Kasus
posisi
Perceraian merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan tersebut
sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya
adalah suatu "perceraian". Perlu diketahui bahwa proses perceraian di
Indonesia hanya dapat dilakukan
di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri
(khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan
Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana
pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, angka
perceraian kerap melonjaktinggi di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia.
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Cerai Atau Talak
Talak diambil dari kata itlak, artinya
melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan
ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan pernikahan.
Mengutip
pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa
adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan
kata-kata tertentu. Sedangakan secara istilah al-jaziri mengatakan :
ازالة النّكاح رفع العقد بحيث لا تحلّ له الزّوجة بعد
ذلك.
Sedangakan
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari
definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah lembagai yang digunakan
untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Disamping itu lembaga talak dalam
Islam juga menunjukan bahwa konsep perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah
sakramen seperti yang terdapat dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah
perkawinan tidak bisa diputuskan. Talak dalam Islam merupakan alternatif
terakhir sebagai upaya solutif terhadap persolan rumah tangga sehingga
keberadaannya tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar belakanginya.
Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak yang dilakukan
oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau rukun yang harus dipenuhi
dalam talak sebagaimana dikemukan Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya
suami dan isteri, adanya sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk
menceraikannya.
2.2. Hubungan perceraian dengan
ekonomi
Begitu Anda resmi bercerai, hidup Anda akan dimulai
lagi dari awal. Apakah akan menjadi semakin baik atau semakin buruk, semua
tergantung pada niat dan usaha Anda. Perceraian memang akan berpengaruh pada
kondisi emosional dan keadaan ekonomi keluarga.
Kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat
menjadi sulit terutama jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah
tangga. Ataupun jika Anda bekerja, tetap saja pendapatan
keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari
nafkah. Bantuan keuangan atau tunjangan dari mantan suami mungkin akan sedikit
membantu namun seringkali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan Anda dan anak
terutama untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, Anda harus bisa melakukan
sesuatu untuk menambah penghasilan keluarga. Anda harus bekerja entah bekerja
sendiri sebagai wiraswasta, bekerja membantu saudara, ataupun bekerja kantoran.
Dengan demikian, kehidupan ekonomi setelah bercerai dapat semakin membaik dan
Anda juga bisa semakin mandiri dan tidak tergantung pada bantuan mantan
pasangan atau keluarga besar.
Perceraian akan mempengaruhi emosi pada pasangan
yang bercerai. Kesedihan, kekecewaan, dan merasa gagal seringkali menjadi
emosi dominan pada pasangan yang bercerai. Segeralah sadari bahwa keputusan
bercerai ini adalah keputusan terbaik yang telah terjadi dalam hidup Anda.
Jangan menganggap perceraian hanya kegagalan semata namun awal untuk memulai
hidup baru yang lebih baik. Bagaimanapun, Anda dan mantan pasti sudah berpikir
masak-masak mempertimbangkan alasan untuk bercerai.
Untuk mengatasi kelabilan emosi pada pasangan yang bercerai, Anda dapat sering
menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan anak tercinta untuk mengusir rasa
sepi, Anda juga bisa melakukan banyak aktifitas di luar yang bisa membangun
sisi positif Anda.
Perceraian
menurut Undang - Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1994 (pasal 16), terjadi apabila
antara suami-istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup
rukun dalam suatu rumah tangga. Perceraian terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan (pasal 18). Gugatan
perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya pada pengadilan
dengan alasan–alasan yang dapat diterima oleh pengasilan yang bersangkutan.
Undang Undang Perkawinan, 1974 Bab VIII, pasal 39
ayat 2 berbunyi : “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
antara suami istri untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri”
Menurut Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974,
perceraian adalah keadaan terputusnya suatu ikatan perkawinan. Ada dua macam
perceraian sesuai dengan Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974 pasal 39 – 41,
yaitu :
-
Cerai gugat
Cerai
gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri
yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.
-
Cerai talak
Cerai
talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini sang
suami memberikan talak kepada sang istri.
Inversion
et. Al mendefinisikan sebagai pemutusan dan pengingkaran ikrar pernikahan
serta keseluruhan kewajiban moral, hukum dan jasmani yang tercakup didalamnya.
Perceraian adalah suatu proses yang menimbulkan pergolakan secara emosional
bagi orang-orang dewasa maupun anak-anak (Tomlinson & Keasey, 1985).
Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai
peristiwa berpisahnya pasgan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan
perkawinan karena tercapainya kat sepakat mengenai masalah hidup bersama. Emery
(1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena
tidak bisa menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul
sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah yang datang dari
dalam atau masalah dari luar keluarga.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan karena kehendak kedua belah
pihak, baik itu perceraian berdasarkan secara hukum maupun perceraian dengan
diam-diam. Sehingga mengakibatkan status suami atau istri berakhir. Perceraian
ini diakibatkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan perkawinan yang bahagia,
kekal, dan sejahtera.
Jenis – Jenis Perceraian
Perceraian
berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
-
Cerai hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri
atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal.
Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami
istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan
mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain
yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
-
Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari
pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani
kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan
yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang
dicintai.
Benaim
(dalam Ulfasari, 2006) mengatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi
seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu
seorang laki-laki yang ditinggal mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat
dapat melupakan atau menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah
kembali. Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan
memiliki masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber masalah,
sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.
Menurut
Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap
perceraian, yaitu :
a.
Usia saat menikah
b.
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang
menikah sebelum usia 20 tahun.
c.
Tingkat pendapatan
Angka
perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah
cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke
atas.
d.
Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami; seperti : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya.
e.
Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian
Ada sejumlah
bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung
mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan
lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya adalah
keadaan kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja
melayani keperluan suami. Sementara itu, alasan yang dipandang sah untuk
seorang istri agar dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan suaminya
umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan kejam suami
terhadap dirinya.
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya
kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana
struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul (Turner
& Helms, 1983).
Perkawinan menjadi gagal antara lain karena
ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan masalah yang dihadapi
(kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan
suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang mampu
menjalin hubungan baik dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan
penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan ingin menang sendiri (Gunarsa,
1999).
Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan (Hadiwardoyo, 1990).
Menurut
Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.
Ketidakharmonisan dalam berumah tangga
b.
Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan
yang hendak bercerai. Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai
hal antara lain, ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat
yang sulit disatukan dan lain-lain.
c.
Krisis moral dan akhlak
d.
Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan
akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang
tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya misalnya
mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
e.
Perzinahan
Terjadinya
perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami
maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan
Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat
mengakibatkan berakhirnya percereaian.
f.
Pernikahan tanpa cinta
Alasan
lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah
perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi
adanya cinta.
Bentuk Dan Tahapan Perceraian
Perceraian
menjadi salah satu persoalan yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam
kehidupan seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang
dengan sejumlah proses dan pengambilan keputusan yang penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah
bentuk dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh seseorang, yaitu :
Perceraian
Emosional merupakan awal persoalan dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk
perceraian ini adalah tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur
perkawinan menjadi runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul.
Perilaku-perilaku yang muncul diantanya adalah konflik, terhambatnya
komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan kebencian.
Perceraian
Legal memerlukan lembaga pengaduan untuk memutuskan ikatan perkawinan. Pasangan
biasanya mengalami kelegaan, jika perceraiannya telah diputuskan secara legal
dimana berbagai ekspresi emosional akan muncul pada tahap ini.
Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap dimana
pasangan telah memutuskan untuk membagi kekayaan dan harta mereka
masing-masing. Pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang penengah karena
biasanya Kedua pasangan menunjukkan reaksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan
berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.
Perceraian antar orang tua merupakan tahapan
keempat yang berkenan dengan persoalan pengasuhan anak. Kekhawatiran dan
perhaatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali muncul dalam tahap
ini.
Perceraian
Komunitas menunjukkan bahwa status individu dalam hubungan sosial menjadi
berubah. Banyak individu yang bercerai merasa bahwa mereka terisolasi dan
kesepain.
Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan
kembali otonomi individual. Perubahan dari situasi yang berpasangan menjadi
individu yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali peran-peran dan
penyesuaian mental.
Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu saat
menghadapi perceraian umumnya adalah reaksi – reaksi yang bersifat emosional.
Rekasi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan perceraian
dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada akhirnya setuju untuk
bercerai, hanya ketika melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan keputusan
yang terbaik dari pada mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.
Berdasarkan peraturan dan hukum yang ditetapkan dan berlaku di Indonesia
mengenai perceraian, terdapat beberapa
tahap cerai (Rofiq, 2000):
1) Tahap Permohonan
a. Penggugat mendaftarkan dan mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama atau ke Mahakamah Syar’iyah.
b. Penggugat
dan tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk
menghadiri persidangan.
