A. Pengertian Hukum waris
1. Menurut islam
Menurut ketentuan Pasal 171 huruf A KHI( Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :
“ Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan ( Tirkah ) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing[1] “.
1) Menurut BW
Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ( BW ) yang menganut sistem individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian[2].
2) Meurut Adat
Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturtnannya.
Ter Haar , 1950 ; 197 menyatakan
“ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi “.
Supomo , 1967 ; 72 menyatakan :
“ Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengopor barang-barang harta benda dan barangbarang
yang tidak berwujud benda ( Immateriele Geoderen ) dari suatu
angkatan manusia ( Generatio ) kepada turunannya[3] “.
B. Politik Hukum waris
Dalam islam ada 5 azaz
a. Azaz Ijbari, artinya pembagian harta warisan sudah di tentukan oleh syari'at.
b. Azaz Bilateral, artinya ahli waris dapat menerima harta waris dari golongan bapak dan ibu. Ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7,11,12 dan 176.
c. Azaz individual, artinya harta waris dapat di bagikan pada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
d. Azaz keadilan, artinya harta waris dibagikan secara seimbang menurut tanggung jawabnya.
e. Azaz pewarisan itu ada kalau ada yang meninggal dunia[4].
I. Sistem Hukum waris dalam Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.
“ Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris ! dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara “.
Demikian demikian faraidh diatur antara lain tentang tata cara pembagian Harta
Warisan , besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, pengadilan
nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan,
Untuk itu Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang artinya :
“ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan “.
Bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan kemudian ditetapkan oleh Allah didalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut :
“ Allah mensyaritkan bagimu ( tentang pembagian pusaka ) untuk anakmu,
yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan “.
Jadi jelaslah bahwa pembagian harta warisan ( pusaka ) menurut syariat Islam
tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt yakni bagian seorang anak lakilaki
sama dengan bagian 2 ( dua ) orang anak perempuan atau 2 ( dua ) berbanding
1 ( satu ).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171huruf A KHI( Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :
“ Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
milik harta peninggalan ( Tirkah ) pewaris, menentukan siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing “.
Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang :
“ Besar bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah ( ½ ) bagian ; bila 2
( dua ) orang atau lebih mereka bersama-samamendapatkan dua pertiga ( 2/3 ) bagian ; dan apabila anak perempuan
bersama-bersama dengan anak laki-laki maka bagiannya adalah 2 ( dua )
berbanding 1 ( satu ) dengan anak perempuan “.
Dan Pasal 183 KHI menyatakan :
“ Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya “.
Dari uraian tertera diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI khususnya mengenai besarnya
bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama yakni 2 ( dua ) berbanding 1( satu ). Berhubung oleh kerena Al-Qur”an dan haidst Nabi hukumnya wajib dan merupakan pegangan / pedoman bagi seluruh umat Islam dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan ( pusaka ) inipun secara optimis pula
haruslah ditaati dan dipatuhi.
Al - Qur ‘ an menyatakan yang artinya :
“ Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitab Allah “. Kemudian adalah sebagai berikut :
“ ( hukum-Hukum tersebut ) itu adalah ketentuan Allah ) Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Niscaya Allah memasukan kedalam syurga yang mengalir didalamnya sunga-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar “. Dari keterangan diatas, jelaslah ditegaskan bahwa tentang warisan supaya
dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan memberikan pahala syurga bagi yang mematuhi dan mengancam dengan azab api neraka terhadap yang menolaknya dan mengikarinya. Dengan perkataan lain Islam telah mengatur dengan pasti tentang hukum waris yang berlaku bagi pemeluknya.
Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta
pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris islam dituangkan
kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI ( Kompilas Hukum Islam ).
Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain mengenai :
Pasal 209 KHI menyatakan :
1.“ Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatar, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2.“ Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang sebelumnya menurut Hukum
Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua angkatnya kecuali pemberian pemberian dan lain-lain, maka sekarang dengan berlakunya KHI terhadap anak
nagk`tnya mempunyai hak dan bagian yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, apabila anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah.
Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
C. Sistem Hukum waris adat
Sistem bembagia waris adat itu mengenal tiga sistem
a. patrinial(Dari garis bapak) Artinya yang mendapatkan harta warisan adalah anak laki-laki, ini berada di Batak.
b. Matrilinial(dari garis ibu) artinya yang mendapatkan harta warisan adalah anak perempuan, ini ada di Minangkabau.
c. Parental(dari garis ibu bapak) artinya anak laki dan perempuan dapat bagian sama[5].
Dalam system hokum waris adat dikeal beberapa prinsip(azaz umum) diantaranya adalah sebagai berikut:
“ Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka .
kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu
jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh “.
“ Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang ak`n diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya “ .
“ Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung ) “.
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat,
dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
Ø Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau
Ø Anak laki-laki tertua atau perempuan
Ø Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
Ø Anggota kerabat tetangga , pemuk` masyarakat adat atau pemuka agama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris “.
Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang maish hidup , anak lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama.
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika ( angka ) , tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan.
v Tatacara pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
1. Dengan cara segendong sepikul
Artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan.
2. Dengan cara Dum Dum kupat
Artinya dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama).Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam . Ini semua setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika , yang didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong guna mewujudkan kerukunan , keselarasan dan kedamaian.
D. Sistem Hukum waris BW.
Azaz umum Hukum waris BW. Adalah Pewarisan hanya bisa berlangsung karena ada kematian[6].
Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
1. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda ,
seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya
2. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang
bertentangan dengan itu
3. Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama
waktu tertentu
4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat
diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lau “.
Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan
langsung dibagi-bagi kan kepada para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut
agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan , walaupun
ada perjanjian yang bertentang dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau
menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat
berlaku atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun
kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu
perpanjangan baru .
Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
I. Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris abintestato.
Yang termasuk dalam golongan ini ialah
1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)
3. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
4. Keluarga sedarah alami dari sipewaris
II. Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair )
Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang
oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.
Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah &semenda status hukum anak-anak tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya.
Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai
hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai hukum kewarisan islam &
hukum waris adat.
Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian abintestato dari legitimaris yang bersangkutan dengan perkatan lain legitine portie
adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.
Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanya
terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh pewaris. Untuk
lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasal 914 KUH Perdata yang pada
pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :
a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak , maka legitine portie anak itu adalah ½ dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine portie masing-masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih , maka bagian amsingmasing anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu.
Jadi yang dimaksud dengan tiga orang anak atau lebih adalah termasuk pula
semua keturunannya , akan tetapi sebagai pengganti.
Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-masing
mempunyai warna & karakteristik tersendiri , memiliki kelebihan & kekurangan
sesuai dengan alam pikiran & jiwa pembentukannya , yang masing-masing hukum
waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan hidup & keyakinan yang
berbeda-beda pula & mengakibatkan terdajinya pluralisme hukum waris di Indonesia.
[1] Saiful Azam, 2002. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia,(oline) http, hokum waris.com diambil pada taggal:07 mei 2010.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] M. Daudi, Hukum Islam, Raja Grafindo persada, Jakarta, 2007. hlm.141-144.
[5] Hilmu hadi kusuma,Hukum waris adat, PT.Citra aditya bakti, 2003. hlm.23.
[6] R. Subekti,KUHPer, PT. PradnyaPara mita, jakarta. 2006.hlm.221.
No comments:
Post a Comment