Saturday, February 19, 2011

NIKAH MUT’AH

NIKAH MUT’AH

A. Definisi Nikah Muth’ah

Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih[1], karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan)[2].

Muth’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Muth’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Muth’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.

B. Hukum Nikah Muth’ah pada Masa Rasulullah

Nikah Muth’ah pertama kali diperbolehkan, bukan pada masa atau situasi dimana orang-orang islam sedang tenang di rumah atau tidak ada peperangan, melainkan pada saat itu mereka dalam peperangan yang jauh dari negrinya dan perjalanan panjang yang melelahkan. Sedangkan mereka adalah orang-orang yang syahwatnya keras dan kuat, sedikit kesabarannya dan ditakutkan terjadinya fitnah dikarenakan mereka adalah orang-orang yang baru diperbolehkan muth’ah-pada masa sebelum masuk islam-dan baru masuk islam. Maka hikmah diperbolehkannya nikah muth’ah pada waktu itu adalah untuk menghindarkan mereka dari keburukan dan dosa sedikit demi sedikit sebagaimana diharamkannya khomer.

Senada dengan Imam Nawawi dalam syarakh-nya pada kitab Shahih Muslim dari al-Qadli ‘Iyad mengatakan bahwa, hadits-hadits tentang muth’ah diriwayatkan oleh segolongan sahabat dan tidak ada dari hadits-hadits itu semua yang terjadi di rumah. Ibnu Umar menyebutkan dalam hadits yang diriwayatkannya bahwa muth’ah adalah keringanan (rukhshoh) pada pernulaan islam bagi orang-orang yang sangat membutuhkan seperti halnya larangan terhadap bangkai dan lainnya[3].

Sedangkan al-Syaikh Kamal al-Din Ibn al-Humam al-Hanafi dalam kitabnya menyebutkan bahwa Rasulullah tidak pernah memperbolehkan muth’ah ketika dalam rumah dan negaranya, melainkan Rasulullah memperbolehkannya pada waktu-waktu mendesak (dhorurot), sampai kemudian Rasulullah mengharamkannya pada haji wada’ dan itu merupakan pengharaman selama-lamanya. Pendapat ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’ dan ulama’-ulama’ Mesir kecuali golongan Syi’ah[4].

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1) Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)

2) Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)

3) Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)

4) Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

C. Dalil yang Memperbolehkan nikah Muth’ah dan Ketentuannya

Dalil yang digunakan golongan Syi’ah Imamiyah adalah ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 24 :

¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4

Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayat “¾ÏmÎ/ Läê÷ètGôJtGó$# $yJsù “ adalah Muth’ah berdasarkan bacaan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yaitu

فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسم [5]

Sedangkan dalil yang bersumber dari hadits Rasulullah antara lain

روى الإمام مسلم فى صحيحه عن عبد الله رضي الله عنه قال: كنا نغزوا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس لنا نساء، فقلنا ألا نستحصى؟ فنهانا عن ذالك ثم رخص لنا أن ننكح المرأة الثواب إلى أجل.

وروى الإمام مسلم أيضا عن جابر بن عبد الله وسلمة بن الأكوع رضي الله تعالى عنهم قالا: خرج علينا منادى رسول الله فقال: إن لرسول الله قد أذن لكم أن تستمعوا، يعني متعة النساء.

وروى مسلم أيضا عن جابر رضي الله عنه قال: كنا نستمع بالقبضة من التمر والدقيق الأيام على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى نهى عنه عمر.

Hadits diatas menurut Jumhur ulama’ telah dinasakh oleh hadits-hadits yang datang berikutnya. Sedangkan ketentuan-ketentuan atau rukun-rukun nikah muth’ah menurut Syi’ah Imamiyah adalah:

1. Shighat, yaitu Muth’ah dianggap sah bila menggunakan lafadz

2. Zauj (istri), yang disyaratkan harus muslimah atau kitabiyah, disunnahkan Muslimah yang ‘Afifah dan dimakruhkan wanita pezina.

3. Mahar, harus disebutkan dan dianggap cukup serta adanya kerelaan antara keduanya.

4. Ajal (masa), dan ini menjadi syarat dalam akad dan ditentukan sesuai dengan kesepakatan yang jelas.

Sedangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan Muth’ah sebagaimana yang telah ditentukan oleh Syi’ah adalah;

1.

1. Tidak menyebutkan mahar tapi Al-Ujr (biaya atau sewa) membatalkan akad, begitu pula menyebutkan mahar tapi tidak menyebutkan masa (al-Ajal).

2. Anak yang dilahirkan punya hubungan nasab dengan keduanya.

3. Tidak ada ketentuan talak dan li’an dalam Muth’ah.

4. Tidak bisa saling mewarisi antara keduanya.

5. Anak bisa mewarisi dan diwarasi keduanya.

6. Iddahnya habis dengan habisnya masa yang ditentukan dengan dua kali haid, jika termasuk perempuan yang masih haid. Bila ia tidak haid maka iddahnya empat puluh lima hari.[6]

D. Keharaman Nikah Muth’ah dan Dalilnya

Untuk mengetahui kapan diharamkan nikah Muth’ah dalam islam, para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Diriwayatkan dari Ali bahwa Muth’ah diharamkan pada perang Khaibar. Sedangkan Hazim meriwayatkan pada Haji Wada’ dan dalam al-Shahih diharamkan pada Fathu Makkah. Lebih jelasnya diharamkan Muth’ah terjadi dua kali, yaitu dibolehkan sebelum perang khaibar kemudian diharamkan ketika perang khaibar. Dibolehkan kembali pada pertengahan Fathu Makkah selama tiga hari, kemudian diharamkan lagi setelah itu diharamkan selama-lamanya.

Nikah Muth’ah oleh seluruh imam madzhab disepakati haramnya. Kata mereka, “Jika terjadi Nikah Muth’ah itu maka hukumnya tetap batal”. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

Pertama, pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan pernikahan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah talak, nasab, iddah dan warisan. Jadi pernikahan seperti ini bathil sebagaimana bentuk pernikahan-pernikahan lain yang dibatalkan islam.

Kedua, banyak hadits dengan tegas menyebutkan haramnya. Misalnya, hadits dari Saburah al-Jahmi,

عن المغيرة بن شعبة انه خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم انظرت اليها ؟ قال : لا, قال انظر اليها ,فانه احري ان يؤدم بينكما اي اجدران يدوم الوفاق بينكما(رواه النسائي وابن ماجه والترمذي وحسنه)

“Ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang Fathu Makkah, dimana Rasulullah mengizinkan mereka nikah Muth’ah. Katanya, ia (Saburah) tidak meninggalkan nikah Muth’ah ini sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah”.

Dalam suatu lafadz yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan nikah Muth’ah dengan sabdanya

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ايهاالناس اني قد كنت اذنت لكم في الاستمتاع الا وان الله قد حرمها الي يوم القيامة (رواه ابن ماجه)

“Wahai manusia, aku telah pernah mengizinkan kamu nikah Muth’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.

عن علي رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم نها عن متعة النساء يوم خيبروعن لحوم الحمر الا هلية.

“Dari Ali, Rasulullah SAW telah melarang nikah Muth’ah pada waktu perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya”.[7]

Ketiga, ketika Umar menjadi khalifah dan berpidato di atas mimbar, maka beliau mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, seandainya mengharamkan nikah Muth’ah itu salah.

Keempat, al-Khaththabi berkata, “ Haramnya nikah Muth’ah itu sudah ijma’ kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi’ah”. Menurut kaidah mereka (golongan Syi’ah) dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali, padahal ada riwayat yang sah dari Ali kalau kebolehan nikah Muth’ah sudah dihapuskan. Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang nikah Muth’ah. Jawabnya, “Sama dengan ZINA”.

Kelima, nikah Muth’ah hanya bertujuan untuk melampiaskan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan tujuan utama pernikahan. Oleh karena itu, ia disamakan dengan zina dilihat dari segi tujuan yang hanya untuk bersenang-senang itu.

