NIKAH MUT’AH
A. Definisi Nikah Muth’ah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih[1], karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan)[2].
Muth’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Muth’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Muth’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
B. Hukum Nikah Muth’ah pada Masa Rasulullah
Nikah Muth’ah pertama kali diperbolehkan, bukan pada masa atau situasi dimana orang-orang islam sedang tenang di rumah atau tidak ada peperangan, melainkan pada saat itu mereka dalam peperangan yang jauh dari negrinya dan perjalanan panjang yang melelahkan. Sedangkan mereka adalah orang-orang yang syahwatnya keras dan kuat, sedikit kesabarannya dan ditakutkan terjadinya fitnah dikarenakan mereka adalah orang-orang yang baru diperbolehkan muth’ah-pada masa sebelum masuk islam-dan baru masuk islam. Maka hikmah diperbolehkannya nikah muth’ah pada waktu itu adalah untuk menghindarkan mereka dari keburukan dan dosa sedikit demi sedikit sebagaimana diharamkannya khomer.
Senada dengan Imam Nawawi dalam syarakh-nya pada kitab Shahih Muslim dari al-Qadli ‘Iyad mengatakan bahwa, hadits-hadits tentang muth’ah diriwayatkan oleh segolongan sahabat dan tidak ada dari hadits-hadits itu semua yang terjadi di rumah. Ibnu Umar menyebutkan dalam hadits yang diriwayatkannya bahwa muth’ah adalah keringanan (rukhshoh) pada pernulaan islam bagi orang-orang yang sangat membutuhkan seperti halnya larangan terhadap bangkai dan lainnya[3].
Sedangkan al-Syaikh Kamal al-Din Ibn al-Humam al-Hanafi dalam kitabnya menyebutkan bahwa Rasulullah tidak pernah memperbolehkan muth’ah ketika dalam rumah dan negaranya, melainkan Rasulullah memperbolehkannya pada waktu-waktu mendesak (dhorurot), sampai kemudian Rasulullah mengharamkannya pada haji wada’ dan itu merupakan pengharaman selama-lamanya. Pendapat ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’ dan ulama’-ulama’ Mesir kecuali golongan Syi’ah[4].
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1) Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2) Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3) Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4) Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
C. Dalil yang Memperbolehkan nikah Muth’ah dan Ketentuannya
Dalil yang digunakan golongan Syi’ah Imamiyah adalah ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 24 :
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayat “¾ÏmÎ/ Läê÷ètGôJtGó$# $yJsù “ adalah Muth’ah berdasarkan bacaan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yaitu
فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسم [5]
Sedangkan dalil yang bersumber dari hadits Rasulullah antara lain
روى الإمام مسلم فى صحيحه عن عبد الله رضي الله عنه قال: كنا نغزوا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس لنا نساء، فقلنا ألا نستحصى؟ فنهانا عن ذالك ثم رخص لنا أن ننكح المرأة الثواب إلى أجل.
وروى الإمام مسلم أيضا عن جابر بن عبد الله وسلمة بن الأكوع رضي الله تعالى عنهم قالا: خرج علينا منادى رسول الله فقال: إن لرسول الله قد أذن لكم أن تستمعوا، يعني متعة النساء.
وروى مسلم أيضا عن جابر رضي الله عنه قال: كنا نستمع بالقبضة من التمر والدقيق الأيام على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى نهى عنه عمر.
Hadits diatas menurut Jumhur ulama’ telah dinasakh oleh hadits-hadits yang datang berikutnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan atau rukun-rukun nikah muth’ah menurut Syi’ah Imamiyah adalah:
1. Shighat, yaitu Muth’ah dianggap sah bila menggunakan lafadz
2. Zauj (istri), yang disyaratkan harus muslimah atau kitabiyah, disunnahkan Muslimah yang ‘Afifah dan dimakruhkan wanita pezina.
3. Mahar, harus disebutkan dan dianggap cukup serta adanya kerelaan antara keduanya.
4. Ajal (masa), dan ini menjadi syarat dalam akad dan ditentukan sesuai dengan kesepakatan yang jelas.
Sedangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan Muth’ah sebagaimana yang telah ditentukan oleh Syi’ah adalah;
1.
1. Tidak menyebutkan mahar tapi Al-Ujr (biaya atau sewa) membatalkan akad, begitu pula menyebutkan mahar tapi tidak menyebutkan masa (al-Ajal).
2. Anak yang dilahirkan punya hubungan nasab dengan keduanya.
3. Tidak ada ketentuan talak dan li’an dalam Muth’ah.
4. Tidak bisa saling mewarisi antara keduanya.
5. Anak bisa mewarisi dan diwarasi keduanya.
6. Iddahnya habis dengan habisnya masa yang ditentukan dengan dua kali haid, jika termasuk perempuan yang masih haid. Bila ia tidak haid maka iddahnya empat puluh lima hari.[6]
D. Keharaman Nikah Muth’ah dan Dalilnya
Untuk mengetahui kapan diharamkan nikah Muth’ah dalam islam, para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Diriwayatkan dari Ali bahwa Muth’ah diharamkan pada perang Khaibar. Sedangkan Hazim meriwayatkan pada Haji Wada’ dan dalam al-Shahih diharamkan pada Fathu Makkah. Lebih jelasnya diharamkan Muth’ah terjadi dua kali, yaitu dibolehkan sebelum perang khaibar kemudian diharamkan ketika perang khaibar. Dibolehkan kembali pada pertengahan Fathu Makkah selama tiga hari, kemudian diharamkan lagi setelah itu diharamkan selama-lamanya.