2) Tahap Persidangan
a. Pada pemeriksaan sidang pertama hakim berusaha mendamaikan kedua belah
pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No.7
Tahun 1989).
b. Apabila
usaha perdamaian pertama belum berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar menempuh proses mediasi terlebih dahulu (Pasal 3 Ayat (1) PERMA
No.2 Tahun 2003).
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan
kesimpulan. dalam tahap jawab-menjawab (sebelum pembuktian) tergugat dapat
mengajukan gugatan rekonversi atau gugatan balik (Pasal 132a HIR,158 R.
Bg).
3) Tahap Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah
a. Gugatan dikabulkan apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui
Penghadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.
b. Gugatan
ditolak, dan penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah tersebut.
c. Gugatan tidak diterima dan penggugat dapat mengajukan permohonan baru.
Dari uraian diatas dapat
diketahui bahwa perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan
berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan
keutuhan rumah tangga pasangan suami isteri tersebut dan ternyata tidak ada jalan
lain kecuali hanya dengan jalan perceraian.
Akibat Perceraian bagi Suami Istri
·
Pasangan yang pernah hidup
bersama lalu kemudian berpisah, tentu akan menjadi canggung saat bertemu
kembali.
·
Kebanyakan pasangan yang bercerai
umumnya diawali oleh perselisihan
atau permusuhan. Bila hubungan rumah tangga terputus akibat permusuhan, hal ini
umumnya akan sangat merenggangkan silaturahmi di kemudian hari.
·
Tak hanya diawali oleh
permusuhan, pasangan yang awalnya ingin berpisah secara baik-baik pun bisa
menjadi saling tidak suka akibat perceraian.
Contohnya, masalah yang cukup sulit untuk diselesaikan saat bercerai adalah
urusan harta atau hak
asuh anak. Dalam hal ini, tak jarang pasangan suami istri yang
awalnya berniat cerai baik-baik, kemudian menjadi saling bermusuhan.
·
Perceraian suami istri terkadang
menimbulkan trauma bagi pasangan itu sendiri. Kegagalan rumah
tangga menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk
kembali menikah dengan orang lain.
·
Masalah perceraian adalah masalah
yang sangat rumit. Hal ini bisa membuat pasangan menjadi stres dan depresi.
Perasaan yang negatif seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan, khususnya
dalam hal pergaulan
maupun pekerjaan.
·
Kehidupan
ekonomi setelah bercerai dapat menjadi sulit terutama
jika saat menikah dulu, Anda hanya sebagai ibu rumah tangga. Ataupun jika Anda
bekerja, tetap saja pendapatan
keluarga menjadi berkurang karena kehilangan satu orang pencari
nafkah
Dampak Perceraian
1.
Traumatik
Setiap
perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan
tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang
bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga
dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu
bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985).
Hurlock
(1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak
kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan
tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial.
Stres
akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun
perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman,
dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki tingkat
kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit
jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan
tidur, dari pada orang dewasa yang sudah menikah.
Hurlock
(1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak
yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus
dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian
mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini
khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak
menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir
antara rumah ayah dan ibu.
2.
Perubahan
Peran dan Status
Efek yang
paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu
dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta
menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall,
1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan
kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum
bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak.
Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya.
Menurut
Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya
kurang merasa puas dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang
menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati.
Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu
diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan
mereka sebagai kegagalan personal.
3.
Sulitnya
Penyesuaian Diri
Kehilangan
pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan
itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang
diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita
yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang
bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan
sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman
lamanya. Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan
mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996)
Beberapa
individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu
bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan
kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh
diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan
permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan
dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu
Menyangkal
bahwa ada perceraian,
Timbul
kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,
Dengan
alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,
Mereka
mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian
terhadap kelurga,
Dan
akhirnya mereka setuju untuk bercerai. Dampak perceraian khususnya sangat
berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh
pasangan yang hendak bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian
menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini,
khususnya jika anak-anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini
sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan kognitifnya.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi.
Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi.
Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.
2.3.
Faktor-faktor
penyebab perceraian
Lalu apa saja faktor penyebab timbul nya
perceraian? dibawah ini ada faktor yang sering kali terjadi:
1.
Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan
rumah tangga bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali
mengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap
pasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
2.
Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan
kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya,
sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda
harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan
hubungan seks.
3.
Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini
memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan
berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
4.
Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna
faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan
yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering
kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
2.4.
Alasan-alasan Perceraian
menurut UU
Mengenai alasan
perceraian, UU perkawinan
hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus
cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun
1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena
alasan-alasan sebagai berikut :
a)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c)
Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f)
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.
Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab
perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar
taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak
ada.
Alasan-alasan perceraian diatas
secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan disamping
itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka
jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi
prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum
hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai
usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun
bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian
tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri
dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa,
apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum
wanita Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU
perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini adalah
wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat
memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan
yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
2.5.
Tata cara untuk mengajukan gugat cerai
Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan ( UU No. 1/1974),yaitu dalam
ayat-ayatnya sebagai berikut.
1. Gugatanperceraian diajukan kepada pengadilan
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan perundangan tersendiri.
Pengaturan tentang Tata cara Perceraian selanjutnya terdapat dalam
1. Bab V dimulai dari Pasal 14 hingga Pasal 36 PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Menurut Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 tersebut, seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
alasanalasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat
dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud perceraian tersebut
3. Pasal 16 PP tersebut mengatur bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk
mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang
terdapat alasan-alasan yang tepat dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami
isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga (Pasal 16). Sesaat setelah dilakukan sidang untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu
dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi utuk
diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17).
Perceraian tak hanya berdampak pada pasangan suami
istri (pasutri), perceraian juga berdampak buruk pada si buah hati. Bukan hanya
hak asuh yang menjadi permasalahan, faktor psikologis anak juga harus
dipertimbangkan. Banyak masalah yang akan dihadapi anak pascaperceraian.
Perceraian dapat menimbulkan dampak serius karena
adanya perubahan kondisi finansial, tempat tinggal, dan hilangnya kontak dengan
orang tua kandung akan berpengaruh pada sumber daya ekonomi dan sosial.
Menurut beberapa ahli bahwa permasalahan yang
paling penting adalah bahwa anak tidak lagi tinggal dengan kedua orang tua
kandungnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan banyak masalah baru dalam
kelanjutannya.
Biasanya anak paling tidak siap dengan perpisahan
orang tua. Malah banyak anak yang depresi gara-gara perceraian. Ujungnya, anak
menjadi terlalu emosional dan akan melakukan hal-hal untuk menarik perhatian.
Biasanya mereka mulai melakukan hal-hal buruk seperti merokok, salah gaul,
hingga kecanduan narkoba. Itu adalah beberapa bentuk pelarian yang negatif.
Dalam kasus perceraian, anak juga akan mengalami dilema antara memilih ibu atau
ayahnya. Bisa saja saat mereka bersama ayah, yang terpikir justru kebersamaan
tersebut akan menyakiti perasaan ibunya. Atau mungkin timbul pertanyaan
bagaimana jika mereka hanya menyayangi salah satu orang tuanya. Selain itu ada beberapa hal yang merupakan dampak perceraian pada anak, yakni:
1.
Tingkat kepercayaan seorang anak kepada orang
tuanya akan bergeser dan berubah. Ibarat
piring yang sudah pecah, maka jiwa seorang anak tak akan utuh seperti semula.
2.
Paradigma si anak terhadap esensi sebuah
kebenaran yang hakiki akan berubah. Dia akan apatis dan apriori terhadap
khotbah dan wejangan, dan menganggapnya sebagai kemunafikan orang dewasa.
3.
Tingkat konsentrasi seorang anak dalam segala
hal termasuk dalam hal belajar, akan kabur dan ngambang.
4.
Rasa hormat seorang anak kepada orang tuanya
yang sudah dianggap panutan baginya akan luntur secara perlahan.
5.
Rasa percaya diri si anak akan hilang,
sedangkan sikap skeptis dan ragu semakin besar.
Sebenarnya masih banyak efek perceraian pada anak seperti
jiwanya kehilangan kendali, sehingga mudah terpengaruh oleh arus zaman yang
negatif seperti pergaulan bebas, budak narkoba, menjadi pengikut aliran sesat,
dsb. Semua pihak berkewajiban mengantisipasi dampak perceraian pada anak dengan
cara merangkul mereka dengan siraman rohani yang menyejukkan.