Ketentuan Anak yang dilahirkan Dalam Muth’ah

Ketentuan anak yang dilahirkan sewaktu Muth’ah belum dilarang, ulama’ banyak yang berpendapat bahwa;

1. Anak yang dilahirkan punya intisab dengan laki-laki yang Muth’ah (al—Mustamti’).

2. Muatamti’ wajib memberi nafkah kepada anak yang dilahirkan.

3. Wajib Istibra’ rahi perempuan (‘Iddah) dengan dua kali masa haid.

Sementara Muth’ah yang dilakukan setelah terjadinya larangan atau diharamkan maka terjadi perbedaan di kalangan ulama’. Apakah orang yang melakukan Muth’ah harus dicambuk dan anak yang dilahirkan nasabnya bertemu dengan laki-laki yang Muth’ah. Ada yang mengatakan bahwa pelaku Muth’ah dicambuk dan yang lain mengatakan diberi Ta’zir dan dihukum. Sedang anak yang dilahirkan sebagian ulama’ ada yang mengatakan nasabnya tetap bersambung dengan ayahnya dan ketentuan-ketentuan lainnya[8]. Dan yang lain mengatakan putus dengan ayahnya karena nikahnya tidak sah dan dihukumi seperti anak zina yang nasabnya hanya terbatas pada ibunya saja.

BAB III

TABEL

AMALIAH

IMAM SYAFI’I

IMAM HAMBAL

IMAM HANAFI

IMAM MALIK

SYI’AH

Hukum Mut’ah

Haram

Haram

Haram

Haram

Boleh

BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Muth’ah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adnya talak.

2. Muth’ah hukumnya haram. Sedangkan dalil yang tentang kebolehan Muth’ah dinasakh dengan dalil yang datang berikutnya.

3. Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya dharurat dan hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.

4. Ketentuan anak dan perempuan pada masa diperbolehkan Muth’ah seperti perkawinan yang sah.

B. Hikmah

1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya.

2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain.

3. Flowchart: Card: Uluf, WiwinMuth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.



[1] Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Askolani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) J. 14, hlm.288

[2] Muhammad Bin Mukarrom Al-Mishri, Lisanul ‘Arab (Bairut : Dar Shadir, cet I, TT) J. 2, hlm.625

[3] Imam Nawawi, Syarakh Shohih Muslim, Juz IX (Bairut : Dar Al-Fikr tt), 180

[4] Ibn Al-Humam, Syarakh Fath Al-Qodir, Juz III (Bairut : Dar Al-Fikr tt,), 246-247.

[5] Bacaan ibn Mas’ud dan Ibn abbas tergolong bacaan yang langkah seperti yang di sampaikan oleh syekh al mufassirin Ibn Jarir Al-Tabarir dalam kitab Jami’ al-Bayan dan al-Alusy dalam Tafsirnya Ruh al-Ma’ani, bacaan itu tidak dapat di buat pegangan dam tidak terbilang karena menyalahi bacaan-bacaan yang mutawattir.

[6] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bairut: Dar Al-fikr, 1983), 37

[7] Nikah mut’ah itu sebenarnya baru di haramkan pada fathu Makkah, sebagamana di riwayatkan dalam shohih Muslim bahwa para sahabat pada waktu fathu Makkah masih di izinkan oleh nabi nikah Mut’ah. Jika benar pada waktu perang khaibar itu di haramkan berarti terjadi nasakh dua kali .

[8] Pendapat ini bagi mereka yang mengatakan bahwa muth’ah itu termasuk hukum yang disyari’atkan dan boleh mengerjakannya.

Sunday, February 6, 2011

KAMASUTRA DALAM ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kita ketahui bahwa bahwa banyak sekali orang yang dalam rumah tangganya tidak ada kenyamanan dikarenakan kurangnya perhatian dan kemesraan dalam berhubungan suami istri sehingga menimbulkan perceraian.Hal ini yang perlu diwaspadai,karena talak adalah hal yang paling dibenci oleh Allah.

