BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada KHI 1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini - sering - dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala kekurangan.
B. Rumusan Masalah
1. Ada berapa syarat-syarat khitbah ?
2. Apa yang di maksud dari hukum pinangan ?
3. Bagaimana hukum melihat wanita yang di pinang ?
4. Apa akibat dari hukum pinangan ?
C. Tujuan Penelitihan
1. Agar kita mengetahui secara detail tentang makna dari khitbah
2. Untuk mengetahui bagaimana cara berkhitbah yang benar
3. Agar kita mengetahui apa saja yang menjadi syarat dan hukumnya khitbah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
B. Hukum Peminangan (Khitbah)
Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
C. Syarat-Syarat Khitbah
Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat Wanita Yang Dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari jabir:
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَخْتَبِئُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Batas yang boleh dilihat
Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.
Ulama’ lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi yang membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Hal tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh Nabi untuk kepentingan peminangan.
Adapun untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.
E. Menikahi Wanita Tunangan rang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.
F. Pembatalan Tali Pertunangan
Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar.
Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a. Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
G. Akibat Hukum Pinangan
Pada prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :
1. pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saaling menghargai.
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian, pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang selama masa antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:
1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
2) Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3) Menikah dengan motivasi yang positif.
4) Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5) Status pendidikan dan penghasilan pasangan.
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta