanan struktural yang merupakan strategi dan tata kerjanya merangkai gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa mengenai seluk-beluk negara, di lain pihak berperan fungsional, yang merupakan taktik kerjanya dalam menentukan materi mencapai tujuan.

3.      Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara
Jika ilmu negara menilai obyeknya adalah negara dalam pengertian yang abstrak, terlepas dari keadaan, tempat dan waktu tertentu. Ilmu negara menitik-beratkan untuk mempelajari keseluruhan permasalahan negara secara umum, utuh dan menyeluruh, tanpa mempersoalkan negara yang mana atau yang bagaimana.
Sebaliknya hukum tata negara menitikberatkan perhatiannya pada masalah-masalah hukum yang menjadi landasan kehidupan suatu negara tertentu. Dengan kata lain, hukum tata negara menilai negara itu dari pengertian, sifat dan bentuknya dalam pengertian yang sudah kongkrit. Terikat pada keadaan, tempat dan waktu tertentu. Jadi obyeknyapun sudah pasti, pada suatu negara tertentu.
Dari negara tertentu itu, misalnya negara Republik Indonesia, negara Amerika Serikat, negara Republik Rakyat Cina, dan lain sebagainya, dipelajari strukturnya, lembaga-lembaga beserta wewenang dan kewajibannya masing-masing.
Lebih jelas lagi pengertian tentang hukum tata negara ini, seperti dirumuskan oleh Prof. Van Vollenhoven dalam bukunya “Thorbecke enhet Administratief Recht”, hukum tata negara adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan memberikan wewenang-wewenang kepada badan-badan itu dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
Dengan demikian, seperti disimpulkan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Ilmu Negara dan Politik”, kini letak batas dengan “ilmu negara” yang tidak mengenal negara-negara tertentu, melainkan menyelidiki terbentuknya, sifat dan wujud negara-negara di dunia ini pada umumnya.
Sudah barang tentu, hukum tata negara di satu pihak dan ilmu negara di lain pihak saling mempengaruhi dan saling menjelaskan. Maka dalam buku-buku hukum tata negara hal-hal dari ilmu negara dapat dipergunakan sebagai batu loncatan untuk sampai pada pembahasan suatu hukum tata negara. Sebaliknya, dalam buku-buku tentang ilmu negara hal-hal dari hukum tata negara dari negara-negara tertentu dapat dipergunakan sebagai contoh dalam praktek dari apa yang diuraikan dalam ilmu negara.
Jadi jika ilmu negara bebas dalam upayanya mengumpul dan menyusun data-data dan memperoleh pengertian mengenai negara pada umumnya, dengan obyeknya negara dalam pengertiannya yang umum dan abstrak; maka hukum tata negara terbatas pada bidang hukum dengan batasannya dalam suatu negara tertentu saja dengan pengertian dan pembahasan yang kongkrit.
Menurut kesimpulan Soehino,  disarikan dari buku karangannya : “Ilmu Negara”, bahwa obeyk dari ilmu negara itu bersamaan dengan obyek ilmu hukum tata negara, hanya sudut pandangannya yang berlainan. Ilmu negara memandang negara itu dalam pengertian yang abstrak, sedangkan hukum tata negara dari sudut pandangan yang kongkrit, yang tertentu, maka demikian ternyata ilmu negara itu merupakan syarat yang terpenting, dan merupakan dasar dalam mempelajari ilmu hukum tata negara. Di sinilah letak hubungan yang sangat erat antara ilmu negara dengan ilmu hukum tata negara itu.

4.      Ilmu Negara dan Disiplin Ilmu Lain
Ilmu negara pada hakekatnya bertautan erat dengan pelbagai disiplin ilmu lain yang menyangkut hidup dan penghidupan manusia lain yang menyangkut hidup dan penghidupan manusia seperti sosiologi, psikologi, hukum, ekonomi, sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Ilmu negara di suatu ujung tertambat pada sosiologi dan di ujung yang lain ilmu filsafat.
Untuk memperoleh gambaran tentang kawasan suatu negara perlu ilmu menunjang ilmu bumi, untuk mengkaji sejarah perkembangan suatu bangsa dibutuhkan pengetahuan tentang hukum publik internasional. Tentang sarana untuk mempelajari masyarakatnya diperlukan bantuan ilmu sejarah, ekonomi, politik, filsafat, sosiologi, psikologi dan sebagainya.
Ilmu negara pun berkaitan erat dengan ilmu politik. Di tilik dari aspek kenegaraan, dalam ilmu negara dan ilmu politik, kedua-duanya sangat erat hubungannya dengan adanya negara. Meskipun pada dasarnya, ilmu negara lebih cenderung mendekati sifat hukum tata negara yang bersifat statis, maka ilmu politik seperti halnya hukum administrasi negara, sifatnya lebih dinamis lagi.
Tapi tak dapat disangkal, persoalan ilmu negara mencakup bidang yang cukup kompleks. Menyangkut segi kawasan, persoalan masyarakat dan organisasi pemerintahan dengan segala pengaruh dan hubungannya satu dengan lainnya. Mempelajari dan mengkaji ilmu negara mutlak memerlukan ilmu penunjang lainnya yang tak dapat dielakkan kaitannya.
                                























                                  BAB II
UNSUR-UNSUR NEGARA

            Yang dimaksud dengan unsur-unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan negara itu ada. Dengan lengkapnya unsur-unsur itu, maka lengkaplah tiang-tiang yang pokok bangun seuah negara.
            Unsur-unsur negara dimaksud terdiri dari :
1. Wilayah tertentu.
2. Rakyat.
3. Pemerintahan yang diakui.

1. Wilayah
            Yang dimaksud dengan wilayah tertentu ialah batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku. Selain itu dikenal apa yang disebut daerah-daerah eksteritorial yang artinya keuasaan negara bisa berlaku di luar daerah kekuasaannya sebagai pengecualian, misalnya di tempat kediaman kedutaan asing, dimana berlaku kekuasaan negara asing tersebut. Juga suatu kapal perangbisa merupakan daerah eksteritorial.
            Mengenai batas wilayah suatu negara tidak ditemui dalam Undang-undang Dasar Negara, tetapi merupakan ketentuan dalam perjanjian (traktat) antara dua negara atau lebih yang berkepentingan dan biasanya merupakan negara tetangga. Jika antara dua negara saja maka perjanjian itu bersifat bilateral, sedangkan jika lebih dari dua negara, sifat perjanjian itu mulilateral. Jika kata-kata wilayah itu disebutkan juga dalam UUD, maka ketentuan itu tidak mempunyai arti yuridis sama sekali. Oleh karena penentuan wilayah tidak bisa ditentukan secara sepihak. Penentuan dalam UUD hanya suatu peringatan saja bahwa negara itu mempunyai wilayah yang terbatas.
            Wilayah atau territoir mempunyai arti luas yang meliputi :
1. Udara.
2. Darat.
3. Laut.
Ketiganya itu ditentukan oleh perjanjian internasional.


2. Rakyat
            Istilah rakyat dalam arti sehari-hari sangat luas, sehingga dalam arti teknisnya sering menimbulkan kekaburan. Setidak-tidaknya bisa dirumuskan bahwa rakyat sebagai sekumpulan manusia yang hidup di suatu tempat. Arti rakyat dengan bangsa itu berbeda.
            Beberapa istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat ialah :
a. rumpun (ras).
b. Bangsa (volks).
c. Nazi (natie).
            Rumpun, diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama. Ciri-ciri jasmaniah itu misalnya warna kulit, warna rambut, bentuk badan, bentuk muka dan sebagainya. Karena persamaan ciri-ciri jasmaniah itulah maka penduduk dunia ini dibagi-bagi dalam dalam macam-macam rumpun seperti rumpun melayu, rumpun kuning, rumpun putih, rumpun hitam dan sebagainya. Masing-masing rumpun itu dibagi-bagi lagi dalam rumpun-rumpun kecil atau campuran. 
             Bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai perasaan kebudayaan, misalnya bahasa, adat kebiasaan, agama dan sebagainya. Oleh karena persamaan bahasa itu misalnya maka orang akan menyebut bangsa Arab, walaupun di dalamnya terdiri dari bangsa-bangsa Mesir, Irak, Yordania dan sebagainya. Dengan ciri-ciri tersebut di atas, maka jelaslah bahwa arti rumpun dibedakan dari bangsa.
            Natie, juga sering disebut sebagai bangsa, akan tetapi mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Natie diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan politik yang sama. Ciri-ciri jasmaniah maupun kebudayaan tidak merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya suatu bangsa (natie). Contoh terdirinya natie didunia ini merupakan gabungan dari bangsa-bangsa yang mempunyai bahasa-bahasa yang berbeda dan terdiri atas beberapa rumpun. Orang menyebut bangsa Swiss, tetapi bangsa ini sebenarnya terdiri atas bangsa-bangsa yang berbeda-beda bahasanya, sehingga negara itu disebut sebagai negara nasional, karena negara itu didirikan atas keadaan nasional.
            Dari uraian arti rumpun, bangsa dan natie, maka rakyat itu mempunyai arti yang netral. Rakyat sebagai salah satu unsur daripada negara harus dihubungkan dengan ikatannya dengan negara, karena itu rakyat harus dimaksudkan sebagai warga negara yang dibedakan dengan orang asing.

Kewarganegaraan
            Ikatan seseorang yang menjadi warga negara itu menimbulkan hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka kedudukan seorang warga negara dapat disimpulkan dalam empat hal yang disebut sebagai berikut :
1. Status Positif
Status positif seorang warga negara ialah memberi hak kepadanya untk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya. Untuk itu maka negara membentuk badan-badan pengadilan, kepolisian dan kejaksaan dan sebagainya, yang akan melaksanakan kepentingan warga negaranya dalam pelanggaran-pelanggaran yang behubungan dengan hal-hal tersebut di atas.
2. Status Negatif
Status negatif seorang warga negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara tidak boleh campur tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya bersifat terbatas, untuk mencegah timbulnya tindakan yang sewenang-wenang daripada warga negara. Walaupun demikian, dalam keadaan tertentu, negara dapat melanggar hak-hak asasi rakyat jika tindakannya ditujukan untuk kepentingan umum. Umpamanya dalam hal negara hendak membuat jalan yang harus melewati tanah milik perseorangan. Demi kepentingan umum, milik perseorangan ini dapat dilanggar, akan tetapi sebagai imbangannya diberikan ganti rugi.
3. Status Aktif
Status aktif memberi hak kepada setiap warga negaranya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Untuk mewujudkan hal ini, setiap warga negara diberi hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Status Pasif
Status pasif merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan tunduk kepada segal perintah negaranya. Misalnya, apabila negara dalam keadaan perang, maka setiap warga negara menurut syarat-syarat tertentu wajib memanggul senjata untuk membela negaranya.
            Berdasarkan empat kedudukan tersebut di atas, maka seorang asing itu dibedakan dari seorang warga negara, karena bagi orang asing tidak ada ikatan hak dan kewajiban terhadap bukan negaranya. Bila seorang asing itu menetap untuk waktu yang tidak lama, maka ia dapat digolongkan sebagai penduduk yang terikat pada syarat-syarat peraturan tertentu.
            Mengenai soal kewarganegaraan, masing-masing negara menganut asas yang menguntungkan, misalnya orang mengenal dua macam asas kewargangeraan, dan lainnya adalah campuran dari kedua asas itu. Asas tersebu adalah :
1. Ius Sanguinus, adalah suatu asas dimana seorang menjadi warga negara berdasarkan keturunan. Jadi seseorang itu menjadi warga negara Indonesia, karena ia dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia.
2. Ius Soli, adalah suatu asas dimana seseorang menjadi warga negara berdasarkan tempat kelahiran. Jadi seseorang itu menjadi warga negara Indonesia bila ia dilahirkan diwilayah Indonesia.
            Adpun yang dimaksudkan dengan campuran adalah bilamana dua asas tersebut sekaligus diperlakukan.

Dwikewarganegaraan (Bi patride)
            Hal ini adalah suatu keadaan bahwa seseorang mempunyai dua macam kewarganegeraan. Misalnya, menurut syarat kewarganegaraan Inggris, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah Inggris dianggap sebagai British Citizen, walaupun orang tuanya itu warga negara Belanda. Sedangkan menurut kewarganegaraan Belanda, seseorang yang diturunkan oleh seorang Belanda menjadi orang belanda, walaupun ia dilahirkan di luar wilayah negeri Belanda. Dengan demikian, timbullah keadaan bahwa orang tadi mempunyai dua macam kewarganegaraan.

Tanpa Kewarganegaraan (A Patride)
            Seseorang juga dapat berstatus tidak memiliki kewarganegaraan sehingga ia menjadi tanpa kewargangaraan. Misalnya sebagaimana contoh di atas, negara Inggris memakai asas ius soli. Sedangkan Belanda Ius Sanguinus. Maka jika seorang warga negara Inggris melahirkan seorang anak di Belanda, maka anak tersebut terlahir tanpa kewarganegaraan.

