Friday, January 8, 2010

Tentang Nifas

NIFAS
1.Definisi Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari farji orang perempuan setelah ia usai melahirkan sekalipun yang dilahirkannya belum berbentuk manusia dan rahim telah menjadi kosong. Dengan demikian darah yang keluar diantara lahirnya dua anak kembar bukanlah nifas, melainkan bisa saja haidl jika memenuhi ketentuan-ketentuan hukum haidl dan jika tidak maka darah tersebut adalah darah rusak/istihadhah.
Adapu masanya menurut hasil pengamatan Imam Syafi’I, sedikit-dikitnya satu majjah-satu tetes-, pada umumnya 40 hari dan selama-lamanya 60 hari.
2.Ketentuan-ketentuan Hukum Nifas
Darah yang keluar setelah melahirkan bisa dihukumi nifas jika sudah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.Jarak antara keluarnya darah dan usai melahirkan tidak melampauhi 15 hari. Jadi apabila darah keluar pada jarak 20 hari dari usai melahirkan misalnya, maka darah tersebut bukan darah nifas, tetapi mungkin darah haidl apabila memenuhi ketentuan-ketentuan hukum haidl dan jika tidak memenuhi, maka berarti darah istihadlah/rusak.
2.Adanya darah tidak melampaui masa 60 hari terhitung dari usia melahirkan. Sebab jika melewati masa 60 hari dengan tanpa adanya masa suci yang memisah walaupun sebentar, maka yang demikian tadi termasuk masalah istihadlah dalam nifas. Misalnya:
3.Naqa’ dalam Masa 60 hari
Naqa’ – tidak keluar darah – di dalam masa 60 hari kejadiannya ada beberapa kemungkinan yang kesemuanya berakibat pada hukum yang berbeda-beda, yaitu:
1.Naqa’ berada diantara usai melahirkan dan datangnya darah. Apabila datangnya darah pada jarak kurang dari 15 hari sejak usai melahirkan, maka darah tadi dinamakan nifas dan masa naqa’ tersebut hukumnya suci, namun termasuk dalam hitungan masa nifas. Misalnya:
2.Naqa’ berada diantara dua darah. Dalam hal ini apabila masa naqa’ tidak mencapai 15 hari, maka kedua darah sebelum dan sesudah naqa’ hukumnya satu yaitu nifas, demikian pula masa naqa’ itu sendiri hukumnya juga nifas. Misalnya:

Namun jika masa naqa’ antara dua darah mencapai 15 hari atau bahkan lebih, maka darah yang sesudah naqa’ adalah haidl jika memenuhi ketentuan-ketentuan hukum haidl, dan jika tidak maka sebagai darah rusak/istihadlah. Misalnya:

Perhatian:
1.Apabila nifas mencapai batas paling lama 60 hari lalu suci kemudian darah keluar lagi, maka darah yang kedua ini adalah haidl jika memenuhi ketentuan-ketentuan hukum haidl dan jika tidak, maka adalah darah rusak/istihadlah. Sebab masa suci yang memisah antara nifas paling lama dan haidl itu tidak harus mencapai 15 hari, tetapi asal ada masa suci yang memisah walaupun sebentar. Misalnya:

2.Dalam nifas ada istilah ‘adadan dan hukman. Yang dimaksud nifas ‘adadan ialah masa naqa’ yang tidak mencapai 15 hari yang terjadi antara usai melahirkan dan datangnya darah. Di dalam hal ini masa naqa’ dihitung sebagai masa nifas, namun tidak berlaku hukum nifas, akan tetapi hukumnya suci. Sedang yang dimaksud nifas hukman adalah masa keluarnya darah atau masa naqa’ diantara dua darah yang tidak mencapai 15 hari. Jadi nifas ‘adadan bukan nifas hukman karena hukumnya suci, sedang nifas hukman pasti ‘adadan dan hukumnya nifas. Misalnya:




