Tuesday, April 13, 2010

Definisi dari Hadlanah

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan malapetaka bagi si anak. Di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.

Peristiwa perceraian seperti ini tidak jarang membawa pada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran agama Islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Seperti dalam hadits di bawah ini:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أبغض الحلال إلى الله الطلاق (رواه أبو داود والحاكم ووصححه)

"Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah 'Azza wa jallah ialah talak (perceraian)" (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya).

  1. Rumusan Masalah
    1. Apa definisi dari Hadlanah?
    2. Bagaimana Hukum Hadlanah?
    3. Apakah seorang ibu berhak menerima upah Hadlanah?
    4. Apakah Hadlanah berhak mendapatkan waris?

  1. Tujuan Penelitian

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca mengetahui atau memahami tentang definisi dan syarat-syarat Hadlanah dan bagaimana hukumnya.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Definisi dan Kedudukan Hukum Hadlanah

Hadlanah berasal dari kata "hidlan" yang mempunyai arti lambung.[1]

Hadlanah adalah perkara mengasuh anak dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu masih membutuhkan wanita pengasuh.[2] Mengasuh seorang anak yang masih kecil itu hukumnya wajib sebab yang mengabaikannya berarti menghadapkan kepada bahaya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa hadlanah adalah hak ibu. Sebagaimana hadits Nabi Saw.:

عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه أن امرأة قالت: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ابنى هذا كان بطنى له وعاء وحجرى له حواء وثديى له سقاء وزعم أبوه أنه ينزعه منى فقال: أنت أحق به ما لم تنكحى (أحرجه أحمد وأبو داود والبيهقى والحاكم وصححه).

"Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa seorang perempuan bertanya "ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang menjadi minumnya dan pengkuanku yang memeluknya sedang bapaknya telah menceraikan aku dan ia mengambilnya dariku" lalu Rasulullah Saw., bersabda kepadanya "Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu selama engkau belum menikah" (Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi, Hakim dan dia menshahihkannya).

Anak kecil yang sudah mumayyiz dan mengerti dengan dirinya sendiri, ia boleh memilih siapakah yang akan mengasuhnya. Apakah ibunya atau bapaknya. Dan apabila keduanya tidak mampu maka yang lebih utama mengasuhnya adalah bibinya. Seperti hadits di bawah ini:

عن البراء ابن عازب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى فى ابنة حمزة لخالتها وقال: الخالة بمنزلة الأم (رواه البخارى)

"Dari al-Barra' bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw., telah memutuskan dalam perkara anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik permpuan bibinya), dan beliau bersabda "Bibi itu yang mengambil tempat ibunya" (HR. Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah.[3].

  1. Syarat-syarat Hadlanah

1. Berakal sehat

2. Dewasa

3. mampu mendidik

4. amanah dan berbudi

5. Islam sebagaimana firman Allah:

ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء: 141)[4]

"Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman" (An-Nisa': 141).

6. Ibunya belum kawin lagi

7. Merdeka

  1. Upah Hadlanah

Seorang ibu tidak berhak atas upah hadlanah selama ia masih menjadi istri dari ayah si anak atau dalam masa iddah karena dalam hal ini ia masih mempunyai hak nafkah. Allah Swt., berfirman:

والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف (البقرة: 233).

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara smpurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut" (Al-Baqarah: 233).[5]

  1. Orang yang Berhak Hadlanah

Drs. H. Ibnu Mas'ud dalam bukunya fiqih menurut mazdhab syafi'I menyebutkan bahwa orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:

1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain

2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas

3. Bapak

4. Ibu dari Bapak

5. Saudara yang perempuan

6. Tante (Bibi)

7. Anak perempuan

8. Anak perempuan dari saudara laki-laki

9. Saudara perempuan dari Bapak

  1. Hak Waris Hadlanah

Hadlanah juga berhak mendapatkan waris sebagaimana firman Allah:

ولكل جعلنا موالي مما ترك الوالدين والأقربون والذين عقدت إيمانهم فأتوهم نصيبهم إن الله على كل شيئ شهيدا (النساء: 33).

"Tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu, bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagian yang sesungguhnya, Allah menyaksikan segala sesuatu" (QS. An-Nisa': 33).[6]

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari uraian di atas akhirnya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan seperti di bawah ini:

1. Hadlonah adalah perkara mengasuh anak dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak membutuhkan wanita pengasuh.

2. Para ulama sepakat bahwa hukum hadlanah adalah hak ibu. Apabila ibu dan ayah tidak mampu, maka yang berhak hadlanah adalah kerabat ibu maupun ayah.

3. Seorang ibu tidak berhak atas upah hadlanah selama ia masih menjadi istri dari ayah atau masih dalam masa iddah.

4. Hadlanah berhak mendapatkan waris. Apabila yang diasuh anak kandung atau masih kerabat. Dan tidak wajib mendapatkan waris jika yang diasuh adalah budak atau hewan peliharaan.

  1. Hikmah Mempelajari Hadlanah

1. Dengan mempelajari hadlanah kita bisa mengerti apa yang dimaksud hadlanah itu sendiri.

2. Kita bisa mengetahui hukum hadlanah

3. Setelah kita mempelajari kita tahu siapa orang yang berhak hadlanah

4. Kita mendapatkan pengetahuan baru yaitu tentang hadlanah dan semoga bermanfaat.

  1. Saran-saran

Semoga apa yang sudah kita pelajari dari bab ini bisa bermanfaat dan lebih bisa memahami lagi tentang hak-hak mengasuh anak.

DAFTAR PUSTAKA

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Mazdhab. Jakarta: Lentera Bosnitama

Abidin, Drs. Slamet, Drs. H. Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: CV. Pustaka Setia

Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara

Depag RI. 2005. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung: PT. Syammil Cipta Media

Depag RI. Al-Aliyy. Diponegoro. Bandung.

No comments:

Post a Comment