Selain itu,banyak juga orang yang melakikan hubungan suami istri itu secara langsung tanpa adanya fase-fase yang digunakan sehingga menimbulkan kesehatan pasangan dan sangat berpengaruh pada anaknya yang akan dilahirkan.Rasulullah menyuruh untuk mempergauli istrinya dengan baik bukan seperti kedelai atau hewan yang melakukan musim kawin.

Oleh karena itu,kita sebgai umati islam wajib mengetahui adab dan tata cara berhubungan suami istri mulai dari rukun dan sunnah-sunnahnya agar mendapatkan anak yang shalih dan sholihah semuanya diatur oleh Allah melalui hokum fiqih ini.

B. Rumusan masalah

1) Apa pengertian kamasutra dalam islam?

2) Bagaimana dasar hokum dari hubungan pasutri tersebut?

3) Bagaimana tata cara dan sunnah-sunnahnya dalam melakukan hubungan pasutri tersebut?

C. Tujuan

1) Untuk mengetahui pengertian kamasutra dalam islam.

2) Untuk mengetahui dasar hokum dari berhubungn pasutri atau dikenal dengan kamasutra.

3) Mengetahu tata cara dan sunnah-sunnah dalam berhubungan pasutri.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kamasutra (Muatsaroh) Dan Dasar Hukumnya.

Ada banyak hal yang perlu kita pelajari dan di amalkan dengan seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawadah) dan kasih sayang (rohmah) baik luar maupun batin salah satunya dan yang paling penting adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa feqih disebut jima'

Seks adalah ekspresi terdalam daricinta dari sebuah hubungan total yang yang bersifat fertikal dan emosional.Dengan kenikmatan yang singkat dan indah. Al-Qur'an menyingkap ini antara suami istri.

هن لبس لكم وانتم لبس لهن

Artinya:" mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka(Q.S Al-baqoroh :187)

Hubungan sek antara suami istri lebih dari sekedar sarana pemuas hasrat seksual. Rasulullah SAW menganggapnya sebagai salah satu bentuk sedekah dalam islam. Dalam Persetubuahan yang kalian lakukan adalah sedekah " para sahabat benar-benar terkejut " Bagaimana salah seorang dari kami memuaskan hasrat lalu dianggap bersedekah ?

Rasulullah SAW menjawab " bukankah jika kita melakukannya dalam situasi haram dan bukan dengan istrinya".maka rasulullah berdo'a maka jikalau melakukannya bersih terhitung baginya sedekah.

B. Tujuan Hubungan Suami Istri (Muasyaroh).

Sebagai salah satu tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim. Menurut islam termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dan mengandung nilai pahala yang sangat besar, karena jima' dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang di sediakan oleh Allah untuk melangsungkan hasrat biologisnya dan menyambung keturunan bani adam.

Hubungan intim menurut ibnu qoyyim Al-jarzi dalam At tibbun nabawi (pengobatan ala nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki 3 tujuan: memiliki keturunan keberlangsungan umat manusia dan mengeluarkan cairan yang bila mendekam didalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah.

Ulama' salaf mengajarkan," seseorang hendaknya menjag tiga hal pada dirinya : 1. jangan sampai tidak berjalan kaki,agar jika suatu saat melakukannya tidak akan mengalami kesulitan. 2. jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit. 3. Dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks,karena air sumur bila tidak digunakan akan kering sendiri.

Selain itu hubungan seks juga memiliki dua tujuan yakni reproduksi dan kesenangan seksual. Hubungan seks dalam ekspresifisikal yang paling intim dan matang dari seksualitas manusia.Seluruh ekspresi seksual lainnya hanya merupakan persiapan baginya. Kesenangan seks dalam permainan adalah normal.

C. Manfaat

Hubungan seks adalah berguna menghasilkan keturunan. Ketrurunan adalah anugerah dari Allah SWT. Hubungan seksual juga bermanfaat bagi kesehatan, diketahui bahwa hubungan seks dapat menjaga kesetabilan psikologis dan emosional.