3. Pemerintahan
            Pemerintahan merupakan alat bagi negara bagi penyelenggaraan segala kepentingan rakyatnya serta merupakan alat untuk mewujudkan tujuan negara yang sudah ditetapkan. Pemerintah harusklah diartikan secara luas yang mencakup semua badan-badan negara. Suatu hal yang penting ialah bahwa pemerintahan yang berkuasa haruslah diakui oleh rakyatnya karena pada hakekatnya pemerintah merupakan pembawa suara dari rakyat, sehingga pemerintah dapat berdiri dengan stabil.
            Demikian pula pengakuan dari luar, sering didasarkan atas kestabilan dari pemerintah dan apakah pemerintahan yang dijalankan itu benar-benar efektif. Karena itu pada permulaan negara merdeka, tidak jarang pengakuan terhadap negara itu mula-mula bersifat sementara sampai pada saat tertentu negara itu sudah mempunyai pemerintah yang stabil dan efektif.
            Negara mempunyai sifat yang lebih kekal, baik mengenai bentuk maupun susunannya, sedangkan pemerintahan seringkali berubah-ubah. Selain itu di dunia ini terdapat negara yang belum merdeka penuh atau negara jajahan atau setengah jajahan. Walaupun demikian ketiga unsur sebagai negara harus ada, walaupun salah satu unsur diantaranya yaitu unsur pemerintahan belum sempurna. Misalnya pemerintahannya masih di bawah pengawasan negara lain. Negara yang merdeka adalah negara dimana memiliki ketiga unsur itu yang terdiri atas satu bangsa.












                                  BAB III
TEORI TERJADINYA NEGARA

1. Teori Teokrasi
Menurut teori teokrasi (Ketuhanan), negara itu terjadi karena kehendak Tuhan. Suatu negara tidak atau belum akan terbentuk di muka bumi ini, jika Tuhan belum memperkenannya. Perlambang dari faham yang menganut teori ini seperti : “Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa”, atau “By the grace of God” yang tercantum pada berbagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara.
Munculnya faham yang mengemukakan bahwa kedaulatan negara itu berasal dari Tuhan (Goddelijke souvereiniteit), karena orang beragama dan beriman bahwa Tuhanlah Maha Pencipta langit dan bumi serta segala isinya dan Tuhan pula yang mempunyai kekuasaan tertinggi diseluruh alam raya ini. Segala kekuasaan di langit dan di bumi berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tiada kekuasaan manapun di bumi ini yang tidak berasal dari pada-Nya.
Karena itu kekuasaan yang ada pada negarapun berasal dari anugerah Tuhan, yang dianugerahkan dan diamanatkannya kepada pemerintah. Menjadi kewajiban pemerintah dari suatu negara untuk melanjutkan kesinambungan kedaulatan Tuhan itu kepada rakyatnya sesuai dengan perintah dan kehendak-Nya dan harus pula ditujukan untuk memuliakan, melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Berdasarkan alam pikiran inilah, maka raja-raja pada zaman purbakala sampai abad pertengahan tetap dipandang rakyatnya sebagai “Wakil Tuhan” atau “Bayang-bayang Allah di muka bumi”, karena para raja itulah sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi di dunia. Pada upacara penobatan raja-raja di eropa misalnya, Paus di roma datang untuk meletakkan mahkota di atas kepala raja, atas nama Tuhan.
Menurut aliran teokrasi ini, Tuhan Yang Maha Esa (monotheisme) atau para dewa (polytheisme) yang mencipta dan memerintah alam semesta ini dengan segala isinya. Dalam ajaran polytheisme misalnya, para dewa di kayangan menitahkan keturunanya untuk memerintah negara di bumi. Misalnya di Jepang : Mikado adalah turunan dewa Matahari, Iskandar Zulkarnaen putera Zeus Ammon, dinasti raja-raja di Tiongkok klasik, dan lain sebagainya.
Penganut teori ini antara lain : agustinus seperti ternyata dalam bukunya “De Civitate Dei”, Friedrich Julius Stahl pada bukunya “Die Philosophie des Rechts” ; Thomas Aquinas, Ludwig von haller, Friedrich Hegel, dan lain sebagainya.

2. Teori Perjanjian
Menurut teori ini, terjadinya suatu negara karena adanya perjanjian masyarakat. Semua warganegara mengikat dirinya dalam suatu perjanjian bersama untuk mendirikan negara. Kemudian masing-masing wargaegara menyerahkan kedaulatan dirinya kepada negara yang baru terbentuk itu, agar negara tersebut berdaulat sehingga dapat melindungi dan menjamin kehidupan mereka bersama.
Teori perjanjian ini disebut juga teori kontrak sosial. Di antara penganjurnya seperti Thomas Hobbes menghendaki agar negara yang terbentuk berdasarkan kontrak sosial itu terbentuk kerajaan (monarchie). Sebaliknya John Locke menuntut agar negara tersebut berbentuk kerajaan konstitusional. Sementara Jean Jaques Rousseau menghendaki organisasi negara itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Pandangan Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau yang mendasarkan pembentukan negara atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat, itulah yang kemudian dikenal dengan dengan teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial.
Perbandingan antara ketiga teori para ahli dirumuskan oleh Utrecht (sebagaimana dikutip M. Solly Lubis dalam bukunya “Ilmu Negara”): “walaupun tak berlainan, mereka mempunyai anggapan tentang pembentukan dan adanya negara itu disusun atas pembentukan dan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial, kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara tersebut sangat berlainan”.
Menurut Hobbes negara negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuasaan tak terbatas (absolut). Pendapat Locke, negara selayaknya bersifat kerajaan konstitusional yang memberi jaminan tentang hak–hak dan kebebasan– kebebasan pokok manusia (ingat : life, liberty, healty, dan property). Sementara Rousseau memandang negara bersifat suatu perwakilan rakyat , Negara sepantasnya berbentuk negara demokrasi, yakni yang berdaulat adalah rakyat.


3. Teori Kekuasaan
Yang berkemampuan untuk memiliki kekuasaan atau yang berhasil mencapai suatu kekuasaan, selayaknya mereka memegang tampuk pemerintah. Kekuasaan itu adalah upaya dan ciptaan mereka yang paling kuat dan berkuasa. Baik dengan kekuatan fisik, kekuatan ekonomi, politik maupun sosial
Menurut teori evolusi Charles Darwin bahwa kehidupan semesta alam ini diliputi oleh serba perjuangan untuk mempertahankan hidup masing–masing. Yang kuat akan menindas yang lemah. Maka semuanya berusaha untuk menjadi kuat dan unggul dalam perjuangan. Setiap perjuangan  harus senantiasa berusaha menambah kekuatan dan kemampuan agar berkuasa. Dalam keadaan itulah terjadi evolusi, terjadi proses perubahan dan pertumbuhan yang terus menerus yang dibawakan oleh penyesuaian diri pada kondisi perjuangan hidup.
Semua imperium ditegakkan dengan dasar kekuasaan ini. Pemerintah dikantor Napoleon (1769-1821), Hitler (1889-1945); Mussolini (1883-1945); Lenin (1870-1924); Stalin (1879-1953) dipancangkan dengan teori kekuasaan ini.
Teori kekuasaan dipaparkan juga oleh Karl Marx dalam buku “Das Kapital”. Kelas pemegang produksi menghisap kelas lainnya. Bentuk lahir penghisapan itu ialah negara dan pemerintahan sebab itu perlu kaum proletar yang selama ini terhisap dan tertindas merebut pemerintahan. Sebelum tercapai masyarakat tanpa kelas, maka diktatur  kaum proletar mutlak perlu ditegakkan, jadi marxisme itu dalam teori, juga dalam prakteknya, menagunut faham kekuasaan dalam bentuk diktatur.
Seperti juga Fridrich Engels, Ludwig Von Gumplowicz menilai terjadinya negara itu sebagai suatu perjuangan kelas antara manusia, kekuasaan negara timbul dari persekutuan golongan yang menang, yang membuat peraturan-peraturan untuk memaksa yang kalah agar berbuat menurut kehendaknya. Seluruh kekuasaan negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak lain dari tata paksa pihak yang kuat dan menang terhadap pihak yang lemah dan kalah.
Laski berpendapat senada dengan Marx bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa (coercive instrument) untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap, sebab jika tidak demikian maka pergaulan hidup itu tidak akan menjamin nafkahnya
Marxisme dan anarchisme pada dasarnya sama-sama berpendapat bahwa negara itu timbul dari paksaan, sebagai alat pemaksa dari pihak yang kuat dan menang terhadap pihak yang lemah dan kalah bahwa negara ini, bagaimanapun juga, pada akhirnya harus lenyap. Meskipun antara keduanya persamaan, tapi ada juga perbedaan besar diantaranya
Marxisme menggagap adanya negara itu sebagai suatu hal yang tidak dapat dielakkan selama masih ada perbedaan dan perjuangan kelas, kaum pekerja harus merebut kekuasaan negara dan mempergunakannya untuk menghancurkan sistem produksi kapitalis dan kemudian menyusun masyarakat sosialis. Apabila kapitalisme sudah runtuh dan sosialisme terwujud, maka akan lenyap perbedaan hak milik, lenyap perbedaan kelas dan akan hilang pula perjuangan kelas itu. Dengan lenyapnya perjuangan kelas, maka adanya negara sebagai alat perjuangan kelas itupun akan hilang pula dengan sendirinya. Tapi sebaliknya, penganut anarchis menilai adanya negara itu sebagai suatu hal yang tidak pada tempatnya, oleh karena itu negara mutlak perlu dihapuskan saja.

4. Kekuasaan dan Kedaulatan

- K e k u a s a a n

            Secara umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain/kelompok lain, sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri (pada semua aspek kehidupan masyarakat).
            Kekuasaan negara atau kekuasaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan sering disebut sebagai kekuasaan politik.
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (peme-rintah), baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri (Miriam Budiardjo).
            Kekuasaan pemerintahan tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga negara masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara dibidang administratif, legislatif dan yudikatif.

- K e d a u l a t a n

Jika kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan disebut sebagai kedaulatan.
Kedaulatan adalah suatu kekuasaan tertinggi pada suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam negara tersebut. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh dan mutlak untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari kekuasaan atau pemerintahan negara lain.
Ciri khas kedaulatan ialah dimana kekuasaan itu sama sekali tidak terikat dan tergantung, tidak dibatasi oleh apapun dan siapapun serta kekuasaan itu harus bebas dan berlaku terus menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Beberapa Teori Tentang Kedaulatan

            Dari manakah sesungguhnya Pemerintah atau Penguasa tersebut memperoleh kedaulatan ?, pertanyaan inilah yang menimbulkan berbagai teori tentang kedaulatan, sekaligus mencari jawaban tentang darimanakah sumber kekuasaan itu sendiri.
Adapun teori-teori tentang kedaulatan adalah sebagai berikut :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
            Menurut teori ini bahwa negara atau pemerintah memperoleh kekuasaan tertinggi itu berasal dari perintah atau titah Tuhan. Oleh karena itu pemerintah harus mempergunakan kedaulatan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi menurut teori ini, Tuhanlah yang berdaulat. Berdasarkan alam pikiran inilah  maka raja-raja zaman dahulu sampai dengan abad pertengahan, tetap dipandang rakyatnya sebagai “Wakil Tuhan” atau “Bayang-bayang Tuhan” di muka bumi.



2. Teori Kedaulatan Rakyat
            Menurut teori ini, karena Raja mendapat limpahan kekuasaan dari rakyat, maka yang memegang kekuasaan tertinggi sekaligus pemegang kedaulatan adalah rakyat. Raja hanya melaksanakan saja aspirasi dan amanat rakyat.  Perihal yang terbaik dalam suatu masyarakat, bukanlah sebagaimana yang dikehendaki oleh raja, melainkan apa yang dianggap baik oleh rakyat itu sendiri. Adapun yang diserahkan kepada pemerintah/penguasa adalah ‘kekuasaan saja’ untuk jangka waktu tertentu , sedangkan kedaulatan tetap berada pada rakyat.

3. Teori Kedaulatan Negara
            Menurut teori ini, yang berdaulat bukanlah rakyat melainkan negara, karena negaralah yang membuat hukum. Ditambahkan lagi bahwa dengan adanya berbagai gejala dalam masyarakat, ternyata kepentingan individu selalu dikalahkan oleh kepentingan negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang berwenang membuat peraturan. Adanya hukum karena dikehendaki pemerintah atau negara.
            Menurut paham ini, kedaulatan itu timbul karena adanya negara dan oleh karena itu kedaulatan melekat secara utuh pada keberadaan negara.

4. Teori Kedaulatan  Hukum
            Menurut teori ini hukum itu tercipta dari rasa keadilan yang hidup pada sanubari rakyat.  Menurut Savigny, pembuat undang-undang sebenarnya bukanlah pencipta undang-undang itu sendiri. Mereka adalah sekedar perumus dari kesadaran hukum yang tumbuh dari dalam kalangan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah memperoleh kekuasaan bukanlah dari Tuhan, rakyat ataupun negara, akan tetapi dari hukum dan berdasarkan atas hukum, sehingga kedaulatan itu berada pada hukum. Baik pemerintah maupun rakyat yang memperoleh kekuasaan dari hukum itu, wajib tunduk pada ketentuan hukum itu sendiri.















