Akhir-akhir ini, kata mutilasi diidentikkan dengan tindakan Ryan yang menggemparkan media
Mutilasi di bidang pendidikan berarti memotong, mengurangi, atau merusak apa yang seharusnya ada pada pendidikan kita. Karena ada salah satu komponen pada proses pendidikan yang hilang, kualitas hasil pendidikan akan berkurang pula.
Pelaku mutilasi pada pendidikan sangat beragam, mulai lingkup kecil hingga yang paling luas. Pelakunya bisa pengambil kebijakan atau praktisi pendidikan di lapangan. Mutilasi pada pendidikan bisa ditemukan pada anggaran pendidikan, hak asasi peserta didik, proses penilaian, jam kerja, bahkan lencana/logo pendidikan kita.
Pemerintah siap mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen. Namun, anggaran pendidikan di berbagai daerah masih banyak yang minim. Terlepas dari prioritas pembangunan daerah yang sering dijadikan alasan, selayaknya anggaran pendidikan menjadi prioritas utama, mengingat posisi vitalnya dalam upaya membangun generasi penerus.
Mutilasi juga terjadi pada hak asasi peserta didik. Kekerasan guru terhadap siswanya, misalnya. Guru yang diharapkan mengayomi dan melahirkan rasa aman dalam pembelajaran di sekolah malah berbuat sebaliknya. Kalau itu dibiarkan, bukan tidak mungkin sekolah akan mencetak generasi pendendam. Daya kreativitas peserta didik juga terancam.
Di antara tujuh pilar CTL (contextual teaching and learning), ada yang menyebutkan bahwa penilaian terhadap peserta didik ditekankan pada authentic assessment (penilaian yang sesungguhnya). Penilaian tersebut mengakumulasi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, bukan mementingkan hasil ketimbang proses. Tapi, bagaimanakah dengan ujian nasional kita?
Terlepas dari kontroversi tentang unas atau standardisasi nasional, telah terjadi orientasi berlebihan dari sekolah. Sehingga, hampir seluruh kegiatan belajar-mengajar diorientasikan agar peserta didik bisa menyelesaikan soal-soal unas. Di sini terjadi mutilasi terhadap proses penilaian dan ''peminggiran'' mata pelajaran non-unas.
Mutilasi jam kerja pun kerap terjadi di dunia pendidikan. Guru yang baru beranjak ke kelas setelah bel berbunyi pun bisa dibilang telah melakukan mutilasi jam mengajar.
Yang cukup menggelikan adalah mutilasi pada lencana pendidikan kita. Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, mencetuskan semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan dari belakang memberi dorongan. Makna tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Tapi, hanya kata tut wuri handayani yang muncul pada lencana. Karena para petinggi pendidikan yang di depan tidak mau sung tuladha, memberi contoh? Akankah itu berarti pejabat pendidikan yang di tengah atau para guru tidak perlu mangun karsa, memberi semangat? Atau, hanya siswa yang dituntut selalu handayani, sedangkan yang di atas bebas dari tanggung jawab?
Mudah-mudahan kata tut wuri (di belakang) tidak berimbas pada terbelakangnya pendidikan kita. Mudah-mudahan kata handayani (mengikuti) tidak berarti terus taat mengikuti tanpa adanya ide dan kreativitas anak didik. Mudah-mudahan tut wuri handayani diartikan generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan menuju kemajuan dunia pendidikan.
Kontroversial sistem pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kian memanas akhir-akhir ini. Perdebatan yang tidak akan pernah padam sejak kebijakan itu ditetapkan pada tahun ajaran 2002/2003 silam dan hingga selama UN masih tetap dilaksanakan. Bagi kalangan yang pro dan kontra akan pelaksanaan UN sebagai bentuk dari evaluasi akhir proses pendidikan untuk menentukan kelulusan peserta didik terus memberikan afirmasinya masing-masing.
Ironisnya, semangat yang mereka jadikan argumentasi nyaris tidak lagi menjentuh pada esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang mengarahkan peserta didiknya agar menjadi individu-individu yang merdeka, matang, bertanggungjawab dan peka terhadap permasalahan sosial di sekelilingnya. Begitu pula dengan amanat UU Sisdiknas itu sendiri yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional kembali mempertahankan dan menetapkan untuk menggelar UN pada tahun ajaran 2006/2007 ini. Pelaksanaannya pun dipercepat yang semula dijadwalkan bulan Mei menjadi bulan April 2007. Pemerintah seakan menganggap angin berlalu terhadap kontroversi UN selama ini. Khususnya setelah pelaksanaan UN tahun 2006 lalu yang dinilai banyak kecurangan dan kejanggalan.
Mereka cenderung berpandangan bahwa hak evaluasi terhadap peserta didik sepenuhnya berada di tangan guru dan sekolah masing-masing. Oleh sebab itu mereka menyerukan agar pemerintah membebaskan masing-masing sekolah untuk melaksanakan UN atau tidak. UN dinilai tidak layak dijadikan penentu utama kelulusan siswa. Dalam hal ini, penyimpangan dalam proses pendidikan pada sistem pemberlakukan UN diniai hanya mengevaluasi pada ranah kognitif (pengetahuan) saja. Sedangkan dua ranah pendidikan lainnya (afektif dan psikomotorik) dianggap tidak pernah ada.
Di sisi lain, pelaksanaan UN -tanpa kita sadari- benar-benar telah memutilasi makna akan sebuah pendidikan itu sendiri. UN telah menjadi momok baru dalam dunia pendidikan kita. Baik bagi guru dan staf pendidikan di suatu sekolah terlebih lagi para peserta didik. Kini mereka hanya berfikir bagaimana peserta didiknya dapat menyelesaikan soal-soal ujian terutama dalam yang diujikan dalam UN. Hampir seluruh kegiatan belajar-mengajar di sekolah hanyak diorientasikan pada hal itu.
Lulus!, itulah kata kuncinya. Pendidikan kita menjadi dangkal karena sebatas bagaimana peserta didik kita dapat menyelesaikan soal-soal UN dan trik-trik untuk dapat menjawabnya secara benar dan cepat. Tak heran ketika perhatian sekolah, guru dan lebih-lebih peserta didik hanya disibukkan dan terarah kepada UN. Dampak dari sistem UN yang telah mengalahkan semangat pendidikan. Disini sekolah tidak lebih dari sebuah penyedia jasa (bimbingan tes).
Seakan sekolah tidak lagi mendorong peserta didik bisa lulus atau siap menghadapi tantangan ujian lainnya selain UN. Pembelajaran yang akhirnya berorientasi pada UN membuat frustasi sekolah dan peserta didik yang masih kekurangan sumber dayanya. Padahal esensi dari belajar tidak lain adalah menggali potensi peserta didik secara aktif. Dalam hal ini, menjadikan sekolah ibarat sebuah industri dan peserta didiknya sebagai hasil produksi yang harus melewati kualitas kontrol. Mereka yang tidak memenuhi standar harus dibuang.
Sekolah sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, kini telah berubah total orientasinya. Pembentukan karakter agar peka terhadap dinamika persoalan di masyarakatnya -dengan sendirinya- lepas dari proses kegiatan sebuah pendidikan itu sendiri. Akibatnya, pembelajaran yang hanya ditujuan lulus dari UN seakan membelenggu kreativitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme bagi para peserta didik kita.
Sistem UN memang tidak seratus persen negatif. Mengingat persaingan global yang terus mengejar, menjadikan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional kita. Akan tetapi hakikat proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Kehidupan akan berkembang dengan optimal manakala ada kemerdekaan. Pendidikan akan kehilangan ruhnya ketika tidak ada suasana yang memerdekakan.
Kalau memang UN mengerdilkan pendidikan kita -bahkan ada indikasi pemaksaan-, seharusnya sama-sama kita tolak. Apalagi pada dasarnya, proses evaluasi akhir pendidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang pendidikan kita, UN hanya satu dari sekian faktor untuk menentukan seorang peserta didik lulus atau tidak. Terlepas dari itu, obyektifitas guru pun patut dipertanyakan kembali ketika sepenuhnya dijadikan patokan dalam menentukan kelulusan seorang peserta didik. Mafia permainan nilai dalam kasus ini pasti tidak akan dapat dihindarkan. Dan bila ini terjadi, kualitas pendidikan kita kembali terperosok seperti pada satu dekake lalu.
Permasalahan dalam dunia pendidikan kita memang masih menumpuk. Belum lagi ketika menyangkut akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu baik dalam hal ekonomi maupun dalam hal lainnya. UN adalah hal yang terkecil dalam permasalah pendidikan kita. Sistem pelaksanaan UN sendiri -kita semua pahami- menyisakan banyak problem. Selanjutnya, diharapkan kebijakan pemberlakukan dan penghapusan UN pada masa akan datang seharusnya dikembalikan pada semangat pendidikan yang seutuhnya.
No comments:
Post a Comment