D. Hak Berhubungan Seks

Suami dan istri memiliki hak mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya. Hubungan sek dijamin oleh oteriat, tidak ada pasangan yang boleh menolak tanpa alas an yang valid.

E. Adab Atau Tata Cara Dalam Bersanding.

Ada beberapa adab tatkala suami istri bersanding pada malam pernikahannya. Diantara adab-adabnya adalah:

1. Disunatkan agar suami meletakkan tangannya diatas kening pengantin wanita sambil menyebutb nama Allah dan mendoakan keberkahan baginya dan hendaklah mengucapkan :

اللهم انى اسئلك من خيرها و خير ما جبلتهما عليه واعوذبك من شرها وشرما جبلتهما عليه (روه البخاري و ابو داود)

"Allhumma ya Allah aku mohon kepadamu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang engkau tetapkan padanya (H.R Bukhori dan Abu Dawud)

2. disunnahkan kepada kedua pengantin agar sholat dua rokaat kemudian berdoa kepada Allah SWT dan mengucapkan :

اللهم اجمع بينن ما جمعت بخير وفرق بينن اذا فرقت الى خير

"Allahumma ya Allah berkatilah aku dan keluargaku dan berkatilah mereka kepadaku. Allahumma ya Allah persatukan kami dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami jika memang baik bagi kami". (diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang baik).

3. Disunnahkan bagi suami agar bersikap lemah lembut terhadap istrinya umpamanya dengan menyuguhkan minuman atau makanan.

F. Adab atau Tata cara jima'

Adab-adab yang dianjurkan berkaitan dengan jima' adalah :

1. Tatkala hendak mendatangi istrinya, suami dianjurkan mengatakan seperti yang di nasehatkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih, beliau bersabda :

لو ان احدكم اتى اهله وقال :بسم الله اللهم جنبن الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا فان قضى بينهما ولد لم يضره الشيطان ابدا (روه البخاري)

Artinya : "Jika salah seorang diantara kalian hendak mendatangi (menyetubuhi) istrinya dan berkata "dengan asma Allah, Ya Allah jauhkanlah syaitan dan jauhkanlah syaithan dari apa yan engkau anugrahkan kepada kami maka jika ditetapkan ada anak diantara keduanya, maka setan sama sekali tidak akan menimbulkan madharat kepadanya.(H.R. Bukhori)

2. Dianjurkan wudhu pada saat mengulangi persetubuhan.

3. Wudhu sebelum tidur, sebagaimana hadits Aisyah R.A, beliau berkata "Jika Rasulullah SAW hendak makan atau tidur sedang ia dalam keadaan junub maka beliau membasuh kemaluannya dan wudhu seperti wudhu untuk shalat.(H.R.Assyaikhoni).

4. Boleh tayamum sebagai ganti wudhu.

5. Suami istri boleh mandi bersama.

6. Diantara adab menggauli hendaknya keduanya sama-sama melepaskan pakaian, karena dengan demikian akan leluasa dalam bergaul dan menambah kemesraan dan kasih saying kepada istri, Tetapi yang afdhol adalah bertelanjang dalam satu selimut,sabda Nabi :

ان الله تعا لى حيي ستير يحب الحياء و الستر

Artinya :"Sesungguhnya Allah SWT pemalu dan suka menutupi dan ia mencintai sifat pemalu (ketertutupan)"(H.R.Ahmad turmudzi dan Abu dawud).

7. Diantara adab menggauli adalah bermesraan, merangkul, dan mencium sebelum menggauli istrinya.

8. Boleh bergaul dengan semua gaya.

Allah SWT berfirman :

نساء كم حرث لكم فا توحرثكم انى شءتم

Artinya :"Istri-istri kamu adalah ladang kamu maka datangilah ladang kamu sesukamu."(Al-baqoroh: 223).