BAB IV
TEORI LENYAPNYA NEGARA

1. Teori Organis
Para teoritisi yang memandang negara sebagai suatu organisme, yang mendapat prospek baru di abad ke XIX dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu biologi dengan diketemukannya sistem sel pada binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan berkembangnya teori evolusi dari Darwin.
Umumnya mereka menilai, negara sebagai organisme, yang memiliki anggota-anggota dan badan perelengkapannya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Warga negara yang dikiaskan sebagai sel-sel yang hidup sendiri berperan menentukan bagi hidup atau matinya organisme negara tersebut. Jika sel-sel itu kokoh dan kuat, maka organismenyapun akan tegar pula, tapi sebaliknya jika warganegaranya lemah jasmani dan rohaninya, maka negara itupun akan ringkih pula.
Menjadi kewajiban negara memberikan keleluasaan, kebebasan dan kemerdekaan kepada warganegaranya agar menjadi rakyat yang sehat dan kuat. Demikian pula sebagai sel-sel dari organisme negara itu, warganegara dituntut untuk menjadi pilar dan menyangga utama kekuatan negara agar selalu kuat dan kokoh.
Sebagai layaknya makhluk yang hidup, setiap organisme takkan luput dari hukum perkembangan hidup. Lahir, berkembang, mengalami masa kecil, dewasa, tua dan pada akhirnya mati. Begitu juga dengan negara, sebagai suatu organisme negara pasti tidak akan lepas dari kenyataan perkembangannya. Dari mula berdiri, kecil, besar, kokoh dan kuat, kemudian melemah hingga akhirnya tidak kuasa lagi mempertahankan eksistensinya sebagai negara, lalu lenyap dari percaturan dunia.
Penganut faham ini memeperkuat argumentasinya dengan menunjuk contoh misalnya, Mesir, Babilonia, Persi, Phunisia, Romawi yang semuanya menjalani makanisme organisme itu, tumbuh dari kecil hingga besar dan kuat, tapi kemudian menjadi kecil kembali dan lemah dan akhirnya lenyap. Tapi organisme tersebut tidak selalu sampai mati tua, begitu juga halnya dengan negara adakalanya justru hilang sebelum berkembang, pupus oleh kejamnya lingkungan.
Pemuka teori organisme ini antara lain, F.J. Schnitthenner (Grundlinien Des Allgemeinen order idealen Staatsrecht); Herbert Spencer dalam bukunya System of Synthetie phylosophy; Gonstantin Frantz dalam Natuurlehre des Staats als Gurundlage; Heinrich Ahrens dalam karyanya Organische Staatslechre dan juga Blunischi (Algemeine Staatslehre).

2. Teori Anarchis
Menurut teori anarchis, negara adalah suatu bentuk susunan tata paksa yang sesungguhnya hanya sesuai jika diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang masih primitif, tidak bagi masyarakat modern yang beradab dan bertata-krama. Oleh karena itu mereka percaya, pada suatu saat negara itu pasti akan lenyap dan akan munculnya masyarakat yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa paksaan dan perkosaan serta tanpa pemerintahan dan negara. Merupakan keyakinan dan kewajiban penganut paham ini untuk menghilangkan tata paksa negara tersebut agar dapat terwujud masyarakat yang diwarnai kebebasan, tanpa paksaan apapun.
Penganut paham anarchis dibedakan menjadi dua golongan. Yang pertama, menilai tata paksa negara itu sebagai kejahatan yang dibuat oleh manusia yang memerintah untuk melindungi kelalimannya maupun tindakan dan perbuatan yang dinilai merugikan kepentingan rakyat. Kekuasaan negara dilakukan untuk melindungi hak-milik yang dirampasnya dari rakyat. Menurut aliran anachis, karena negara itu melakukan kekerasan dan penindasan, maka tindakan untuk menghapus atau melenyapkan tata paksa itu harus dilakukan dengan menghancurkan organisasi negara tersebut bersama perlengkapan dan pendukungnya.
Paham anarchisme menimbulkan terrorisme yang membabi-buta, menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnya, melakukan pembunuhan, penyanderaan bahkan pembajakan, menghancurkan bangunan-bangunan dan alat-alat vital dalam bidang telekomunikasi, transportasi dan produksi. Pola pikiran kaum anachis ini sesungguhnya sudah bertentangan dengan sistem masyarakat bebas yang dicita-citakan mereka sendiri, dengan pembunuhan, pengrusakan dan kekacauan tersebut justru akan menambah kekalutan dan penderitaan.
Golongan kedua, berharap masyarakat yang penuh kebebasan tanpa pemerintahan itu akan dapat diwujudkan tanpa melalui kekerasan dan kekejaman. Mereka berpendapat masyarakat bebas tersebut akan dapat terlaksana melalui evolusi dan pendidikan, tanpa harus melalui tindakan kekerasan untuk menghancurkan negara. Salah satu pengikut faham, yang tidak menghendaki kekerasan ini, adalah Leo Tolstoy, menurut pandangannya kekerasan dari manapun datangnya akan mengundang dendam dan pembalasan dengan kekerasan pula. Kekerasan dapat dihilangkan dengan kasih sayang dan pendidikan.
Terrorisme dan kekerasan ini pada hakekatnya merupakan reaksi yang berkelebihan atas tindakan yang dikatakan melampaui batas dari penguasa yang tidak disenangi mereka. Pada zaman pemerintahan Tsar Alexander II di Rusia mencapai puncaknya. Penganut anarchisme antara lain William Godwin, Joseph Proudhon, Kropotkin dan Michael Bakounin.

3. Teori Mati Tuanya Negara
Menurut teori ini, negara sebagai suatu struktur tata paksa tidak perlu dihapus atau diperangi, karena keberadaannya maupun kehilangannya sesuai dengan hukum lingkungan yang berlaku. Negara datang atau lenyap menurut syarat-syarat obyektifnya sendiri. Jika kriterianya sebagai negara tidak terpenuhi lagi, ia akan hilang dengan sendirinya pula, akan mati tua.
Menurut GS Diponolo dalam bukunya “Ilmu Negara”, negara adalah suatu susunan kekuasaan yang merupakan perpaduan dari unsur-unsur tempat, umat  dan organisasinya, daerah, bangsa dan pemerintahannya. Maka timbul atau tenggelamnya negara terutama tergantung dari ada atau tidaknya situasi dan kondisi dari unsur-unsur tersebut yang memungkinkan terangkainya kekuatan bagi organisasi kekuasaan tersebut. Jika keadaan yang menunjang unsur-unsur tersebut subyektif dan obyektif cukup kuat, maka negara akan kuat pula, tapi apabila tidak lagi memenuhi persyaratan minimum bagi kehidupan suatu negara, negara itu pasti akan lenyap.
Prof. Wirjono Prodjodikoro menilai, apabila suatu negara dianggap terhenti atau hancur atau jatuh, maka unsur wilayah dan unsur masyarakat tetap tidak berubah. Hanya unsur pemerintahan yang musnah. Ini dapat berarti bahwa orang-orang yang memegang pemerintahan dimusnahkan atau dipenjarakan, atau dapat berarti mereka tidak mempunyai kekuasaan lagi, melainkan takluk pada penguasa yang berada di luar wilayah atau masyarakat semula dan wilayah ini menjadi jajahan atau daerah bagian dari negara lain.
Indonesia pada zaman pemerintahan Kerajaan Sriwijaya di abad ke VII pernah mencapai periode kejayaannya, namun kemudian tenggelam. Demikian juga masa keemasannya Kerajaan Majapahit di abad ke XIV, tapi kemudian juga runtuh. Tapi unsur daerah dan rakyatnya tetap ada yang hilang hanya unsur pemerintahannya saja.

4. Teori Lain
Sejarah membuktikan, terdapat unsur lain yang juga berpengaruh bagi kelangsungan suatu negara. Negara dapat timbul atau tenggelam, lahir atau hilang, karena peperangan, meskipun tidak dapat ditilik dari unsur terjadi peperangan itu saja tapi juga latar belakang terjadinya peperangan tersebut. Suatu negara dapat timbul karena peperangan tapi dapat juga runtuh oleh peperangan. Beberapa negara memang berdiri setelah didahului dengan peperangan.
Dalam keadaan yang ekstrim pada zaman dahulu, negara yang kalah berperang akan binasa secara total. Tapi setelah kebudayaan dan peradaban manusia lebih maju yang lebih menghargai harkat dan martabat sesamanya, kekalahan dari peperangan hanya berakibat hancurnya organisasi pemerintahan dari negara tersebut, sementara wilayah negara yang didudukinya dijadikan jajahan atau ditempatkan di bawah pengaruh atau kekuasaannya.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi dalam peperangan ini, negara yang kalah dan merasa lebih lemah dari negara yang menyerangnya, menyerah tanpa syarat. Dalam keadaan yang demikian, organisasi bangsa itu kemungkinan dapat dipertahankan dan tetap dipertahankan. Tetapi negara yang menyerah tersebut dijadikan negara bawahan (disebut Vazal) dari negara yang menang dan kuat tersebut, dengan memberikan konsesi-konsesi teritorial, ekonomi, politik dan militer.









BAB V
TEORI TUJUAN NEGARA

Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang merupakan persekutuan masyarakat dan merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama. Dengan mengetahui tujuan suatu negara, akan dapat dikaji sifat serta legitimasi kekuasaan dari organisasi negara tersebut.
Selain itu pula dipahami orientasi dan motivasi terbentuknya negara dan ke arah mana cita-cita yang hendak diwujudkannya melalui organisasi negara tersebut. Dengan mengetahui tujuan suatu negara, dapat juga dikenal tatanan dan pengendalian organisasinya dengan keadaan lingkungan warganegara.
Teori-teori tentang tujuan negara tersebut antara lain diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Teori Kekuasaan
Penganut teori kekuasaan ini ialah :
a.      Shang Yang
Ia adalah seorang negarawan Tiongkok, yang hidup pada abad ke-3 atau ke-4 sebelum Masehi. Bukunya antara lain diberi judul “A Classic of the Chinese School of Law”. Pendapat-pendapatnya kemudian ditulis kembali oleh Duyvendak dalam buku “The Book of Lord Shang”.
Pada waktu Shang Yang hidup, di daratan Cina dilandai kerusuhan dan kemelut peperangan yang berkepanjangan. Karena itu ucapannya yang termasyhur banyak dikutip oleh para ahli : “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people”. Jika menghendaki suatu negara yang kuat, maka rakyat harus dilemahkan dan dimiskinkan, namun sebaliknya jika menghendaki rakyat menjadi kuat dan kaya, maka negara itu akan menjadi lemah. Lebih lanjut dikatakannya : “Therefore a country, which has the right is concerned with weaking people” ; Karena itu suatu negara yang menempuh cara yang benar, hendaklah berupaya untuk melemahkan rakyat.
(Bilamana di dalam suatu negara terdapat ‘ten evils’ (sepuluh hal yang jahat) yaitu : rites ( = upacara agama atau adat), music ( = musik), odes ( = nyanyian; Syair pujian), history ( = sejarah), virtue ( = kebaikan, kebajikan), moral culture ( = kesusilaan), filial piety ( = penghormatan terhadap orang tua), brotherly duty ( = kewajiban persaudaran), integrity ( = kejujuran), dan sophistry  ( = sofisme), penguasa tidak akan dapat dielakkan lagi dan akan membawanya pada kebinasaan. Sebaliknya jika negara tidak memiliki sepuluh hal tersebut, penguasa akan dapat membuat rakyatnya berjuang sehingga ia akan jaya dan mendapatkan supremasi.
Menurut Shang Yang, negara yang tidak memiliki kekuatan dan mengusahakan pengetahuan dan kepintaran pasti akan binasa, tetapi rakyat yang takut yang diancam dengan pelbagai hukuman, akan menjadi bangsa yang perkasa dan bangsa yang berani tersebut yang dirangsang dengan pelbagai hadiah, akan berjuang sampai mati.
Ringkasnya, teori Shang Yang ini menyatakan : keadaan rakyat harus merupakan kebalikan dari keadaan negara. Jika menghendaki negara yang kuat dan sejahtera, maka rakyat harus lemah, miskin dan bodoh. Karena rakyat yang kuat akan menyebabkan negara menjadi lemah dan miskin. Rakyat mempunyai banyak keinginan dan tuntutan. Karena itu rakyat mutlak harus dibodoh dan dimiskinkan, dibuat agar tidak mempunyai kemauan dan selalu dihibur.

b.      Nicollo Machiavelli
Machiavelli, pujangga Florence yang hidup pada abad ke-11 membentangkan teorinya yang realistis dalam buku “II Principe” (The Prince), dipersembahkannya sebagai nasehat dan petuah kepada Lorence the Magnificent Son of Piero de Medici. Ia berpendapat yang senada dengan Shang Yang bahwa tujuan negara itu adalah kekuasaan. Tapi kekuasaan itu hanya merupakan alat belaka untuk mencapai tujuan negara yang sebenarnya, yakni kebesaran dan kehormatan.

c.       Fridriech Nietzsche
Dalam karyanya “Also sprach Zarasthustra” dan “Der Wille zure Macht”, Nietzsche mengemukakan bahwa manusia adalah dalam kerusakan dan kemunduran, karena berpegang pada nilai-nilai moral yang salah dan sesat. Hidup adalah perjuangan, hasrat untuk berkuasa itulah rahasianya hidup. Inilah pokok dari segala penilaian hidup manusia. Apa yang disebut baik? Ialah segala kekuatan dan kekuasaan pada diri manusia. Apa yang disebut buruk? Ialah kelemahan pada manusia. Pihak yang lemah pasti tidak akan mampu mencapai tujuannya.
Menurutnya, tujuan hidup manusia bukanlah “sebesar-besarnya kebahagiaan bagi sebesar-besarnya jumlah manusia”, seperti diajarkan kaum utihtarian yang antara lain di anut oleh John Stuart Mill dan Yeremias Bentham, tapi penjelmaan tokoh pilihan dari mereka yang paling sempurna. Hidup adalah serba memenangkan dan menaklukkan yang akan meningkat terus ke atas, yang akan dapat mengatasi bahaya keruntuhan manusia.
Ajaran-ajaran dari Shang Yang, Machiavelli dan Nietzsche menjadi landasan politik totaliter pada pertengahan abad ke-20. Seperti misalnya pada zaman kekuasaan Nazi Adolf Hitler di jerman, Fascisme Benito Mussolini di italia atau militerisme di jepang menjelang Perang Dunia ke-2.

