Menyibak kembali lembaran-lembaran kehidupan manusia-manusia suci - khususnya Imam Al-Husain as. - akan memberikan kepada kita, sebagai makhluk Tuhan yang paling fenomenal di jagad raya ini, sebuah arti jati diri dan nilai kemanusiaan. Di saat umat manusia kebingungan dalam memahami hakikat (esensi) dirinya - kebingungan itu tampak jelas dalam interpretasi-interpretasi yang dituangkan dalam filsafat-materialis dan dalam sikap manusia ketika berhadapan dengan alam sekitar - orang-orang suci datang untuk menjelaskan problema yang super sulit, yaitu apa hakikat manusia ?
Para nabi dan imam as. berusaha menjelaskan tentang manusia. Lebih dari itu, mereka pun menampilkan diri mereka sebagai manusia dalam arti yang sebenarnya. Setiap ucapan dan perbuatan mereka merupakan sisi atau wajah yang indah dari hakikat manusia. Mereka akan selalu tampil indah dan menawan karena mereka adalah manusia yang sebenarnya. Oleh karena manusia adalah manifestasi Tuhan yang paling jelas, maka ia adalah khalifah-Nya, pembawa pesan-Nya dan ia menjadi sebab diciptakannya alam raya. Dalam pandangan Islam, kemanusiaan adalah pengenalan manusia akan dirinya sebagai ciptaan Allah dan upayanya untuk memerdekakan diri dengan-Nya. Atau, dengan kata lain, manusia yang hakiki adalah manusia yang beriman dengan sumber wujudnya dan berusaha untuk sampai kepada-Nya.
Tidak heran dan sangat beralasan kalau manusia-manusia suci itu teladan yang terbaik, dan segala gerak-gerik mereka patut ditiru dan diikuti. Tanpa mengikuti dan meniru mereka kita tidak akan dapat memahami manusia dan bahkan tidak akan mungkin menjadi manusia yang sebenarnya. Mereka adalah cermin kemanusiaan yang bersih untuk kita bercermin kepada mereka sehingga kita dapat mengetahui bagian mana dari wajah-wajah kita yang jelek dan kotor. Mereka adalah standar yang paten agar kita dapat mengukur setinggi apa kemanusiaan yang kita miliki. Rasulullah Saww. pernah bersabda bahwa Ali adalah barometer untuk mengukur keimanan seseorang. Beliau juga bersabda, "Wahai Ali, tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali orang munafik" dan beliau bersabda, "Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran akan selalu bersama Ali. Keduanya beriringan ke manapun berputar". Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, "Sesungguhnya kebenaran dan kebatilan tidak diukur (diketahui) dengan kedudukan orang. Tetapi kenalilah kebenaran niscaya kamu mengetahui orangnya dan kenalilah kebatilan niscaya kamu mengetahui orangnya". Beliau mengucapkan perkataan ini sebagai jawaban atas pertanyaan protes atau keberatan sebagian pengikutnya ketika harus berhadapan dengan sejumlah tokoh sahabat Nabi dan seorang isteri Nabi. Memang mereka bingung dan ragu namun menetapi keimanan kepada kebenaran menuntut untuk menaati kepada Ali sebagai manusia suci.
Selain Ali bin Abi Thalib as, manusia-manusia suci lainnya juga telah menghiasi sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun mereka telah tiada, namun ruh dan semangat mereka masih tetap hidup dan memberikan energi sepanjang masa. Ada ungkapan yang mengatakan, "Sesungguhnya kematian Al-Husain masih bergelora di hati orang-orang yang beriman."
Peristiwa Karbala atau Asyura adalah episode monumental yang menjadi bagian dari sejarah umat manusia yang tidak boleh terlupakan. Pada peristiwa itu dipentaskan wajah-wajah kemanusiaan yang indah nan menawan, bersamaan dengan penampilan sisi-sisi kebinatangan yang rakus dan buas, yang berkedok manusia. Al-Husain as. beserta keluarga Nabi saww. dan para sahabatnya mewakili golongan manusia yang sebenarnya berhadapan dengan Umar bin Sa'ad dan kroni-kroninya yang mewakili binatang-binatang yang berkedok manusia.
Al-Husain as., sebagaimana manusia suci lainnya, adalah penentu dan pemisah dengan lisan dan sikapnya, antara manusia yang hakiki dengan binatang yang manusia. Keimanan seseorang diukur dengan sejauh mana kesetiaannya terhadap Al-Husain as. Pada persitiwa Asyura, terdapat tiga tipe manusia:
Pertama, manusia-manusia yang comitted dan konsekwen dengan kebenaran yang mereka yakini. Mereka siap menanggung resiko apapun demi kebenaran meskipun dengan mengorbankan harta dan nyawa. Mereka itu adalah orang-orang yang bergabung bersama Al-Husain as. sampai tetes darah terakhir. Tipe manusia ini seperti yang Allah swt. sebutkan, "Dari kalangan orang-orang yang beriman terdapat orang-orang yang menepati janji mereka kepada Allah, di antara mereka ada yang mendapatkan ajalnya..."(QS Al-Ahzab, 33: 23).
Kedua, manusia-manusia yang menolak kebenaran dan mempertahankan kebatilan karena kecintaan mereka kepada dunia, fanatisme, kebencian, dan lainnya. Mereka itu adalah Yazid bin Mu'awiyah, Ubaidillah bin Ziyad, dan pasukan Umar bin Sa'ad.
Ketiga, manusia-manusia yang mengikuti kebenaran dan menolak kebatilan. Namun keterikatan mereka dengan kebenaran sejauh tidak membawa resiko yang mengancam harta dan nyawa. Mereka ingin mencari jalan yang aman bagi dirinya, mereka meninggalkan kesetiaan kalau menanggung resiko. Tentang tipe ini, Allah berfirman, "Dan dari manusia ada yang menyembah Allah di atas tepi, jika dia mendapatkan kesenangan, maka dia akan tenang dan jika tertimpa fitnah (cobaan) dia akan berpaling..." (QS Al-Hajj, 22 : 11). Pada zaman Al-Husain as. tipe ketiga ini tidak sedikit. Mereka lebih memilih ibadah daripada bergabung dengan Al-Husain untuk berjuang melawan Yazid.
No comments:
Post a Comment