Talaq
dalam Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Lahirnya
regulasi perkawinan dalam bentuk undang-undang dan KHI (Kompilasi Hukum
Islam) tidak lain adalah untuk mengatur ketertiban, manjamin dan menjaga
hak-hak kedua belah pihak agar tidak dirampas. Oleh karena itu perceraian
bukanlah persolan Indvidual Affair semata akan tetapi sudah pula masuk
dalam wilayah kewenangan Negara sebagai pengaturnya. Dalam perspektif undang-undang
sebagaimana dijelaskan dalam UU No. Tahun 1974 pasal 38 dinyatakan :
Perkawinan
dapat putus karena 3 sebab, yaitu:
a.
kematian
b. perceraian
c.
atas keputusan Pengadilan.
Redaksi
pasal tersebut sama dengan redaksi pasal yang ada di Kompilasi Hukum Islam
pasal 113. Apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, maka perceraian
hanya bisa dilakukan di muka pengadilan. Sebagaimana bunyi pasal UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawianan pasal 39 dinyatakan :
1.
Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.
Untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alas an bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami isteri.
3.
Tata cara perceraian di depan
pengadilam diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Kemudian
pada pasal 115 KHI dinyatakan :
Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Dari dua
redaksi pasal tersebut diatas dapat diketahui adanya perbedaan antara UU No.1
Tahun 1974 dengan KHI. Dalam KHI dinyatakan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian. Kedua istilah tersebut tidak terdapat dalam UU Perkawinan.
Dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, ketentuan mengenai
perceraian juga diatur dalam pasal 66 ayat (1) :
Seseorang
suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan siding guna penyaksian ikrar talak.
Selanjutnya
menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan didalam PP
No. 9 Tahun 1975 pasal 17 sebagai berikut :
Sesaat
setelah dilakukan siding pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud
dalam pasal 16. Ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di
tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Pada
pasal 18 dinyatakan :
Perceraian
itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan siding Pengadilan.
Dalam hal ini KHI nampaknya sama dalam memandang saat awal perhitungan
terjadinya talak seperti terdapat pada pasal 123 :
Perceraian
itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan.
Macam-Macam
Talak
Ditinjau
dari segi wakttu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tigamacam
sebagai berikut:
a.
Talak sunni, yaitu talak yang
dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.Perceraian dikatakan talak sunni bila
memenuhi empat syarat:
1. Istri
yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
2. Istri
dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak.
3. Talak itu
dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
4. Suami
tidak pernah dikumpuli istri selama dalam masa suci dalam manatalak itu
dijatuhkan.
b.
Talak Bid’I, yaitu talak yang
dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengantuntunan sunnah. Yang termasuk
talak Bid’I:
1. Talak
yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haidh.
2. Talak
yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah dikumpuli oleh
suami.
c.
Talak Sunni Wal Bid’I, yaitu
talak yang tidak termasuk kategori talak Sunni maupun talak Bid’I.
1. Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
2. Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haidh/telah lepashaidh.
3. Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.Ditinjau dari segi tegas dan
tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a.
Talak Sahih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas sehingga
ucapantersebut tidak dapat diartikan lain. Contoh: “aku talak engkau” atau
“akuceraikan engkau”.
b. Talak
Inayah, yaitu ucapan talak yang tidak jelas atau melalui sindiran.Contoh:
“pulanglah kamu”.Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami
merujuk kembali bekas istri maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Talak
Raj’I, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernahdikumpuli
bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertamakali
dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Firman
Allah dalam surat Al-Thalak ayat 1:
Hai Nabi,
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak
mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
b) Talak
Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap
bekas istrinya, unttuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan
dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan
syaratnya. Talak ba’in ada dua macam:
1.
Talak Ba’in Sughra, yaitu talak
yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akadnikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam masa iddah.
2.
Talak Ba’in Qubra, yaitu talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak initidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahi kembali kecuali bekas istrinyatelah menikah dengan orang lain.Ditinjau
dari cara suami menyampaikan talak terhadap istrinnya, talak ada beberapa
macam:
a.
Talak dengan ucapan.
b. Talak
dengan tulisan.
c.
Talak dengan isyarat.
d. Talak
dengan putusan.
Ditinjau
dari masa berlakunya talak dapat berlaku seketika, artinya tidak bergantung
pada waktu atau keadaan tertentu.Hukum Talak Berdasarkan bentuk-bentuk
peristiwa talak yang tersebut diatas, maka talak dapat dibedakan ketetapan
hukumnya yang dinamakan hukum talak:
a.
Talak wajib, yaitu wajib hukumnya
melakukan talak kalau konflik antara suami istri terus menerus terjadi dan
tidak dapat dipertemukan lagi baik oleh keluarga maupun oleh Pengadilan Agama.
b.
Talak haram, yaitu haram hukumnya
bagi seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri tanpa sebab yang sah.
c.
Talak mubah, yaitu menceraikan
istri tidak dianjurkan, tidak diwajibkan, atau tidak diharamkan asalkan sesuai
dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi para pihak
setelah terjadi perceraian itu.
d.
Talak sunnah, yaitu sunnah
hukumya menceraikan istri kalau ia tidak mau merubah kebiasaan buruknya semasa
belum kawin atau tidak mau menjaga harga diri sebagai seorang istri.
e.
Talak haram ringan, yaitu seorang
suami yang menjatuhkan talak kepada istri dalam keadaan menstruasi yang
sebelumnya tidak pernah digauli.
Kewajiban
Setelah Perceraian
Setelah
proses perceeraian selesai, tidak otomatis maka hak dan kewajibanantara
masing-massing mantan suami istri tersebut menjadi hilang. Ada beberapa hak dan
kewajiban yang masih harus dilakukan oleh keduanya walaupun telah bercerai.Hal
ini berdasarkan ketentuan yang tertulis dalam Al-quran dan sunnah yang mana
Al-Quran dan sunnah lebih banyak menyebut keadaan istri (bagaimana para aktifis
gender?).Diantara hak dan kewajiban bagi mantan suami setelah bercerai adalah
memberikan nafkah sandang dan pangan bagi mantan istrinya selama dalam iddah.
Jadi bagi istri yang belum dicampuri tidak punya hak untuk memperoleh nafkah
tersebut karena ia juga tidak punya masa iddah. Hal ini hanya berlaku bagi
istri yang telah dicampuridan hanya menyesuaikan dengan keadaan istri tersebut.
Bila istri sedang hamil maka memberi nafkah sampai ia melahirkan (sesuai dengan
masa iddahnya), jika istri tersebut sedang suci maka selama tiga kali suci
–tiga kali masa menstruasi- (sesuai dengan masa iddahnya).
Implikasi
dan Dampak Bagi Individu Dan Sosial Positif Dan Negatif
Perkawinan adalah keadaan yang menyenangkan dimana
dua insanmembangun mahligai rumah tangga demi melanjutkan keturunannya.
Kehidupanyang baru bagi orang yang baru melakukan perkawinan tentunya akan
menemui berbagai masalah yang harus dihadapi dan diatasi bersama. Sifat atau
karakter masing-masing (suami atau istri) harus dapat disesuaikan demi
kelancaran perjalanan rumah tangga. Benturan dari berbagai masalah yang tak
kunjung habis tentunya tidak semua dapat diatasi bersama, bahkan tak jarang
suami ataupun istri memaksakan kehendaknya (egois) sehingga timbullah masalah-masalah
baru yang berujung pada penyelesaian akhir yaitu cerai.Islam pada dasarnya
membenci adanya "cerai" karena itu berarti manusia tidak dapat
berdamai dan hidup rukun. Akan tetapi dalam kehidupan manusia selalusaja
menemukan masalah-masalah yang terkadang manusianya tidak dapat atau tidak
mampu memyelesaikan masalah tersebut. Islam memaknai cerai sebagai jalan
terbaik bagi kedua pasangan suami istri ketika memang tidak ada jalan lain,
jika terdapat jalan yang lebih atau dipandang lebih layak dari cerai maka
hendaklah cerai itudicegah. Hal ini dikemukakan karena mengingat banyaknya
kekhawatiran yangdirasakan oleh si pelaku cerai dan keadan masyarakat
disekitarnya.Kasus perceraian yang sering kita dengar dari TV (dalam hal ini
artis-artis), mendengar berita itu saja kita sudah beranggapan "yang
tidak-tidak", mengingat status janda atau pun duda sangatlah rawan akan
pembicaraan orang-orang. Beban psikologis juga dirasakan pada anak-anak mereka
(apabila si pelaku cerai mempunyai anak) karena tidak menutup kemungkinan ia
akan kehilangan kasih sayang, diejek teman-temannya dan itu akan lebih mungkin
akan menjerumuskan diri si anak pada hal-hal yang menyesatkan.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Perceraian
hukumnya halal, tapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu jangan
menjadikan perceraian sebuah jalan keluar untuk sebuah masalah dalam keluarga.
Karena bukan hanya suami dan istri yangmenderita kerugian. Tetapi juga anak
hasil pernikahan tersebut.
No comments:
Post a Comment