2. Teori Keamanan/Ketertiban
a.      Dante Alleghieri
Dante adalah pujangga Italia pada abad ke 13-14. Ia hidup dalam zaman kekeruhan dan kekacauan negerinya. Ia anti Paus, tapi pro Kaisar Jerman. Dante menghendaki persatuan dan perdamaian dunia, Paus dimintanya untuk tidak mencampuri masalah kenegaraan dan menghimbau agar antara gereja dan negara terwujud kerjasama untuk terciptanya perdamaian.
Meskipun pendapat Dante nyaris sama dengan ajaran Machiavelli bahwa tujuan negara pada akhirnya adalah kekuasaan, tapi bagi Dante kekuasaan itu hanya sekedar alat belaka untuk sampai pada tujuan lain yang lebih tinggi, yakni ketertiban, keamanan dan kebahagiaan. Untuk menuju pada ketertiban dan perdamaian itu, menurutnya mutlak diperlukan suatu ‘Kerajaan Dunia’.
Dalam bukunya “De Monarchia”, ia membentangkan pendapatnya bahwa manusia baru akan dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik, jika telah tercipta tujuan perdamaian itu yang merupakan hak setiap orang. Selama manusia masih diperintah oleh begitu macam penguasa dan begitu banyak yang memerintah, maka selama itu pula akan tetap terjadi permusuhan dan peperangan yang membawa malapetaka bagi umat manusia.
Karena itu menurut Dante, yang menjadi tujuan negara ialah menciptakan keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia tersebut. Dengan cara menciptakan peraturan perundang-undangan yang seragam bagi seluruh umat manusia. Kekuasaan seyogyanya dipusatkan di tangan seorang monarc, supaya perdamaian dan keamanan dapat tetap terjamin.

b.      Thomas Hobbes
Thomas Hobbes pun berpendapat bahwa perdamaian adalah unsur yang menjadi hakekat tujuan negara. Karena masyarakat tidak mampu menanggulangi terjadinya pelbagai gejolak, maka mereka secara bersama-sama mengikat dirinya dalam suatu perjanjian dan tunduk pada suatu pucuk pimpinan yang sanggup menegakkan keamanan dan ketertiban itu. Demi perdamaian dan ketenteraman masyarakat tersebut melepaskan kemerdekaan individunya kepada kemerdekaan umum yang dikendalikan oleh negara.

c.       Montesquieu
Montesquieu pun berpendapat, bahwa negara itu harus dipandang sebagai alat belaka yang dibuat manusia untuk melindungi dirinya dari segala macam ancaman dan bahaya. Maksud didirikannya negara adalah untuk melindungi diri sehingga dapat tercipta kehidupan yang aman dan sentosa.

d.      Epicurus
Epicurus menilai terjadinya negara tersebut untuk menjamin keamanan, ketertiban dan kepastian hidup segenap warganegaranya.

3. Teori Kemerdekaan
a.      Imanuel Kant
Ia berpendapat bahwa kemerdekaan itulah yang sebenarnya menjadi tujuan negara. Terciptanya suatu negara tidak lain untuk melaksanakan hukum, sedangkan fungsi hukum itu untuk menjamin kemerdekaan manusia. Hukum dan kemerdekaan, tidak dapat dipisah-pisahkan. Kemerdekaan dan kebebasan saja akan menerbitkan kekacauan, karena itu kemerdekaan harus di batasi oleh hukum. Dan hukum itu harus merupakan aspirasi seluruh rakyat yang merdeka.


b.      Herbert Spencer
Menurut ajarannya, negara itu tidak lain adalah bagi manusia untuk memperoleh lebih banyak lagi kebebasan dan kemerdekaan, daripada yang dimiliki warganegara sebelum adanya suatu negara. Jadi negara adalah alat untuk menegakkan dan menjamin kemerdekaan.

c.       Jean Bodin
Jean Bodin berpendapat bahwa dengan adanya negara maka akan lenyapnya kemerdekaan manusia yang asli. Manusia yang semula bebas dan leluasa akan menjadi terikat dan tunduk pada kekuasaan negara. Jadi tujuan negara adalah kemerdekaan itu.

d.      Gotlieb Fichte
Menurut pendapatnya, negara dilahirkan dengan paksaan itu pula ia harus menuju ke arah kemerdekaan. Pemerintahan yang benar menurutnya, ialah pemerintahan yang menuju ke arah terciptanya keadaan yang tidak memerlukan lagi adanya pemerintahan.
Artinya ialah, hak dan kewajiban warganegara baik secara individual maupun komunal benar-benar dapat dipatuhi sehingga tidak terdapat lagi pelanggaran dari tertib umum. Dengan demikian, dapat diciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi masyarakat tersebut.

4. Teori Kesusilaan
Teori ini diajarkan oleh Plato, sehingga disebut Teori Plato. Menurutnya, negara bertujuan untuk memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai perorangan (individu), maupun sebagai makhluk sosial.

5. Teori Kebahagiaan
a.      Montesquieu
Montesquieu juga berpendapat, tujuan negara agar tetap memiliki wilayahnya yang akan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat sehingga mereka dapat hidup tenteram dan bahagia. Dari tujuan inilah yang dijadikan landasan Montesquieu mencetuskan gagasan ‘Trias Politic’nya seperti termuat dalam buku “L’Esprit des Lois” tersebut.

b.      Hartmann
Ahli filsafat ini menyatakan, tujuan mendirikan negara tidak hanya untuk mencapai kebesaran negara itu saja, tapi juga untuk mencapai kebahagiaan hidup bagi rakyatnya.

c.       Harold J. Laski
Menurut Laski, negara harus berusaha semaksimal mungkin membuka kesempatan bagi warganegaranya untuk mewujudkan ‘the best, that is in themselves’.

d.      Faham Utilitarianisme
Pelopor faham utilitarianisme (utility = kegunaan) ini antara lain John Stuart Mill dan Jeremy Bentham mengemukakan, tujuan negara itu dimaksud untuk mencapai ‘the greatest happiness of the greatest number’.

6. Teori Keadilan
a.      Thomas Aquinas
Pendapatnya menyatakan, kekuasaan dan hukum negara itu hanya berlaku selama ia mewujudkan keadilan untuk kebaikan bersama (bonum komune) masyarakat, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Thomas Aquinas tidak membenarkan menentang kekuasaan yang di nilai tidak adil itu dengan kekerasan, karena akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar lagi.

b.      Aristoteles
Aristoteles dalam ajarannya menghendaki agar negara menjamin kebaikan hidup warganegaranya, karena kebaikan hidup itu adalah idealisme sekaligus tujuan negara. Ini hanya dapat dicapai dengan keadilan yang harus menjadi dasar dari setiap pemerintahan.
Perwujudan keadilan ini dijalankan melalui undang-undang yang dibuat berdasarkan kemauan atau kehendak warganegara. Dalam sistem pemerintahan yang demikian, menurut Aristoteles, sebenarnya yang berkuasa bukan orang-orang yang memegang pemerintahan, tetapi jiwa keadilan itu sendiri.

7. Teori Kesejahteraan
Negara kesejahteraan (Walfare state atau social service) bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya sebagai alat belaka yang dibentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni suatu tata kehidupan masyarakat yang bahagia, makmur dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat negara itu.
Teori kesejahteraan ini pada garis besarnya dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a.      Aliran Liberalis kapitalis
Menurut aliran ini, kesejahteraan akan terwujud dengan kemerdekaan dan kebebasan setiap individu. Sesuai dengan falsafahnya mereka memperjuangkan kehidupan yang serba bebas (liberal), dalam sistem persaingan bebas setiap orang akan berkompetesi untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Mereka berpendapat, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat harus dicapai lewat politik dengan sistem liberal dan persaingan bebas. Dengan sistem perekonomian yang bebas akan terbuka peluang dan kesempatan kerja yang lebih luas sehingga bertambahnya pendapatan rakyat.
Penganjur teori ini antara lain Adam Smith, dalam bukunya “Wealt of Nation”, Yeremy Bentham dengan karyanya “Introduction to Moral and Legislation”, Herbert Spencer, dan lain-lain.

b.      Aliran Solidaris Sosialis
Menurut penganut faham ini, tujuan negara ialah menciptakan kebahagiaan yang semaksimal mungkin bagi setiap warganegaranya. Hal ini baru akan terlaksana bilamana masyarakat mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang patut untuk kehidupannya dan dijaminnya hak-hak mereka oleh undang-undang.
Bertolak belakang dengan prinsip liberalis kapitalis, pada ajaran ini sistem perekonomian yang dituntut mereka adalah yang memungkinkan pembagian pendapatan yang merata di kalangan rakyat. Akibatnya akan terjadi pengurangan dan pengekangan hak-hak pada individu.
Keadilan sosial hanya mungkin terwujud dengan mengubah sistem perekonomian liberal dengan perekonomian kekeluargaan yang terpimpin di bawah pengawasan negara. Karena itu negara harus memiliki semua alat-alat produksi dan distribusi agar terdapat pemerataan.
Menurut caranya mereka melaksanakan tujuannya, aliran solidaris sosialis ini, dapat dikelompokkan lagi menjadi :
-          Aliran Komunis
Yang bermaksud menghapuskan dengan tuntas semua hak milik perseorangan dengan menghentikannya menjadi hak milik umum (komunal). Hak individu dilebur mutlak dalam satu komune.
-          Aliran Sosialis
Faham yang bermaksud membatasi hak milik individu khusus mengenak hak milik atas sumber-sumber dan alat-alat produksi serta distribusi yang vital saja yang harus dikuasai negara.

Para pemuka aliran Solidaritas Sosialis ini diantaranya ialah Thopmas More dalam bukunya “Utopia”, Eduard Bellamy “The Year 2000”, Karl Marx dengan bukunya “Das Kapital”, Louis Blanc, Henri de Saint Simon, dan sebagainya.













BAB VI
TEORI BENTUK NEGARA

Menurut teori, bentuk negara yang terpenting dan banyak dianut berbagai negara di dunia ialah : negara kesatuan (unitaris) dan negara serikat (federasi).
1. Negara Kesatuan atau Unitaris
Negara kesatuan atau unitaris adalah negara yang bersusunan tung­gal, negara yang hanya terdiri dari satu negara saja. Jadi tidak terdapat negara dalam suatu negara. Negara kesatuan adalah bentuk negara yang tunggal dan mandiri, terdiri dari satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara dan satu lembaga legislatif untuk seluruh kawasan negaranya.
Dalam prakek, dalam suatu negara kesatuan (atau disebut juga : eenheidstaat; simple state) diadakan juga pembagian daerah yang pada setiap daerah itu terdapat organisasi kenegaraan yang berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri. Lazim disebut Pemerintah Daerah ­Tingkat I atau II. Propinsi, kabupaten atau kotamadya. Namun pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan, kekuasaan ini tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
Negara kesatuan yang mengadakan pembagian daerah seperti itu disebut negara kesatuan yang desentralisasi, sedangkan negara unitaris yang tidak mengadakan pembagian daerah, disebut negara kesatuan yang dekonsentrasi.
Tegasnya negara kesatuan (unitaris) dapat terbentuk dengan dua alternatif :
a.       Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
Daerah-daerah diberikan keleluasaan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi).
b.      Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
Di mana segala sesuatu dalam negara tersebut langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat sendiri, termasuk segala hal yang menyangkut pemerintahan dan kekuasaan daerah.

