Sedikit Membantu Untuk Tugas Dan Pengetahuan Pendidikan Agama Maupun Umum, Semoga Bisa Membantu dan Bermanfaat...!!!
Monday, March 28, 2011
Istiahab Dan Pengaruhnya Terhadap Masalah Furu'iyyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah istishab itu?
2 Apa Pengaruhnya Terhadap Maslh Furuiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
1. Firman Allah:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã ¨bÎ*sù /u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.
4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
- Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
- Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.
Tarjih
Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.
Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.
Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah
Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.
Berikut ini adalah contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:
Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
Demikianlah masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhab secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (al-Hafid). Dar al-Salam. Kairo. Cetakan pertama. 1416 H.
Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
Ushul Fiqh. Prof. DR. H. Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.
HAKIKAT DAN FUNGSI SOSIOLOGI GAMA
Oleh : Usman, Mima, Syafi’
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena kehidupan beragama yang terjadi dalam masyarakat sering kali memunculkan berbagai pertanyaan, diantaranya, mengapa manusia mememluk suatu agama? Mengapa agama begitu lestari dan selalu dubutuhkan manusia? Bagaimana bisa menjadi acuan moral bagi segala tindakan manusia? Mengapa manusia mengadakan uapacara ritual bersama? Mengapa agama mampu menjadi factor integrasi masyarakat? Dan apa sebabnya agama mampu melahirkan solidaritas yang kuat diantara sesama penganut agama?
Beberapa pertanyaan tersebut diatas melahirkan berbagai usaha manusia untuk mengeahui jawabannya. Jawabannya pun bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang yang mereka gunakan. Bagi seorang sosiolog, pertanyaan tadi akan dijawabnya berdasarkan hasil penelitian lapangan tentang masyarakat beragama. Yang tidak hanya didasarkan pada logika rasional, tetapi juga pada logika empiris.
Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas sesuai dengan mata kuliah yang sedang dipelajari, diperlukan pemahaman mengenai hakikat dan fungsi daripada sosiologi agama yang akan didiskusikan lebih lanjut dalam pembahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah hakikat dan fungsi sosiologi agama?
C. Tujuan
Dengan memahami hakikat dan fungsi sosiologi agama mahasiswa mampu memahami fenomena kehidupan beragama yang terjadi dalam masyarakat dan membantu memecahkan problem yang terjadi diantara umat beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Dan Fungsi Sosiologi Agama
Sebagai suatu fakta sosial agama dipelajari oleh seseorang dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut sosiologi agama. Sosiologi agama adalah suatu cabang ilmu yang otonom, muncul setelah akhir abad ke-19. Pada dasarnya, ilmu ini sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah objek materinya. Seorangn ahli psikologi agam diindonesia, Hendropuspito mengatakan “Sosiolgi agama adalah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologi, guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat pada umumnya.
Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada system agamanya sendiri dan berbagai hubungan antara agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama seperti magic, Ilmu pengetahuan, teknologi. Ketika mengkaji suatu agama, para peneliti biasanya terhalang oleh keberpihakan mereka kepada keyakinan agama yang mereka yakini. Oleh karena itu, para sosiolog agama akan berusaha menetralkan emosi mereka ketika mengkaji agama yang berbeda dengan agama mereka sendiri.
Pada ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individual. Pengkajiaannya bukan diarahkan kepada bagaimana cara seorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama secara kolektif terutama dipusatkan kepada fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat. Perhatiannya juga ditujukan pada agama sebagai salah satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang.
Para ahli sosiologi agama sepakat bahwa intensitas pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat semakin lama semakin berkurang sejalan dengan menaiknya perkembangan kebudayaan masyarakat tersebut. Tetapi, berkurangnya pengaruh tersebut buka pada dataran keberagaman individual melainkan pada dataran kehidupan beragama ser komunal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat dari sosiologi agama adalah suatu kajian yang mempelajari masyarakat beragama dengan pendekatan ilmu sosial yang mamusatkan perhatiannya untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada system agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antara agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agamanya.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini tentu banyak kekurangan disana sini, hal itu tidak lain dikarenakan keterbatasan pemakalah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari bapak dosen pengampuh dan teman-teman sangat diharapkan pemakalah untuk menghindari kesalahan dalam memahami suatu keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.