G. Larangan Dalam Berhubungan Pasutri (Jima)

1. Menyebarkan rahasia hubungan diantara keduanya,Rasulullah bersabda :"Seburuk-buruk kedudukan manusia disisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang bercampur dengan istrinya dan istrinya bercampur dengannya, kemudian dia menyebarkannya.(H.R.Mulim)

2. Haram menyetubuhi wanita pada duburnya.

3. Haram menyetubuhi wanita haid dan nifas.

Ilmu kedokteran telah menetapkan bahwa persetubuhan pada masa haid bias menuimbulkan dampak negative sebgai berikut :

1 Rasa sakit pada organ kandungan wanita, dan bahkan bisa mengakibatkan radang rahim, indung telur, dinding vagina bahkan bisa merusak organ-organ tersebut serta menyebabkan kemandulan.

2 Unsur-unsur darah haid yang ada di organ kandungan wanita dan kemudian bersentuhnya dengan penis laki-laki, bisa menimbulkan radang infeksi yang menyerupai penyakit gonorrhea, sehingga mengakibatkan kemandulan suami dan bahkan bisa menyebabkan penyakit sipilis, jika kuman penyakit itu ada didarah wanita.

3 Secara umum menyetubuhi wanita yang sedang haid bisa menyebabkan kemandulan pada kedua belah pihak, radang pada organ kandungan sehingga mengganggu kesehatannya.

4. Haram seorang istri puasa sunnat tanpa izin suami dan menolak ajakan suaminya.

H. Tempat-Tempat Yang Dilarang Melakukan Jima'

Persetubuhan harus dilakukan ditempat yang patut, tidak boleh dilakukan disembarang tempat. Persetubuhan dilarang dilakukan ditempat-tempat berikut ini :

a. Di tempat terbuka Rasulullah SAW bersabda "Barang siapa menyetubuhi istrinya di bawah langit (tempat terbuka) atau dijalan yang biasa dilewati orang,maka ia dilaknat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya".

b. Di tempat yang dapat dilihat oleh anak-anak, Rasulullah SAW bersabda : "Jauhilah olehmu bersetubuh ditempat yang dapat dilihat oleh anak-anak yang mereka menceritakan keadaanmu.(Ibid,hal 115)

c. Di bawah pohon yang berbuah lebat, Rasulullah SAW bersabda : "Jangan menyetubuhi istrimu di bawah pohon yang berbuah lebat, jika dari (persetubuhan itu) kalian di anugerahi anak,maka ia akan menjadi tukang pukul, pembunuh, atau dukun (Ath thabrasyi,makarimul akhlak, hal : 210).

d. Di bawah sinar matahari langsung, Rasulullah SAW bersabda : "Janganlah menyetubuhi istrimu dibawah sinar matahari,kecuali ditutup dengan tabir yang menutup keduanya, sesungguhnya jika (dari persetubuhan itu) dikaruniai anak, maka ia senantiasa berada dalam kesulitan dan kemiskinan sampai ajalnya tiba (Ibid).

e. Di atap rumah Rasulullah SAW bersabda : " Janganlah menyetubuhi istrimu di atap rumah, sesungguhnya jika (dari persetubuhan itu) dikaruniai anak, maka ia akan menjadi orang yang munafik, riya' dan ahli bid'ah (Ibid halaman 211).

f. Di atas perahu Rasulullah SAW bersabda : " Janganlah menyetubuhi istrimu di atas perahu (ketika berlayar) dan menghadap atau membelakangi kiblat (Ibid halaman 213).

Rasulullah SAW diriwayatkan pernah bersabda : " jika seseorang bersetubuh dengan istrinya,dan ada seseorang di dalam rumah yang dapat mendengar suara atau desah, napas merayu, maka anak yang akan dikandung tidak menjadi anak yang sholeh sebaliknya ia akan menjadi pezina"

Imam Ja'far shodiq berkata : "jangan bersetubuh dengan istrimu jika ada seorang anak didalam rumah yang dapat melihat atau mendengarmu, jika engkau melakukannya, anak itu akan menjadi seorang pezina, dan begitu pula anak yang akan dikandung (hasil dari persetubuhan itu)".