4.Mandi Nifas
Mandi karena nifas tidaklah berbeda dengan mandi karena haidl, sebab keduanya sama-sama termasuk hadats besar. Adapun ungkapan niatnya:
نويت الغسل لرفع الحدث الأكبر/ لرفع حدث النفاس لله تعالى
Ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu mandi karena melahirkan. Mandi karena melahirkan dank arena nifas adalah sama-sama wajib hukumnya, hanya saja penyebabnya yang berbeda, yaitu yang satu melahirkan dan yang lainnya nifas. Semestinya kedua mandi ini pelaksanaannya juga berbeda, akan tetapi pada kenyataannya tidaklah harus demikian. Sebab dalam hal ini masih harus melihat waktu kapan datangnya nifas. Apabila darah nifas keluarnya persis usai melahirkan atau ada jarak atau masa naqa’ yang memisah namun terjadi di luar waktu shalat, maka mandi karena melahirkan dilaksanakan pada saat nifas telah usai, sehingga dalam hal ini satu kali mandi diniati dua sekaligus, yaitu karena melahirkan dan nifas. Adapun ungkapan niatnya:
نويت الغسل لرفع حدث الولادة والنفاس لله تعالى
Sebaliknya apabila jarak (naqa’) yang memisah antara melahirkan dan datangnya nifas berada di dalam waktunya shalat, maka mandi karena melahirkan wajib dilaksanakan ketika itu pula, sebab yang bersangkutan (yang melahirkan) saat itu berkewajiban melaksanakan shalat.
Ungkapan niatnya:
نويت الغسل لرفع حدث الولادة لله تعالى
Sedang mandi nifasnya dilakukan pada saat sesudah usainya nifas.

I.Perkara-perkara yang diharamkan karena haidl atau nifas, yaitu:
1.Shalat baik fardlu ataupun sunnah
2.Sujud syukur
3.Sujud tilawah
4.Thawaf (berputar mengelilingi ka’bah)
5.Puasa baik wajib maupun sunnah
6.Berdiam di dalam masjid baik dengan niat I’tikaf atau tidak
7.Membaca Al-Qur’an
8.Menyentuh atau membawa mushaf
9.Bersuci baik mandi atau wudlu
10.Berhubungan badan antara suami istri
11.Dicerai atau ditalak suami
12.Bersenang-senang dengan suaminya pada bagian badan antara pusar dan lutut
II.Perkara-perkara yang diperbolehkan sesudah usainya haidl atau nifas ketika belum mandi, yaitu:
1.Puasa
2.Dicerai suami
3.Bersuci
4.Shalat bagi orang yang tidak mendapatkan air atau debu

