Wednesday, June 1, 2016

Pengertian Nikah Sirih


A.    Kasus posisi
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.[1] Dewasa ini fenomena nikah siri / perkawinan siri merupakan bukan yang hal baru dan asing dibicarakan bagi masyarakat kita saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering kita dengar di kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, ibu rumah tangga, praktisi hukum, aktifis dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan pendapat dan pandangan yang setuju maupun yang menolak keberadaan nikah siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan pernikahan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek pernikahan siri kian populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek pernikahan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi pernikahan yang mahal, keinginan melakukan pernikahan siri yang dilakukan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya namun tidak di catat KUA.
Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek pernikahan siri diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun disisi lain juga dampak negatifnya adalah merugikan banyak pihak terutama hak dan kewajiban wanita dan anak-anak. 
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah Siri
Kata “siri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah.[2] Dalam pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[3] Kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi-sembunyi dan dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi / dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada. Pernikahan siri juga digolongkan menjadi dua : Pernikahan yang dilakukan tanpa wali (belum meninggal dunia) dan pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya tetapi tidak dicatat KUA setempat. Perlu pertegas lagi nikah siri.

B.     Perbedaan Antara Pernikahan Siri dengan Pernikahan pada Umumnya
Perbedaan yang paling nampak antara pernikahan siri dengan pernikahan pada umumnya yaitu menyangkut pencatatan perkawinan kepada pencatat sipil. Hal lain selain tentang pencatatan perkawinan yaitu menyangkut keabsahan perkawinan tersebut. Apabila dalam pernikahan siri keabsahannya hanya menyoal menyangkut agama saja (sah dimata agama) dan tidak sah dalam hukum positif Sedangkan perkawinan umum sah baik agama maupun hukum positif Indonesia. Tentang walimah juga menjadi pembeda dimana pernikahan umum adanya walimah untuk memberi tahukan berita bahagia kepada masyarakat. Sedangkan dalam perkawinan siri walimah bersifat rahasia karena pada esensinya dari perkawinan siri itu sendiri adalah kerahasiaan atas perkawinan yang dimaksud.

C.    Dampak Adanya Nikah Siri
Pernikahan siri memang memiliki berbagai dampak yang berpengaruh pada masyarakat kita dimana. Dampak negatif dari pernikahan siri antara lain :
1.      Tidak kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum
2.      Poligami akan meningkat
3.      Perselingkuhan merupakan hal yang wajar dan pelecehan seksual terhadap kaum hawa akan meningkat
4.      Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin
5.      Tanggung jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta lahir
6.      Dalam hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.
Dampak positif dari pernikahan siri sebagai berikut :
1.      Mememinimalisi sex bebas, penyakit HIV / AIDS, maupun penyakit kelamin lainnya
2.      Mengurangi beban dan tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarga
Atas hal yang telah disebutkan diatas, pernikahan siri lebih mendatangkan dampak negatif dan pada dampak positif.