Nikah Muth’ah oleh seluruh imam madzhab disepakati haramnya. Kata mereka, “Jika terjadi Nikah Muth’ah itu maka hukumnya tetap batal”. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
Pertama, pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan pernikahan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah talak, nasab, iddah dan warisan. Jadi pernikahan seperti ini bathil sebagaimana bentuk pernikahan-pernikahan lain yang dibatalkan islam.
Kedua, banyak hadits dengan tegas menyebutkan haramnya. Misalnya, hadits dari Saburah al-Jahmi,
عن المغيرة بن شعبة انه خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم انظرت اليها ؟ قال : لا, قال انظر اليها ,فانه احري ان يؤدم بينكما اي اجدران يدوم الوفاق بينكما(رواه النسائي وابن ماجه والترمذي وحسنه)
“Ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang Fathu Makkah, dimana Rasulullah mengizinkan mereka nikah Muth’ah. Katanya, ia (Saburah) tidak meninggalkan nikah Muth’ah ini sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah”.
Dalam suatu lafadz yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan nikah Muth’ah dengan sabdanya
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ايهاالناس اني قد كنت اذنت لكم في الاستمتاع الا وان الله قد حرمها الي يوم القيامة (رواه ابن ماجه)
“Wahai manusia, aku telah pernah mengizinkan kamu nikah Muth’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
عن علي رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم نها عن متعة النساء يوم خيبروعن لحوم الحمر الا هلية.
“Dari Ali, Rasulullah SAW telah melarang nikah Muth’ah pada waktu perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya”.[7]
Ketiga, ketika Umar menjadi khalifah dan berpidato di atas mimbar, maka beliau mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, seandainya mengharamkan nikah Muth’ah itu salah.
Keempat, al-Khaththabi berkata, “ Haramnya nikah Muth’ah itu sudah ijma’ kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi’ah”. Menurut kaidah mereka (golongan Syi’ah) dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali, padahal ada riwayat yang sah dari Ali kalau kebolehan nikah Muth’ah sudah dihapuskan. Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang nikah Muth’ah. Jawabnya, “Sama dengan ZINA”.
Kelima, nikah Muth’ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan tujuan utama pernikahan. Oleh karena itu, ia disamakan dengan zina dilihat dari segi tujuan yang hanya untuk bersenang-senang itu.
Ketentuan Anak yang dilahirkan Dalam Muth’ah
Ketentuan anak yang dilahirkan sewaktu Muth’ah belum dilarang, ulama’ banyak yang berpendapat bahwa;
1. Anak yang dilahirkan punya intisab dengan laki-laki yang Muth’ah (al—Mustamti’).
2. Muatamti’ wajib memberi nafkah kepada anak yang dilahirkan.
3. Wajib Istibra’ rahi perempuan (‘Iddah) dengan dua kali masa haid.
Sementara Muth’ah yang dilakukan setelah terjadinya larangan atau diharamkan maka terjadi perbedaan di kalangan ulama’. Apakah orang yang melakukan Muth’ah harus dicambuk dan anak yang dilahirkan nasabnya bertemu dengan laki-laki yang Muth’ah. Ada yang mengatakan bahwa pelaku Muth’ah dicambuk dan yang lain mengatakan diberi Ta’zir dan dihukum. Sedang anak yang dilahirkan sebagian ulama’ ada yang mengatakan nasabnya tetap bersambung dengan ayahnya dan ketentuan-ketentuan lainnya[8]. Dan yang lain mengatakan putus dengan ayahnya karena nikahnya tidak sah dan dihukumi seperti anak zina yang nasabnya hanya terbatas pada ibunya saja.
BAB III
TABEL
AMALIAH | IMAM SYAFI’I | IMAM HAMBAL | IMAM HANAFI | IMAM MALIK | SYI’AH |
Hukum Mut’ah | Haram | Haram | Haram | Haram | Boleh |
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Muth’ah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adnya talak.
2. Muth’ah hukumnya haram. Sedangkan dalil yang tentang kebolehan Muth’ah dinasakh dengan dalil yang datang berikutnya.
3. Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya dharurat dan hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.
4. Ketentuan anak dan perempuan pada masa diperbolehkan Muth’ah seperti perkawinan yang sah.
B. Hikmah
1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya.
2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.
[1] Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Askolani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) J. 14, hlm.288
[2] Muhammad Bin Mukarrom Al-Mishri, Lisanul ‘Arab (Bairut : Dar Shadir, cet I, TT) J. 2, hlm.625
[3] Imam Nawawi, Syarakh Shohih Muslim, Juz IX (Bairut : Dar Al-Fikr tt), 180
[4] Ibn Al-Humam, Syarakh Fath Al-Qodir, Juz III (Bairut : Dar Al-Fikr tt,), 246-247.
[5] Bacaan ibn Mas’ud dan Ibn abbas tergolong bacaan yang langkah seperti yang di sampaikan oleh syekh al mufassirin Ibn Jarir Al-Tabarir dalam kitab Jami’ al-Bayan dan al-Alusy dalam Tafsirnya Ruh al-Ma’ani, bacaan itu tidak dapat di buat pegangan dam tidak terbilang karena menyalahi bacaan-bacaan yang mutawattir.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Dar Al-fikr, 1983), 37
[7] Nikah mut’ah itu sebenarnya baru di haramkan pada fathu Makkah, sebagamana di riwayatkan dalam shohih Muslim bahwa para sahabat pada waktu fathu Makkah masih di izinkan oleh nabi nikah Mut’ah. Jika benar pada waktu perang khaibar itu di haramkan berarti terjadi nasakh dua kali .
[8] Pendapat ini bagi mereka yang mengatakan bahwa muth’ah itu termasuk hukum yang disyari’atkan dan boleh mengerjakannya.