BAB IV
PENUTUP

Melengkapi dan sekaligus menutup pembahasan pada bab-bab terdahulu, disini ada tiga topic penting yang perlu di mengerti dan di harapkan keterangan pada bab penutup ini meuaskan adanya. Adapun tiga topic yang di maksud di atas yaitu :
I.Perkara-perkara yang diharamkan karena haidl atau nifas, yaitu :
1.Sholat baik fardlu ataupun sunnah.
2.Sujud syukur.
3.Sujud tilawah.
4.Thawaf (berputar mengelilingi ka’bah)
5.Puasa baik wajib atau sunnah.
6.Berdiam dalam masjid baik dengan niat I’tikaf atau tidak.
7.Membaca Al-qur’an.
8.Menyentuh atau membawa mushaf.
9.Bersuci baik mandi atau wudlu.
10.Berhubungan badan antara suami istri.
11.Dicerai atau di talak suami.
12.Bersenang-senang dengan suami pada bagian badan antara pusar dan lutut.
II.Perkara-perkara yang diperbolehkan sesudah usainya haidl atau nifas ketika mandi, yaitu :
1.Puasa.
2.Dicerai suami.
3.Bersuci.
4.Sholat bagi orang yang tidak mendapatkan air atau debu.
III.Ragam masalah
Pada topic yang ketiga ini akan dijelaskan tentang hukumnya beberapa kejadian yang banyak dialami oleh kaum wanita, utamanya yang berhubungan dengan kondisi hadats. Agar penjelasan ini mudah dimengerti dan difahami, maka dikemas dalam bentuk soal dan jawab.
1.S : Terjadi pendarahan dalam keadaan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum haidl karena akibat minum obat, sementara dokter mengtakan bahwa darah tersebut adalah darah haidl. Lalu apa hukum yang sebenarnya pada darah tersebut?
J : hukum dara tersebut adalah darah rusak (istihadlah), karena kedaanya tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan haidl sebagaimana penjelasan dalam soal.
2.S : Apa hukumnya mengajukan atau menunda keluarnya darah haidl dari tanggal kebiasaannya dengan cara minum obat? Kemudian apa hukum dara atau naqa’ yang diakibatkan pengajuan ataupun penundaan tersebut?
J : Hukum pengajuan atau penundaan dengan cara tersebut adala boleh. Akan tetapi apabila dengan minum obat tadi berakibat timbulnya bahasa atau tidak bisa hamil, maka hukumnya haram. Sedangkan jika hanya erakibat tertundanya kehamilan, maka hukumnya makruh. Adapun hukumnya drah adalah haidl dan hukum naqa’ adalah suci, jika sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.
3.S : Cairan yang keluar dari farji akibat keputihan itu suci ataukah najis? Dan bagaimana tentang sholat dan puasanya bagi wanita yang terkena keputihan?
J : Cairan tersebut hukumnya najis dan termasuk perkara yang membatalkan wudlu, sebab cairan itu berasal dari dalam farji bagian dalam. Adapun tentang sholat dan puasanya tetap wajib hukumnya, sebab cairan itu bukan termasuk perkara yang mencegah sholat dan keadaan cairan terus menerus keluar, maka :
1.Bersucinya harus dilakukan sesudah masuk waktu sholat.
2.Sebelum sesuci terlebih dahulu membasuh farjinya lalu membalutnya.
3.Segeralah malaksanakan sholat setelah bersucinya sempurna.
4.S : Disebut darah apakah darah yang keluar setelah gugurnya kandungan yang premature?
J : Disebut dara nifas dan berarti berlaku pula hukum-hukum dalam nifas.
5.S : Apakah anggota badan yang terpisah atau dngan sengaja dipisahkan ketika dalam keadaan hadats besar wajib di basuh ketika mandi besar?
J : tidak wajib dan mandinya tetap sah, hanya saja disunahkan untuk tidak melakukan hal-hal diatas sebelum mandi, sebab nanti di akhirat anggota-anggota badan tadi akan dikembalikan dalam keadaan menanggung hadats.
6.S : Jika pada seseorang terkumpul dua hadats besar, seperti hadats sebab melahirkan dan nifas. Bagaimana mandinya?
J : Caranya cukup satu kali mandi dengan niat menghilangkan dua hadats atau salah satunya.
7.S : Apa hukumnya membaca Al-qur’an bagi orang yang sedang haidl atau nifas dengan alas an khawatur lupa?
J : Hukumnya boleh, asalkan ketika membaca dia tidak niat membaca Al-qur’an, akan tetapi dengan niat dzikir, berdo’a, mangharap datangnya barokah atau yang lainnya.
8.S : Apa hukumnya menyentuh atau membawa kitab tafsir bagi orang yang dalam keadaan hadats?
J : Dalam hal membawah kalu yang dibawa itu antara Al-qur’an dan tafsir lebih banyak tafsirnya atau ragu-ragu dalam perbandngannya, maka hukumnya boleh dan jika tidak demikian maka hukumnya haram. Adapun dalam menyentuhnya, kalau bagian yang di sentuh itu lebih banyak tafsirnya daripada Al-qur’annya atau ragragu maka boleh dan jika tidak demikian juga haram.
9.S : Kitab terjemah Al-qur’an itu apakah sama dengan kitab tafsir dalam membawa atau menyentuhnya?
J : Tidak sama, sehingga jika seseorang dalam keadaan hadats membawa atau menyentuhnya, maka hukumnya haram.
10.S : yang dimaksud dengan hadits Nabi SAW :
النساء ناقصان عقل ودين
Yang artinya : “ kaum wanita itu orang-orang yang berkurang akal dan agamanya ?”
J : Maksudnya akal adalah akal dari sisi pembawaan pada umumnya di kalangan wanita dan maksudnya agama adalah amal ibadahnya yang dalam sebagian masa hidupnya karena haidl atau nifas yang sudah menjadi kelaziman bagi kaum perempuan.

No comments:

Post a Comment