2. Negara Serikat atau Federasi
Negara serikat atau negara federal atau federasi, adalah negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara, yang kemudian menjadi negara-negara bagian daripada negara serikat tersebut. Negara ini berdiri sendiri dengan masing-masing perlengkapannya, dengan kepada negara sendiri, dengan pemerintahan sendiri dan dengan lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif sendiri pula.
Negara-negara bagian itu pada mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan pada suatu negara serikat, maka negara yang tadinya berdiri sendiri itu, kini menjadi negara bagian dengan melepaskan sebagian dari kekuasaan dan kewenangannya secara limitatif (berangsur-angsur) kepada negara serikat (delegated powers).
Kekuasaan yang diserahkan negara-negara bagian kepada negara serikat tersebut ialah hal-hal yang berkenaan dengan hubungan luar negeri, keuangan, pertahanan negara. Tapi kadang-kadang pembagian kekuasaan antara pemerintah federasi dengan pemerintah negara-negara bagian adalah urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah negara-negara bagian, yang berarti bidang kegiatan pemerintah federal adalah hal-ikhwal kenegaraan yang selebihnya (residuary powers).
Dalam hubungan ini, perincian kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah federal umumnya dapat dibagi menjadi lima hal :
a.       Hal-hal yang menyangkut kedudukan negara sebagai subyek hukum internasional. Misalnya : masalah daerah-daerah, kewarganegaraan, imigrasi, transmigrasi, hubungan dan pertukaran perwakilan dengan negara lain;
b.      Hal-hal yang mutlak mengenai keselamatan negara, seperti per­tahanan dan keamanan, masalah perang dan damai;
c.       Hal-hal yang mengenai konstitusi dan organisasi pemerintahan federasi dan yang mengenai asas pokok hukum, serta organisasi peradilan, sepanjang dipandang perlu oleh pemerintah pusat;
d.      Hal-hal yang mengenai mata uang dan keuangan untuk pembiayaan pemerintahan federasi, termasuk pajak, bea cukai, monopoli negara dan lain sebagainya;
e.       Hal-hal yang mengenai kepentingan bersama antara negara-negara bagian seperti, pos dan telekomunikasi, statistik, industri, perdagangan, penyelidikan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Menitik latar belakang bergabungnya negara-negara tersebut di dalam negara federal dimaksudkan untuk lebih meningkatkan hubungan kerjasama, maka bentuk negara federal tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a.       Negara Serikat (Bundesstaat).
b.      Serikat Negara (Staaten bund).
Beberapa pendapat yang mengupas perbedaan antara negara serikat dan serikat negara, menyatakan sebagai berikut :
(1)   Jellinek
Dalam bukunya “Allgerneine Staatslehre”, Jellinek mengemukakan, perbedaan antara negara serikat dengan serikat negara terletak pada kedaulatannya. Pada negara serikat, kedaulatan (souvereiniteit) terletak pada negara federal atau negara gabungan. Sedangkan pada serikat negara, kedaulatan tetap dipegang oleh negara-regara bagian.
Jadi Jellinek dengan tegas menyandarkan perbedaan antara negara serikat dengan serikat negara tersebut dengan kriteria ”kedaulatannya”.
Tinggal melihat siapa yang berdaulat : negara gabungan atau negara bagian. Dengan demikian akan diketahui jenis negara tersebut, negara serikat atau serikat negara.

(2)   Kranenburg
Prof. Kranenburg seperti dikemukakannya dalam buku ”Algemene Staatsleer” menolak pendapat Jellinek tersebut. Kriterium, untuk membedakan negara serikat dengan serikat negara menurut Kranenburg, tidak tepat jika kedaulatan atau souvereiniteit yang dijadikan dasarnya. Karena pengertian kedaulatan itu sendiri masih kabur dan masih menim­bulkan pelbagai macam penafsiran yang paling berbeda.
Menurut Kranenburg kriteria yang dipakai untuk membedakan an­tara negara serikat dengan serikat negara tergantung pada dapat atau tidaknya pemerintah gabungan itu membuat peraturan perundang-­undangan yang langsung mengikat warganegara dari negara-negara bagian tersebut.
Jika peraturan atau hukum dari pemerintah federal atau negara gabungan itu dapat dengan langsung berlaku dan mengikat terhadap negara-negarg bagian, maka negara itu adalah negara serikat. Sebaliknya bila peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan federal itu tidak dapat secara langsung berlaku dan mengikat kepada warganegara dari negara-negara bagian, maka negara tersebut disebut serikat negara.
Sementara itu menurut Kranenburg antara sistem negara serikat dengan negara kesatuan yang desentralistis terdapat pula dua perbedaan yang bersifat hukum positif, yaitu :
a.       Pada negara serikat, negara-negara bagian memiliki kekuasaan sen­diri untuk membuat konstitusi (pouvoir constituant), mereka dapat mengatur sendiri bentuk organisasinya, sedangkan dalam negara kesatuan yang desentralistis daerah-daerah ditetapkan oleh pembuat undang-undang pusat.
b.      Dalam negara serikat kekuasaan pembuat undang-undang pusat un­tuk memberikan peraturan mengenai pelbagai masalah telah disebut satu persatu, sedangkan dalam negara kesatuan yang desentralistis kekuasaan pembuat undang-undang pusat telah ditentukan dalam rumus yang bersifat umum, serta kekuasaan legislatif badan-badan yang lebih rendah tergantung kepada pembuat undang-undang pusat dalam menggunakan kekuasaan tersebut.

3. Negara Dominion
Negara dominion ialah suatu negara yang sebelumnya merupakan jajahan Inggris, yang kemudian telah merdeka dan berdaulat. Tapi tetap mengakui raja Inggris sebagai rajanya, sekaligus sebagai perlambang dari persatuan dan kesatuannya. Negara-negara tersebut tergabung dalam suatu ikatan yang disebut “The British Commonwealth of Nations” atau Negara-negara Persemakmuran.
British Commonwealth of Nations ini adalah suatu persekutuan kerajaan Inggris dengan daerah-daerah bekas jajahannya yang telah dilimpahkan wewenang penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagai negara merdeka, berhak mengatur politik dalam dan luar negeri sendiri dan berhak pula menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kedaulatannya.
Dalam Report on the Imperial Conference tahun 1926 dirumuskan kedudukan negara-negara dalam British Commonwealth of Nations tersebut (Daerah-daerah bagian dalam kerajaan Inggris yang berkedudukan sama, tidak dengan cara apapun berada di bawah yang lain dalam urusan dalam negeri maupun luar negeri, walaupun bersatu dalam setia kawula bersama kepada mahkota dan dalam persekutuan bebas sebagai anggota Persemakmuran bangsa-bangsa Inggris).
British Commonwealth of Nations ini merupakan sarana untuk mempersatukan mereka dalam kepentingan bersama antara negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Dominion-dominion Inggris tersebut diantaranya ialah Kanada, Australia, Afrika Selatan, New Zealand, India, Malaysia, dan lain-lain.

4. Negara Protektoral
Negara Protektoral, adalah suatu negara yang berada dibawah lindungan (to protect = melindungi ; perlindungan) negara lain. Lazimnya masalah hubungan luar negeri dan pertahanan keamanan dari negara protektorat itu dengan persetujuan bersama diserahkan kepada negara yang memberikan perlindungan tersebut (suzeren). Kenyataannya, negara protektorat bukan merupakan subyek dari hukum internasional.
Negara protektorat dibagi menjadi dua macam :
a.      Protektorat Kolonial
Terhadap masalah hubungan luar negeri dan urusan pertahanan/keamanan serta sebagian besar urusan dalam negeri yang penting, diserahkan kepada negara pelindungnya. Karena itu negara protektoral kolonial jenis ini tidak menjadi subyek hukum internasional.

b.      Protektorat Internasional
Dalam protektorat internasional ini, negara yang berada di bawah perlindungan tersebut dapat bertindak dan menjadi subyek daripada hukum internasioanl.

Contoh negara protektorat yang pernah ada, antara lain : Zanzibar, protektorat Inggris (1890); Mesir, protektorat Turki (1917) dan Albania, protektorat dari India (1936).

5. Negara Uni
Dua negara atau lebih yang masing-masing merdeka dan berdaulat, mempunyai satu kepala negara yang sama. Walaupun pada hakekatnya uni tersebut bukan merupakan bentuk suatu negara, tapi bentuk gabungan negara-negara atau badan kerjasama antara negara-negara tersebut. Uni itu dibentuk dengan sengaja untuk menciptakan persatuan di antara dua negara atau lebih.
Uni ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a.      Uni Riil atau Uni Nyata
Uni riil ini terjadi apabila negara-negara tersebut mempunyai alat kelengkapan negara bersama, yang telah ditentukan terlebih dahulu. Uni ini dibentuk dengan sengaja untuk mewujudkan persatuan yang nyata antara beberapa negara tersebut.

b.      Uni Personal atau Uni Pribadi
Uni personal ini terjadi apabila kepala negaranya saja yang sama. Uni tersebut tercipta seakan-akan tidak dengan kesengajaan, seorang raja secara kebetulan dalam masa yang sama sekaligus mengepalai lebih dari satu negara.

Contoh uni riil : Austria-Hongaria (1918), Uni afrika Selatan, Uni Birma, dan lain-lain. Sedangkan contoh uni personal : Belanda-Lexumburg (1890), Swedia-Norwegia (1814-1905), Uni Inggris Hannover (1714-1837).

Dalam pemekaran berikut baik uni riil maupun uni personal ternyata cenderung menunjukkan sifat-sifat khasnya, sesuai dengan erat atau longgarnya ikatan persetujuan yang diterapkan masing-masing negara tersebut. Uni ini  menunjuk pada sifat-sifatnya sebagai negara yang berbentuk fusi, federasi atau konfederasi, yaitu :
a.      Uni Fusi
Uni ini dibentuk untuk mewujudkan persatuan yang bulat sebagai suatu negara kesatuan. Uni ini berarti penggabungan dan peleburan secara total menjadi satu negara, sehingga disebut juga uni fusi. Misalnya uni Afrika Selatan.

b.      Uni Federasi
Uni ini dibentuk untuk menyusun persatuan yang lebih rapi antara beberapa negara atau satuan daerah dengan tidak menghilangkan keutuhan serta sifat asli dari satuan-satuan negara tersebut, dengan mewujudkan negara serikat atau federasi. Karena itu hal semacam ini disebut uni federasi, seperti misalnya Uni India, Uni Sovyet Sosialis Rusia.

c.       Uni Konfederasi
Untuk menciptakan persekutuan yang lebih longgar, dibentuk uni yang mirip dengan kofederasi. Seperti halnya Uni Holland Zeeland dahulu yang dilanjutkan dengan Uni Utrecht, yang semua hanya dimaksudkan sebagai persekutuan kerjasama dalam masa perang saja, tapi kemudian tumbuh menjadi uni konfederasi dengan terbentuknya Republik der Verenigde Nederlander.
Catatan :
Selain jenis uni personal dan uni riil, terdapat juga uni yang bersifat khas yang disebut Uni Sui Generalis. Seperti halnya Uni Indonesia-Belanda tahun 1949, sebagai realisasi dari Konferensi Meja Bundar. Uni Sui Generalis ini bukan uni riil atau uni personal, karena tidak mempunyai alat perlengkapan negara bersama, juga tidak mempunyai kepala negara yang sama dan bersama. (Uni Indonesia-Belanda ini secara resmi dibubarkan 21 April 1956).




















BAB VII
TEORI BENTUK PEMERINTAHAN

1. Teori Tua
Menurut penganut teori tua atau kuno, bentuk pemerintahan suatu negara itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan besar yakni : Monarchi, Aristokrasi dan Demokrasi. Kriteria yang dipakai tokoh aliran ini seperti Plato, Aristoteles, Thomas van Aquino dan Polybios dalam membedakannya ialah :
a.      Jumlah orang yang memerintah
Apakah pemerintahan suatu negara itu dipegang oleh seorang saja, beberapa orang ataukah oleh seluruh rakyat.

b.      Sifat dari pemerintahan
Pemerintahan itu ditujukan kepada siapakah? Untuk kepentingan umum yang dinilai baik atau sebaliknya hanya diarahkan untuk kepentingan diri sendiri atau sekelompok orang saja.
Semuanya menimbulkan ekses-ekses atau dampak tertentu. Dampak dari pemerintahan monarchi akan menimbulkan tirani, dampak dari aristokrasi mengakibatkan oligarchi dan dampak dari demokrasi sendiri dapat menyebabkan timbulnya anarchi.