D.    Nikah Siri dalam Prespektif Hukum Islam
Pernikahan dalam hukum islam biasanya dikenal dengan istilah “Fiqh Pernikahan”. Kedudukan dan keabsahan nikah siri dalam prespektif hukum islam, tidak lepas dari pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam. Syarat merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah / tidaknya sesuatu hal yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah sebagai berikut :
1.      Syarat umum, terikat larangan perkawinan :
  • Tidak diperkenankan / larangan perkawinan berbeda agama (Q.S. Al Baqarah (2) : 21 )
  • Larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara susunan (Q.S. an-Nisa (4) : 22, 23, 24)
2.      Syarat khusus meliputi
  • Ada calon mempelai dimana adanya mempelai laki-laki dan wanita dan keridhaan dari masing-masing calon mempelai
  • Adanya wali pernikahan
Salah satu rukun pernikahan yang menjadi titik perdebatan tentang nikah siri adalah masalah perwalian pentingnya posisi wali tidak bisa ditawar-tawar lagi hadits Nabi menyebut “Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw  besabda.  ” Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (HR. Empat Imam Hadits, kecuali An-Nasai).“ Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali (HR. Ahmad dan Imam Empat) dan pada hadits yang berbunyi “Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil)” (HR. Ahmad). Namun ada pula beberapa ulama yang cenderung membedakan mempelai perempuan tanpa menggunakan wali.
“ Janganlah kamu (hai para wali) mengahalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf “ (Al-Baqarah : 232).
Ulama-ulama seperti Abu Hanifah, Zutar, dan Az-Zuhri cenderung berpendapat bahwa apabila seorang perempuan menikah tanpa wali maka nikahnya selama pasangan yang dikawininya sekufu (setara) dengannya. “Al Quran menyatakan bahwa” Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqarah : 234).
Dewasa ini sejumlah kasus lain, nikah siri dilakukan melalu wali hakim. Wali hakim diperbolehkan asalkan wali nasabnya tidak ada / tidak memenuhi syarat. Dalam nikah siri yang dicatatkan tentu wali hakim biasanya para ulama, kyai atau tokoh masyarakat.
  • Saksi pernikahan
Mengkaji persoalan hukum nikah siri di samping perlu menilik syarat adanya wali juga perlu menilik syarat adanya dua orang saksi karena kedua syarat tersebut adalah bagian dari rukun yang menentukan sah / tidaknya. Disini kita perlu menegaskan kembali bahwa nikah siri, disamping harus ada wali juga diharuskan ada dua orang saksi laki-laki yang adil. Jadi boleh tidaknya nikah siri perlu mengukur rukun yang satu ini. Untuk menilik hukum nikah siri ini sebenarnya disamping memperhatikan rukun pernikahan seperti wali dan saksi dan pengumuman (berita) pernikahan kepada khalayak umum.
  • Ada mahar atau sadaq sebagai bentuk kewajiban yang harus dibayar calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Q.S An-Nissa (4) : 4, 25
  • Ada ijab kabul sebagai suatu bentuk penegasan kehendak untuk mengingatkan diri satu sama lain
Dalam beberapa definisi nikah siri yang telah dijelaskan pada bagian pertama, kesemuanya tidak menunjukkan suatu indikasi melanggar syarat suatu perkawinan dan memenuhi rukunnya. Pada definisi pertama dikatakan bahwa nikah siri merupakan pernikahan tanpa wali nisab. Pada prinsipnya sepenjang pernikahan tersebut tetap dihadiri wali lainnya dan tidak menyalahi ketentuan atau memenuhi syarat sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka pernikahan tersebut adalah sah menurut islam. Hanya saja pernikahan siri yang mengandung unsur kerahasiaan tersebut bertentangan dengan perintah Nabi Saw., yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia.
Sedangkan terkait kedudukan nikah siri dalam perspektif hukum islam, pernikahan dalam islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.

E.     Nikah Siri dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia
Secara umum, dalam perspektif hukum islam, nikah siri cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Sebaliknya dalam hukum positif nasional, nikah siri telah ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang pernikahan, baik dalam UU perkawinan maupun dalam KHI, tidak ada satu katapun yang menyebut nikah siri. Yang dibahas adalah pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa nikah siri tidak dianggap dalam hukum pernikahan nasional.
a.       Undang-undang Perkawinan
Menurut UU Perkawinan, pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dicatatkan. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan-peraturan yang berlaku” UU Perkawinan pasal 2 ayat 1 menegaskan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku artinya pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah.”

b.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Bab tentang perkawinan diatur dalam buku satu tentang orang bab empat, mulai pasal 26 hingga 102. Secara umum, peraturan tentang perkawinan dalam kuhper memiliki kesamaan pandangan dengan UU Perkawinan.
Setiap orang yang akan menikah diwajibkan untuk memberitahukan kehendaknya kepada pencatat sipil, sebagaimana diatur dalam pasal 50. “Semua orang yang hendak kawin harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai pencatat sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.” [4] Kegiatan pencatatan pernikahan adalah sebagai bukti bahwa pernikahan tersebut sah secara hukum nasional dan akan mendapatkan akta nikah. Akta nikah berfungsi memperkarakan permasalahan rumah tangga pasangan suami istri di pengadilan agama.
Nikah siri yang dicatatkan tentu tidak bisa diperkarakan persoalan rumah tangga pasangan pengantin secara hukum di pengadilan agama.

c.       Kompilasi Hukum Islam
Status Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum peradilan agama. KHI dapat dipergunakan sebagai pegangan / pedoman dalam membahas pernikahan dalam sudut pandang hukum positif nasional.
KHI menyebut bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban pernikahan yaitu dalam pasal 5 ayat 1 “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat”.[5] Pada prinsipnya KHI mengharamkan pernikahan siri. Meskipun istilah nikah siri disebut sama sekali dalam KHI berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya maka dengan jelas sekali menunjuk ketidakbolehan nikah siri.


No comments:

Post a Comment