I. Waktu-Waktu Yang Disunnahkan Dalam Berhubungan Suami Istri

a. Malam pertama bulan ramadhan, Imam Ali bin Abi Tholib berkata : " Disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli istrinya pada malam pertama bulan ramadhan" (Ibid hal :213).

b. Pada akhir malam, Dalam hadits dinyatakan, " jika kalian ingin bersetubuh, lakukanlah di akhir malam, karena hal itu menyehatkan badan".

c. Malam senin.Rasulullah SAW bersabda : " Hendaklah engkau menggauli istrimu pada malam senin, karena jika Allah menakdirkan seorang anak ia akan menjadi penghafal Al-Qur'an dan ridho pada karunia yang diberikan Allah SWT kepada kita.(Ath thabrasyi,makarimul akhlak).

d. Malam selasa Rasulullah SAW bersabda : "Jika engkau menggauli istrimu pada malam selasa,dan (dari persetubuhanitu) kalian dianugerahkan anak, maka ia akan mendapat syahadah (kesaksian)setelah kesaksiannya bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Allah tidak akan menyiksanya bersama orang kafir,mulutnya akan mengeluarkan bau yang harum, lembut hatinya, dermawan, lidahnya terjaga dari dusta,gibah dan fitnah." (Ibid).

e. Malam kamis Rasulullah SAW bersabda : "Jika engkau menggauli istrimu pada malam kamis, dan (dari persetubuhanitu) kalian dianugerahkan anak, maka ia akan menjadi seorang pemimpin dan berilmu." (Ibid).

f. Hari kamis waktu dhuhursetelah matahari bersinar ditengah langit, Rasulullah SAW bersabda : "Jika engkau menggauli istrimu pada hari setelah terselingnya matahari dari tengah langit dan (dari persetubuhanitu) kalian dianugerahkan anak, maka sesungguhnya syetan tidak bisa mendekatinya hingga ia beruban dan ia akan menjadi orang yang cepat mengerti (memiliki pemhaman yang baik), dan Allah akan memberikan keselamatan dalam agamnya dan dunianya." (Ibid)

g. Malam jum'at Rasulullah SAW bersabda : "Jika engkau menggauli istrimu pada malam jum'at, dan (dari persetubuhanitu) kalian dianugerahkan anak, maka ia akan menjadi orang yang fasih (pandai) bicaranya." (Ibid).

h. Hari jum'at setelah ashar Rasulullah SAW bersabda : "Jika engkau menggauli istrimu pada hari jum'at setelah ashar dan (dari persetubuhanitu) kalian dianugerahkan anak, maka ia akan menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan berilmu." (Ibid).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan :

a. Bahwa kamasutra adalah merupakan hubungan suami istri yang dilakukan tuk mendapat kesenangan keduanya dan mendapat keharmonisab keluarga.

b. Dasar hukum dapat kami ambil dari surat Al-Baqoroh ayat : 187, bahwasanya suami istri merupakan pakaian keduanya, dan berhak memilihnya dan mencapai kesenangan keduanya.

c. Ada banyak sekali tata cara dalam berhubungan suami istri mulai dari berwudhu, berciuman, dan lain sebagainya serta tempat dan waktu-waktu yang disunnahkan didalam hubungan suami istri.

B. Saran

1) Agar seseorang senantiasa berpegang teguh pada Al-qur'an dan hadits mengenai hukum kamasutra ini.

2) Bersenang-senanglah dengan istrimu karena ia ladang bagimu dan perlakukanlah ia dengan baik.

3) Gunakan hubungan seksmu ilmu bukan hanya menurut hawa nafsu belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Hathout Hasan,Dr.Panduan seks islami.2007.Zahra:Jakarta

Al-Barik haya binti mubarrok.Ensiklopedi Wanita muslimah.2006.Darul falah:Jakarta

Baasyir abu umar.Panduan berhubungan intim dalam perspektif islam.2008.Sutra ungu//http:www.google.com//