2. Teori Modern
Dalam teori modern, pembagian bentuk pemerintahan suatu negara itu dibedakan hanya dalam dua jenis yakni Monachie dan republik. Penjenisan ini dianut oleh Machiavelli, Jellinek dan Leon Duguity.

a.      Machiavelli
Menurut Nicholo Machiavelli, semua negara dan semua kekuasaan yang melakukan pemerintahan negara atas manusia, adalah republik atau kerajaan. Tapi dalam bukunya “II Princep” itu, Machiavelli tidak menjelaskan lebih lanjut arti dan perbedaan kedua bentuk pemerintahan tersebut. Ia hanya menerangkan bahwa kerajaan itu adalah negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara berdasarkan hak waris yang turun-temurun, dan bagaimana seyogyanya suatu kerajaan harus dipimpin.

b.      Jellinek
Dalam bukunya “Allgeimene Staatslehre”, ia mengupas perbedaan antara monarchi dan republik itu berdasarkan cara pembentukan kehendak negara (der staatslichen willensbildung). Untuk mengetahui cara pembentukan kehendak negara itu, terdapat dua alternatif :
-          Secara psikologis, di mana kehendak negara itu terjelma sebagai kehendak seorang. Dalam hal ini terdapat bentuk monarchi.
-          Secara Yuridis, di mana kehendak negara itu terwujud sebagai kemauan yang berupa hasil suatu peristiwa yuridis (eines juristischen verganges), maka dalam hal ini terdapat bentuk republik.
Di dalam negara monarchi kehendak negara terwujud dalam kemauan raja selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Sedangkan dalam negara berbentuk republik kehendak negara merupakan manifestasi dari suatu peristiwa hukum. Dalam republik ini terdapat suatu aparat yang mewakili sejumlah orang sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan. Badan ini memiliki intergritas dan kepribadian sendiri menurut hukum dan terpisah dari kehidupan kepentingan orang-orang di dalam strukturnya. Keputusan badan ini dilahirkan menurut prosedur hukum sesuai dengan konstitusi negara dan inilah yang merupakan kehendak negara tersebut.
Jika dipergunakan kriteria Jellinek di atas, dalam perkembangan pemerintahan kenegaraan saat ini dijumpai bentuk monarchi yang menurut Jellinek adalah bentuk republik, sebaliknya ada bentuk republik yang menyerupai monarchi. Misalnya di inggris, kemauan negara ternyata tidak ditentukan oleh raja sendiri, tapi hasil konsensus di parlemen. Undang-undang di negara itu dibuat oleh parlemen dan parlemen pula yang menyusun formasi kabinet.
Dengan bukti ini ternyata kemauan negara tidak berada di tangan raja dan tidak terdapat sifat kerajaan menurut rumusan Jellinek dimaksud. Tapi ia menyebut sistem di Inggris itu sebagai monarchi, dengan argumentasi : walaupun kekuasaan pada dasarnya berada di tangan parlemen, tapi kebinetnya diangkat oleh raja sendiri dengan mengangkat pimpinan partai yang memperoleh suara terbanyak atau mayoritas di Majelis Rendah untuk menjadi perdana menteri. Perdana menteri kemudian mengangkat menteri-menteri sebagai pembantunya dari partai yang berkuasa atau memperoleh suara terbanyak tersebut.
Kranenburg, salah seorang yang membantah teori Jellinek tersebut. Ia mengatakan, kenyataan yang sebenarnya di Inggris tidaklah demikian. Raja memang dapat menghentikan perundang-undangan secara informal, tapi secara formal raja sendiri tidak dapat melaksanakannya tanpa dukungan dari parlemen. Dengan suatu ‘royal proclamation’ saja, raja tidak akan dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat.

c.       Leon Duguit
Penjenisan bentuk suatu pemerintahan negara menurut Duguit dengan kriteria cara atau sistem penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya. Negara disebut monarchi bilamana kepala negaranya diangkat atau ditunjuk berdasarkan stelsel pewarisan. Sedangkan negara disebut republik, jika kepala negaranya diangkat tidak berdasarkan stelsel pewarisan tersebut. Tapi dapat melalui suatu pemilihan, kudeta, dan lain seabagainya.
Seperti ditandaskannya dalam buku “Traite de Droit Constitusionel”, Duguit berkata : “La monarchie est la forme de gouverment dans laquelle ilyun chef d’Etat hereditaire; la republique celle on il n’y pas hereditaire”. (monarchi adalah bentuk pemerintahan yang kepala negaranya turun-temurun, republik ialah apabila tidak terdapat kepala negara atau dimana kepala negara tidak berganti turun-temurun).

d.      Hans Kelsen
Menurutnya, untuk mengklasifikasikan bentuk pemerintahan suatu negara harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria yang dipergunakan. Kriteria tersebut harus sesuai dengan hakekat negara itu yang mempunyai akibat-akibat tertentu terhadap warga-negaranya. Hakekat negara yang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap warganegara tersebut yang dipakai Kelsen sebagai kriteria membedakan negara satu dengan negara yang lain.
Menurut ajarannya, hakekat negara itu adalah tertib hukum atau tertib masyarakat yang menjelma menjadi peraturan-peraturan hukum yang mengandung sanksi-sanksi tertentu pula. Karena peraturan hukum itu bersifat memaksa, dengan sendirinya akan membatasi kebebasan warganegara, padahal kebebasan warga negara itu menurut Hans Kelsen merupakan nilai pokok yang fundamental dalam suatu negara totaliter.

e.       Kranenburg
Meskipun ia berpendapat terdapat ketidak-pastian dalam penggunaan istilah monarchi atau republik, dan tidak jelas pula apakah monarchi atau republik itu merupakan bentuk negara atau bentuk pemerintahan, ia cenderung untuk menyetujui pendapat Leon Duguit dan Otto Koelreutter yang bahkan menambahkan jenis pemerintahan ketiga, yakni : negara pemimpin otoriter (autoritaire leiderstaat).
Diungkapnya bahwa sifat hakekat negara itu tergantung dari masalah bagaimanakah sifat hubungan antara fungsi-fungsi negara itu dengan organ-organnya serta sifat hubungan masing-masing organ dimaksud. Dengan kata lain, apakah fungsi-fungsi negara itu dipusatkan pada satu organ atau justru dibagi-bagi kepada beberapa organ yang saling berhubungan satu dengan yang lain, ataukah dengan melihat dasar perkembangan sejarah dan penjenisan negara modern yang timbul sebagai hasil dari perkembangan politik sekarang.

3. Monarchi
Monarchi atau kerajaan, ialah negara yang dikepalai seorang raja atau (ratu), yang bersifat turun-temurun dan menjabat tanpa batas atau seumur hidup. (Kata monarchie terdiri dari “monos” yang berarti = satu-satunya; dan anarchie, asal katanya archien yang berarti kekuasaan (heerschen). Bearati monarchi ialah kekuasaan yang berada pada seorang saja.
Beberapa sistem monarchie ialah :
a.      Monarchie Absolut atau Monarcho Monokrasi
Kekuasaan dan wewenang raja atau kaisar atau Syah yang mengepalai negara itu bersifat tidak terbatas atau mutlak. Perintah raja merupakan undang-undang yang harus dilaksanakan tanpa reserve. Kehendak raja dianggap sebagai kehendak rakyat, seperti ucapan Louis XIV dari Perancis yang termasyhur itu : “L’Etat cest moi” (negara adalah saya).


b.      Monarchie Konstitusional atau Moarcho Oligarchie
Monarchie ini dibatasi oleh suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Raja tidak dapat berbuat dengan sewenang-wenang, ia tidak dapat bertindak selain atas dasar konstitusi tersebut.

c.       Monarchie Parlementer atau Monarcho Demokrasi
Ialah suatu monarchie di mana terdapat suatu dewan perwakilan rakyat atau parlemen, dimana para menteri baik secara perseorangan maupun secara keseluruhan harus bertanggungjawab kepada parlemen tersebut.

Dalam sistem monarchie parlementer, raja selaku kepala negara hanya merupakan lambang saja dari keutuhan dan kesatuan negara yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak diharuskan bertanggungjawab (The King can do not wrong). Yang dibebankan pertanggungan jawab atas segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah, adalah para menteri baik secara perorangan maupun secara keseluruhan.
Negara yang masih menganut monarchie antara lain : Inggris, Belanda, Norwegia, Swedia dan Thailand.

4. Oligarchie
Kata “oligarchie” berasal dari “oligoi” yang berarti = sedikit orang (weinigen) dan “archie” yang bearti = berkuasa. Kekuasaan yang ada pada sedikit orang. Oligarchie berarti, kekuasaan negara untuk memerintah di tangan sejumlah orang saja.
Kekuasaan pemerintahan negara yang bersifat oligarchie ini dibedakan dalam dua jenis :
a.      Aristokrasi
(Aristos, kaum bangsawan), yaitu bila pemerintahan negara dipegang oleh beberapa orang kaum bangsawan (Baron; Hertog, dan lain-lain), seperti halnya republik Romawi di zaman Julius Caesar.
b.      Plutokrasi
(Plutos, kekayaan), yaitu apabila pemerintahan negara dipegang oleh beberapa orang kaum saudagar atau pedagang yang kaya-kara; seperti halnya negara-negara Eropah di abad pertengahan.

5. Autokrasi
Asal katanya dari “auto dan cratein”, yang berarti memerintah sendirian. Negara autokrasi adalah negara yang diperintah oleh satu orang. Dalam sejarah tercatat adanya autokrasi kuno yang tidak mempunyai badan perwakilan rakyat dan autokrasi modern yang sudah memiliki badan perwakilan rakyat tersebut, meskipun pada prakteknya lembaga tersebut hanya sebagai kedok atau topeng belaka.
Pada negara autokrasi modern, lembaga perwakilan rakyat dimaksud hanya sebagai pelengkap saja dari organ negara yang tidak memiliki fungsi dan hak-hak sebagai lembaga negara yang representatif. Pada negara modern pemerintahan autokrasi dimanifestasikan dalam sistem satu partai, sedangkan pada negara autokrasi kuno diperintah oleh satu orang saja.
Contoh pemerintahan autokrasi ini ialah Fasisme Italia di bawah Benito Mussolini, Naziisme Jerman di bawah pemerintahan Hitler, Spanyol di bawah Jenderal Franco.
Meskipun sistem autokrasi ini dulunya dianut oleh negara-negara fasisme seperti Jerman di bawah nazi Adolf Hitler dan Italia di bawah Mussolini, sistem autokrasi modern dengan partai tunggal terdapat pula di negara-negara komunis. Mereka merupakan seorang pemimpin tertinggi partai komunis, jabatan Sekretaris Jenderal partai adalah yang paling tinggi dan berkuasa, lebih berkuasa dari Presiden atau Perdana Menteri.
Dalam sistem partai tunggal ini, pada pemilihan umum para pemilihnya hanya diberi satu alternatif untuk memilih calon-calon dari satu-satunya partai yang ada, atau sama sekali tidak memilih. Kekuasaan negara sepenuhnya dipegang dan dikendalikan oleh partai, dengan Sekjen sebagai pemegang tampuk pemerintahan.

6. Demokrasi
Makna katanya : “demos” = rakyat; kratein = pemerintahan. Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (menurut Abraham Lincoln). Pemerintahan demokrasi ialah suatu pemerintahan negara yang dipegang oleh seluruh rakyat. Rakyatlah yang memerintah, melalui wakil-wakilnya dan kemauan rakyatlah yang harus dituruti. Semboyannya : “Vox Populi, Vox Dei”. Suara rakyat, Suara Tuhan!
Menurut prof. Wirjono Prodjodikoro, demokrasi dalam arti yang sangat tepat, yaitu pemerintahan oleh rakyat sendiri, hanya ada, apabila berwujud demikian rupa, bahwa segala putusan pemerintah selalu diambil oleh rakyat seluruhnya, yang untuk itu setiap kali berkumpul dalam suatu rapat raksasa.
Tapi tentu saja wujud demokrasi semacam ini sangat sukar diterapkan, mengingat besarnya negara, luasnya daerah dan banyaknya penduduk. Seperti tersirat dari definisi yang dirumuskan oleh Prikles, tujuan demokrasi ialah pelaksanaan kemerdekaan dan persamaan oleh Prikles, tujuan demokrasi ialah pelaksanaan kemerdekaan dan persamaan martabat yang hakiki dari warganegara.
Dalam perkembangannya pengertian demokrasi ini mempunyai dua makna. Demokrasi dalam artian formal, ialah adanya pengakuan bahwa faktor yang menentukan dalam negara adalah kemauan rakyat yang menjadi sebagian besar dari rakyat (volonte generale dari Roussseau) tanpa adanya batasan yang dapat dijadikan jaminan bagi kemerdekaan individu. Demokrasi dalam arti materil, ialah hakekat daripada demokrasi itu terletak pada jaminan bagi kemerdekaan dan kebebasan warganegara.
Hans Kelsen menyimpulkan prinsip umum demokrasi yang diuraikannya sebagai berikut : “adanya persamaan wujud antara yang memerintah dan yang diperintah antara subyek dan obyek kekuasaan. Rakyat harus dikuasai oleh rakyat sendiri”.
Cara untuk menerapkan pemerintahan demokrasi tersebut umumnya digolongkan menjadi dua bentuk :
a.      Demokrasi Langsung (Directe Democratie)
Ialah, bilamana segala rakyat berkumpul bersama-sama untuk membuat undang-undang negara yang perlu. Sistem ini sekarang masih terdapat di beberapa daerah negara Swiss, dengan sistem referendum.

b.      Demokrasi Perwakilan (Representatieve Democratie)
Yaitu bilamana segala rakyat yang telah dewasa memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah, yang akan melaksanakan mekanisme pemerintahan.

Selain itu, demokrasi langsung juga dahulu pernah dianut di negara-negara kota Yunani, Swedia dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat; sedangkan demokrasi tidak langsung umumnya dianut oleh negara-negara modern saat ini.

7. Teori Pemisahan Kekuasaan
Menurut beberapa ahli, untuk menunjang perwujudan demokrasi tersebut perlu adanya pemisahan kekuasaan negara. Para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang teori pemisahan kekuasaan ini antara lain :
a.      John Locke
John Locke, seorang ahli hukum tata negara Inggris pertama kali memperbincangkan teori ini dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government” (1690) memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam :
(1)   Kekuasaan legislatif, atau kekuasaan untuk membuat undang-undang;
(2)   Kekuasaan eksekutif, atau kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
(3)   Kekuasaan federatif, atau kekuasaan untuk mengadakan perikatan dan alliansi beserta tindakan semua badan-badan di luar negeri
Kekuasaan ketiga lembaga tersebut menurut John locke harus dipisahkan antara satu dengan lainnya.

b.      Montesquieu
Montesquieu (1698-1755), seorang ahli politik dan filsafat Prancis menulis buku yang berjudul “L’Esprit des Lois” (Jiwa Undang-Undang) yang menyatakan bahwa, dalam suatau kekuasaan pemerintahan harus dipisah-pisahkan dalam tiga jenis yakni : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan negara, ketiga macam kekuasaan itu harus terpisah sama sekali, baik mengenai fungsi dan kewenangannya maupun tentang alat perlengkapan yang melaksanakan :
a.       Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen);
b.      Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan Kabinet);
c.       Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan peradilan lainnya).
Isi ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara (the seperation of power) ini dikenal dengan sebutan Trias Politika. Istilah yang konon diberikan oleh Immanuel Kant ini berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ‘Politik Tiga Serangkai’. Menurut ajaran tersebut, dalam suatu negara harus terdiri dari tiga jenis kekuasaan yang tidak diperkenankan dipegang oleh satu tangan saja, tapi masing-masing kekuasaan itu harus saling terpisah.
Dalam perkembangan berikutnya, ternyata ajaran trias Politika dari Montesquieu ini ternyata menumbuhkan tiga bentuk penafsiran baru dalam pelaksanaannya, yaitu :
(1)   Di Amerika Serikat
Menurut pembentuk konstitusi Amerika Serikat, yang dikehendaki Montesquieu ialah pemisahan kekuasaan negara secara sempurna. Antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainnya jangan terjadi saling mencampuri kewenangan masing-masing.
Penafsiran ini menimbulkan suatu sistem pemerintahan yang dikenal sebagai sistem presidensiel.
(2)   Di Negara-negara Eropa barat
Menurut faham mereka yang dimaksud Montesquieu dengan teori Trias Politikanya itu ialah antara satu badan dengan badan yang lain terdapat hubungan timbal balik, khususnya antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.
Penafsiran ini menumbuhkan suatu sistem pemerintahan yang terkenal dengan sebutan sistem parlementer.
(3)   Di Swiss
Faham pemisahan kekuasaan Montesquieu ini di tafsirkan bahwa badan eksekutif itu hanya merupakan badan pelaksana atau badan pekerja saja dari apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Sistem ini disebut sistem referendum atau sistem badan pekerja.

c.       Maurice Duverger
Maurice Duverger membeda-bedakannya berdasarkan cara pemilihan penguasa, dengan cara tersebut ia mengelompokkan sebagai berikut :
(1)   Negara-negara dengan pemilihan bebas
Misalnya di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis;
(2)   Negara-negara dengan pemilihan terpimpin
Misalnya negara-negara Balkan;
(3)   Negara-negara dengan pemilihan secara plebisit
Misalnya di USSR
(4)   Negara-negara yang tidak mengadakan pemilihan
Misalnya di Spanyol dan Tiongkok

Terhadap klasifikasi di atas, Maurice Duverger mengakui masih terdapat kekurangan-kekurangan, oleh sebab itu pembagian yang lebih memuaskan ialah :
(1)   Sistem pemerintahan parlementer
Misalnya di Inggris
(2)   Sistem pemerintahan presidensiel
Misalnya di Amerika Serikat
(3)   Sistem pemerintahan majelis perwakilan
Pernah dianut di Perancis

Terhadap klasifikasi ini, masih diberikan alternatif lain oleh Maurice Duverger dengan pembagian yang lain ditinjau dari struktur partai-partai politik yang terdapat di negara tersebut, yang menghasilkan penjenisan :
(1)   Sistem partai tunggal
Misalnya di USSR
(2)   Sistem partai dua
Misalnya di Amerika Serikat dan Inggris
(3)   Sistem partai banyak
Misalnya di Perancis , Jerman, Italia

Tapi pembagian ini masih juga belum memuaskan, karena masing-masing negara mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda, karena itu Maurice Duverger mengajukan lagi klasifikasi dengan kriteria pada struktur pemerintahannya, tapi juga memperhitungkan kekuasaan para penguasanya beserta cara-cara pembatasan kekuasaan tersebut, sehingga terdapatlah penjenisan:
(1)   Sistem pemerintahan bebas atau liberal
(2)   Sistem pemerintahan setengah bebas atau setengah liberal
(3)   Sistem pemerintahan totaliter atau kolektif
Dalam sistem ini penguasa mempunyai kekuasaan yang bersifat mutlak terhadap warganegaranya. Kekuasaan yang dipegang pemerintah didukung oleh partai negara.
Misalnya di Rusia atau Era Nazi di jerman dan Facis di italia.

Terhadap pelbagai klasifikasi tersebut Maurice Duverger menyadari masih terdapat kelemahan atau kekurangan-kekurangannya. Dari sudut logika atau penalaran, menurutnya pada garis besarnya pemerintahan yang bener-benar ada di dalam dunia ini dibedakan dalam tiga golongan besar, yaitu ::
(1)   Tipe Inggris
Misalnya dianut di Inggris sendiri, dominion Inggris serta sebagian besar negara-negara di eropa Barat.
(2)   Tipe Amerika
Terdapat pada sebagian besar dari negara-negara di Benua Amerika, selain Kanada.
(3)   Tipe Rusia
Terdapat di Rusia itu sendiri, yaitu UUSR bersama negara-negara bagiannya.

8. Tipe Demokrasi Modern
Tipe atau jenis demokrasi modern, digolongkan sebagai berikut :
a.      Demokrasi dengan sistem Presidensiel
Sistem demokrasi atau pemerintah perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas ini disebut juga demokrasi dengan sistem presidensiel. Di samping pembagian kekuasaan di antara masing-masing alat perlengkapan negara (division of power), sekaligus terdapat pemisahan kekuasaan (separation of power).
Kekuasaan eksekutif pada dasarnya terpisah dengan badan perwakilan rakyat, demikian juga terdapat kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif, Presiden mengangkat menteri-menteri sebagai pembantunya yang bertanggungjawab kepadanya, bukan kepada badan perwakilan rakyat. Presiden mempertanggung-jawabkan pemerintahannya kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, sementara badan perwakilan rakyat tidak menggulingkan pihak eksekutif.
Sistem pemisahan kekuasaan ini antara lain dianut oleh Amerika Serikat.

b.      Demokrasi dengan Sistem Parlementer
Demokrasi atau sistem pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi diantara badan-badan yang diserahi kekuasaan ini, terutama antara eksekutif dan legislatif dapat saling mempengaruhi disebut juga demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada sistem ini memang terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat. Kabinet atau dewan menteri bertanggungjawab atas jalannya roda pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat tersebut. Sepanjang pihak legislatif  masih mempercayai pihak eksekutif dapat melaksanakan kekuasaannya sesuai dengan haluan dan politik negara, selama itu pula eksekutif tetap memperoleh dukungan, sebaliknya jika tidak lagi mendapat kepercayaan, legislatif dapat menjatuhkan eksekutif sehingga akhirnya kabinet jatuh.
Menurut sistem ini, terdapat pembagian kekuasan antara kedua badan tersebut. Eksekutif melaksanakan tugas-tugasnya menurut ketentuan-ketentuan yang digariskan legislatif. Dewan ataupun badan perwakilan rakyat dapat berbentuk satu majelis atau dewan (monocameraal atau uni-cameraal), dapat juga berbentuk bicameraal (dua majelis atau dewan), sedangkan kekuasaan eksekutif berada pada suatu dewan menteri yang dibagi-bagi atas beberapa departemen.
Ternyata bukan hanya negara yang berbentuk republik yang menganut sistem parlementer, tapi juga hampir semua monarchie atau kerajaan yang menerapkan bentuk parlementer ini. Sistem ini semula dianut Inggris pada abad ke-18 dan 19, kemudian dipergunakan juga oleh Negeri Belanda, Belgia, Skandinavia dan dominion Inggris lainnya.

c.       Demokrasi dengan Sistem Referendum
Demokrasi atau sistem pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan pengawasan secara langsung oleh rakyat, disebut demokrasi dengan sistem referendum atau dengan sistem badan pekerja.
Dalam sistem ini perundang-undangan diawasi langsung oleh rakyat. Pengawasan ini melalui dua cara yaitu :
(1)   Referendum Obligatoire
Berlaku dan mengikatnya suatu rancangan undang-undang tergantung pada persetujuan rakyat terbanyak lebih dahulu. Referendum jenis ini terutama dilaksanakan mengenai peraturan-peraturan yang bertalian dengan konstitusi negara.

(2)   Referendum Fakultatief
Suatu peraturan diumumkan terlebih dahulu oleh badan legislatif. Jika dalam waktu yang telah ditetapkan, rakyat menyatakan tidak setuju dengan jumlah minimum tertentu, maka peraturan tersebut dianggap batal dan tidak dapat diberlakukan.

Keistimewaan demokrasi dengan sistem referendum seperti yang dianut Swiss ini, terutama karena sifatnya yang langsung sehingga memungkinkan rakyat melakukan peransertanya secara aktif dalam mekanisme pemerintahan negara.
Sistem demokrasi langsung di swiss ini disalurkan dengan hak inisiatif dan hak referendum. Hak inisiatif dalam hal, hak rakyat untuk membuat gagasan memajukan suatu usul baik menyangkut konstitusi maupun perundang-undangan lainnya. Sedangkan hak referendum dimaksudkan dalam hal-hal penentuan sikap rakyat.

9.  Sistem Pemerintahan
            Sistem pemerintahan adalah suatu sistem yang berlaku dalam mengatur berbagai alat-alat perlengkapan negara dan tentang bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara itu.
 Menurut paham ini dikenal 3 macam sistem pemerintahan, yaitu :
1.      Sistem pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan legislatif.
Penjelasan : Sistem ini identik dengan sistem eksekutif parlementer.
2.      Sistem pemerintahan dimana terdapat pemisahan yang tegas antara badan
     eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Penjelasan : sistem ini dikenal atau biasa disebut dengan sistem Presidensil yang murni (fixed executive – sistem eksekutif Presidentiil) atau juga disebut dengan sistem pemerintahan ala Amerika Serikat yang menerapkan ajaran Trias Politika.

3.      Sistem pemerintahan dimana terdapat pengaruh/pengawasan yang langsung dari rakyat terhadap badan legislatif
Sistem pemerintahan seperti ini sering juga disebut sebagai sistem pemerintahan rakyat yang representatif. Dalam sistem ini badan legislatif tunduk pada kontrol langsung rakyat. Kontrol langsung rakyat tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui inisiatif rakyat dan referendum. Model pemerintahan seperti ini masih diterapkan pada sistem pemerintahan di Negara Swiss (legislatur langsung oleh rakyat – lihat materi perkuliahan sebelumnya).

10. Teori Cyclus Polybios
Suatu hal yang penting dalam memperbincangkan teori-teori tentang bentuk pemerintahan suatu negara ini adalah teori yang dikenal kemudian sebagai Cyclus Polybios. Polybios ini adalah seorang ahli politik dan sejarah berkebangsaan Yunani yang hidup antara tahun 204-144 sebelum Masehi. Ia pernah ditawan dan dibawa ke Roma ketika Romawi menyerang Afrika Utara, ia ikut ke negeri itu.
Setelah kembali ke Yunanai, ia gencar mempropagandakan sistem pemerintahan Roma dalam buku karyanya yang termasyhur “Historiae”. Rumusnya yang juga terkenal ialah : “Setiap sebab akan menimbulkan akibat yang sama pula”. Rumusan inilah yang menjadi dasar dari teorinya yang disebut “causaliteit pricipe” itu.
Menurut Polybios untuk mencapai sistem pemerintahan yang sebaik-baiknya sehingga terwujud menjadi kenyataan, haruslah diambil unsur-unsur yang baik dari tiga macam sistem yang merupakan suatu cyclus yakni, “monarchie-oligarchie-democratie”. Pemerintahan yang tertua menurutnya ialah monarchie, kemudian tyrannie, seterusnya aristocratie, oligrachie, democratie, ochlocratie dan kembali kepada monarchi lagi.
Bermula adalah dalam suatu tatanan masyarakat yang masih bersahaja, muncullah seorang yang gagah berani dan dapat mengungguli pihak-pihak lainnya sehingga ia berkuasa, yaitu seorang raja (monarch) tapi setelah beberapa kurun waktu, pewarisnya yang kemudian justru zalim dan sama sekali tidak lagi mementingkan kehidupan masyarakatnya, ia lebih banyak mementingkan kekuasaannya sendiri, sehingga lahirlah pemerintahan tyrannie.
Lalu perbuatan tyrannis ini bersimaharejalela, mabuk kekuasaan sehingga muncul beberapa orang yang berupaya menentangnya. Jika berhasil, akan terbentuklah pemerintahan yang dilaksanakan oleh beberapa orang. Sistem pemerintahan ini disebut Oligarchie. Semula juga berorientasi untuk kepentingan umum, tapi lama-kelamaan mereka mengabaikan hal itu atau pengganti-gantinya melupakannya sama sekali. Seluruh tindakannya ditujukan untuk kepentingan diri sendiri.
Apabila tindakan semacam ini sudah berlarut-larut dalam kesewenang-wenangan para penguasa negara, rakyat berhak melawannya sehingga timbullah kekerasan, kerusuhan dan pemberontakan dari rakyat banyak yang menuntut hak-haknya. Kemudian akan muncul kembali pemerintahan demokrasi. Seperti biasa, mula-mula pemerintahannya baik untuk keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
Tapi ternyata rakyat mendewa-dewakan kebebasan, menyalahgunakan kekuasaan. Korupsi dan manipulasi merajalela kembali, hal ini tidak langgeng. Kelak muncullah seorang yang bijak memerangi kemelut monarchie atau dictator.
Demikianlah perputarannya kembali lagi ke bentuk semula menurut Cyclus tersebut. Dapatlah disimpulkan bahwa Menurut Polybios untuk mencapai sistem pemerintahan yang sebaik-baiknya sehingga terwujud/menjadi kenyataan, haruslah diambil unsur-unsur yang baik dari tiga macam bentuk pemerintahan di atas. Hal ini merupakan suatu siklus, yakni dari bentuk  “monarkhi-oligarkhi dan demokrasi”.
            Pemerintahan yang tertua menurutnya adalah monarkhi, kemudian secara berurutan berubah menjadi Aristokrasi, Oligarkhi, Demokrasi, Tirani dan kembali lagi ke bentuk Monarkhi, demikianlah seterusnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut :








                                    Siklus bentuk negara dari Polybios :
                                   







Keterangan :
-          Aristokrasi adalah pemerintahan oleh kalangan aristokrat (cendikiawan) sesuai dengan pikiran keadilan, guna kepentingan seluruh rakyat;
-          Tirani yaitu pemerintahan oleh seorang penguasa yang bertindak dengan sewenang-wenang dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri.

Kranenburg dan Mac-Iver tidak mengikuti gagasan/pikiran Polybios tersebut, dengan menyatakan bahwa bentuk pemerintahan tidaklah selalu berubah sebagaimana yang diungkapkan oleh Polybios, namun akan berubah sesuai dengan keadaan suatu wilayah/negara masing-masing.












BAB VIII
PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM NEGARA


 1. P e n g a n t a r
            Aristoteles dalam bukunya “Politics” mengintrodusir perlunya pembagian kekuasaan (division of powers) dalam suatu negara yang disebutnya dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.  Pembagian kekuasaan ini tidak berarti pemisahan kekuasaan (separation of powers).

            Montesquieu (1689 – 1755) pengarang Perancis yang masyhur dengan bukunya yang terbit tahun 1748 “L’Esprit des lois” (Jiwa Undang-undang), antara lain menyatakan bahwa :
·         Apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh satu orang /satu lembaga, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya kemerdekaan (liberty);
·         Apabila kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif dipegang oleh satu orang/satu lembaga, maka kemerdekaan perorangan hanya tergantung pada pengawasan yang sewenang-wenang (arbitrarty controle);
·         Sedangkan jika kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh satu orang/satu lembaga, maka seorang hakim akan menjelma menjadi seorang penindas (oppressor).

            Montesquieu menilai bahwa kekuasaan dalam negara harus dibagi dalam tiga lembaga yang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, dimana lembaga yang satu merupakan pengawas bagi lembaga lainnya.
Pembagian kekuasaan itu terdiri dari :
1.       Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang yang harus diserahkan kepada parlemen yang dapat terdiri atas majelis rendah dan majelis tinggi;
2.       Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan menjalankan undang-undang atau pemerintahan yang harus diserahkan kepada raja yang diberi hak veto;
3.       Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili yang harus diserahkan kepada hakim-hakim yang disumpah.

            Nilai Ajaran Trias Politika ternyata sukar diterapkan secara konsekuen dimanapun. Hanya di Amerika Serikat dilaksanakan seoptimal mungkin kendatipun tidak utuh. Walaupun demikian nilai teori ini justru sangat essensial. Asas-asasnya dianut dan dicantumkan dalam pelbagai konstitusi negara-negara modern dewasa ini.

            Meskipun umumnya para ahli sependapat tentang differensial dan spesialisasi kekuasaan sebagaimana tersebut di atas, namun dihubungkan dengan realita, terdapat 5 pendapat/aliran tentang kekuasaan dalam negara (GS. Diponolo dalam karangannya “Ilmu Negara”).
·         Pertama, aliran abolutis yang menghendaki pemerintahan otoriter dengan kekuasaan mutlak ditangannya sendiri, aliran ini tidak menerima gagasan pemisahan kekuasaan. Menurut penganut aliran ini, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat dibagi-bagi ataupun dipisahkan;
·         Kedua, aliran yang menilai kekuasaan negara itu hanya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur legislatif dan unsur eksekutif. Sedangkan unsur yudikatif dianggap sebagai bagian dari unsur eksekutif;
·         Ketiga, aliran yang membagi kekuasaan atas tiga unsur, namun tidak persis sama dengan ajaran trias politika. John Locke misalnya, membagi kekuasaan menjadi: legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri. Adapun kekuasaan yudikatif oleh John locke tidak disinggung sama sekali, sedangkan kekuasaan legislatif dipandang sebagai kekuasaan yang tertinggi;
·         Keempat, aliran yang memandang kekuasaan itu terdiri dari empat unsur. Dimana dinyatakan bahwa sebelum lahirnya 3 kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif), kekuasaan awal yang terpenting dan dianggap paling menentukan adalah unsur kekuasaan pemilih dalam pemilihan;
·         Kelima, aliran yang menyatakan bahwa selain 4 unsur kekuasaan di atas, masih ada unsur kelima, yaitu unsur kepegawaian dengan tata usahanya.



2. Lembaga Legislatif
            Perkataan Parlemen asalnya dari Bahasa Perancis ‘parler’ yang artinya = berbicara. Dewasa ini yang dimaksud dengan Parlemen adalah Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu tempat rakyat memperdengarkan suaranya dalam pemerintahan (keikutsertaan). Parlemen merupakan lembaga legislatif tertingi dalam suatu negara.

            Beberapa negara menganut asas dua majelis/dua kamar (Bi-kameralisme) dalam susunan parlemennya, utamanya negara-negara penganut sistem federal misalnya Amerika Serikat. Sedangkan beberapa negara lainnya menganut sistem satu kamar (Uni-kameralisme), termasuk Indonesia.
-          Majelis tinggi mempunyai kekuasaan terbatas (kecuali di Amerika Serikat), utamanya adalah mengawasi majelis rendah. Oleh karena itu majelis tinggi sering disebut pula sebagai majelis tambahan.
Keanggotaan Majelis Tinggi dapat ditentukan atas beberapa dasar, yaitu :
a.       Turun-temurun (Inggris)
b.      Ditunjuk (Inggris dan Kanada)
c.       Dipilih (India, Amerika Serikat dan Filipina).
Keberadaan majelis tinggi tidak selalu mencerminkan konstelasi kekuasaan yang sebenarnya.

-          Majelis rendah merupakan badan yang mewakili rakyat dan mempunyai kewenangan yang lebih besar. Keanggotaan majelis rendah ditentukan melalui proses pemilihan umum. Fungsi legislatur secara umum, dijalankan oleh majelis rendah.

Fungsi badan legislatif yang terpenting adalah :
1.      Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang.
2.      Mengontrol badan eksekutif, dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Untuk menjalankan dua fungsi pokok tersebut, maka oleh undang-undang badan legislatif diberikan hak-hak tertentu/khusus.

            Berdasarkan kedudukan dan kekuasaannya, maka badan legislatif dapat dibedakan menjadi :
a.   Legislatur Nominal
Hakekat peranannya hanya pada formalitas belaka. Dalam prakteknya badan legislatif tunduk (subordi nated) kepada badan eksekutif. Lembaga ini mudah dibubarkan oleh pihak eksekutif. Dianut oleh negara-negara dengan kekuasaan yang totaliter.

b.   Legislatur Supremasi
Lembaga legislatif mempunyai kedudukan dan kekuasaan supremasi di dalam negara dan mempunyai peranan yang menentukan. Legislatur ini pada hekekatnya menguasai badan eksekutif. Biasanya diterapkan pada negara-negara penganut sistem eksekutif parlementer.

c.   Legislatur Perimbangan
Dalam sistem ini kedudukan lembaga legislatif seimbang dan mempunyai peranan yang sama dengan lembaga eksekutif, demikian juga dengan lembaga yudikatifnya. Ketiga-tiganya sejajar (nebengeordnet). Legislatur seperti ini diterapkan pada negara-negara penganut ajaran Trias Politika.

d.   Legislatur langsung oleh rakyat
Legislatur semacam ini lazim disebut ‘direct populer legislature’ yakni lembaga legislatif yang peranannya dilakukan oleh rakyat secara langsung, melalui hak inisiatif dan referendum, seperti yang dianut di Swiis.

3.  Lembaga Eksekutif
Lembaga eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan kehendak negara. Lembaga ini diartikan dalam dua aspek, yaitu :
-          Pertama, dari pengertian yang sempit berarti badan pimpinan tertinggi pemerintahan, termasuk kepala negara dan para menteri yang tergabung dalam kabinet;
-          Kedua, dalam arti luas adalah keseluruhan badan yang menjalankan tugas pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah dengan seluruh jajarannya.

Tugas badan eksekutif menurut tafsiran tradisionil ajaran trias politika, hanyalah melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif dan menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sesuai dengan perkembangan negara modern, maka wewenang badan eksekutif jauh lebih luas dari yang disebutkan di atas. Bahkan terkesan pada saat ini badan eksekutif sudah memerankan fungsi badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.

Kekuasaan badan eksekutif dewasa ini tercakup dalam beberapa bidang :
1.      Diplomatik; menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain;
2.      Administratif; melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain dan menyelenggarakan administrasi negara;
3.      Militer; mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarkan perang serta keamanan dan pertahanan negara;
4.      Yudikatif; memberi grasi, amnesti dan sebagainya;
5.      Legislatif; merencanakan rancangan undang-undang dan membahasnya bersama-sama DPR untuk dapat ditetapkan sebagai undang-undang.

Sistem eksekutif terbagai atas :
a.   Sistem eksekutif parlementer
Dalam sistem ini, di samping terdapat kepala negara yang dijabat oleh seorang raja atau presiden yang hanya berkuasa secara simbolik belaka, terdapat lagi kabinet yang terdiri dari Perdana Menteri (prime-minister) dan menteri-menteri yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Kabinet inilah yang menyelenggarakan kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada parlemen.

b.   Sistem Eksekutif Presidentiil
Pada sistem ini kepala negara sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan atau eksekutif. Badan eksekutif ini tidak tergantung dan tidak bertanggung jawab kepada legislatif.

c.   Sistem eksekutif Kepemimpinan Mutlak
Sistem ini dimaksudkan sebagai pemusatan kekuasaan yang berada di satu tangan. Eksistensi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang terpisah-pisah dan masing-masing berdiri sendiri itu, dianggap tidak ada. Dalam sistem ini lembaga eksekutif memegang peranan yang dominan.

d.  Sistem Eksekutif Kollegium
Sistem ini merupakan kombianasi antara sistem demokrasi lagsung dan demokrasi perwakilan  sebagaimana yang terdapat di Swiis. Pada sistem ini terdapart suatu kollegium (forum bersama) dari beberapa orang dengan 1 orang ketua. Kollegium inilah yang menjalanakan fungsi-fungsi eksekutif tertentu.

4.  Lembaga Yudikatif
            Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan Yustisi (kehakiman) merupakan kekuasaan dengan kewajiban mempertahankan undang-undang dan memberikan peradilan kepada rakyat. Lembaga Yudikatif berkuasa untuk memeriksa dan memutus perkara serta menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran undang-undang yang berlaku.
            Kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas), dalam artian kekuasaan lainnya (legislatif dan eksekutif) tidak boleh mencampuri segala urusan peradilan yang merupakan perwujudan kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh konstitusi.
            Studi mengenai kekuasaan yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis-yuridis yang termasuk ke dalam bidang ilmu hukum. Dalam hal Kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung) memainkan peranan politik, maka pembahasannya juga merupakan kajian ilmu politik di samping kajian dari Ilmu Negara.











DAFTAR BACAAN


Azhary, Ilmu Negara, Pembahasan Buku Kranenburg, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

G.S., Diponolo, Ilmu Negara, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1985.

Kranenburg, Ilmu Negara Umum, terjemahan Mr. Tk.S. Sabaruddin, JB Wolters, Jakarta, 1969.
Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tata Negara, PT. Pustaka Rakyat, Jakarta 1971.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1984.

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta 2000.
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Wirjono Prodjodikoro,  Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco, Jakarta, 1981.
.