Sunday, October 31, 2010

Sosiologi Pendidikan Tentang Pendekatan Indvidu (The Individu Approach)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sosiologi pendidikan adalah cabang dari ilmu pengetahuan yang membahas prosess interaksi sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosiol culturil yang teradapat dalam lingkungannya atau masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan.

Dalam ilmu biologi individu itu diangap satu sel satu atom, dan kumpulan dari sel-sel itu merupakan strukur, merupakan suatu organisasi, ialah orgasme. Maka dengan membahas tata kehidupan sel satu persatu akhirnya dapat dimengerti tata kehidupan organisme pada umunya.

Individu sebagai titik tolak di tentukan atau di pengaruhi oleh dua macam factor yakni factor intern dan ekstern.

Untuk menciptakan hubungan yang baik dengan individu maupun terhadap masyarakat maka perlu menggunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan maka akan berinterksi dengan individu dan masyarakat berjalan dengan lancar dan mudah, oleh karena pentingnya pendekatan dalam Sosioli pendidikan maka makalah ini mengambil judul "Pendekatan Individu", di dalam makalah ini banyak kekurangan oleh sebab itu kami mengharapkan kritik, saran, maupun tambahan guna kesempurnaan makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah

    1. Apakah pendektan individu itu?
    2. Apa saja factor biologis pada tingkah laku manusia ?
    3. Apa saja factor psikologis pada tingkah laku manusia ?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pendekatan Indvidu (The Individu Approach)

Yaitu pendekatan yang memperhatikan faktor individu secara utuh meliputi watak, intelegensi, psikologi, dan kemampun psikomotorik.

Untuk dapat mengerti tata kehidupan masyarakat (kelompok) perlu dibahas tata kehidupan individu yang menjadi pembentuk mayarakat itu, jikalau kita dapat memahami tingkah aku individu satu persatu bagaiman cara berfikirnya, perasaannya, kemampuannya, perbuatnnya,sikapnya dan sebagainnya atau tegasnya watak individu, bagaimana mefasilitasi individu, begitulah seterusnya. Maka akhirnya dapat dimengerti bagaimana kelompok (masyarakat), maka dapatlah dimengerti tingkah laku masyarakat seluruhnya sampai pada tingkah laku Negara ( misalnya kepribadian Negara)

Individu sebagai titik tolak ditentukan atau di pengaruhi oleh dua macam faktor intern dan extern.

Faktor intern meliputi faktor-faktor biologis dan psikologis, sedangkan faktor extern mencakup faktor-faktor lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Maka didalam approach individu menitik beratkan kepada faktor-faktor biologis dan psikologis yang mendeterminir tingkah laku seseorang. Kedua faktor itulah yang primer sedangkan faktor lingkungan sekitar fisik dan miliu sosial merupaka faktor sekunder.

2.2. Faktorbiologis Pada Tingkah Laku Manusia

Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis terhadap perilaku manusia sepertitampakdalamduahalberikut.

1. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi.

2. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.

Faktor-faktor biologi yang lain, yang tidak dapt disangkal pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia ialah bekerjanya secara normal dari pada hormon-hormon berbagai endrokinon atau kelenjar-kelenjar buntu di dalam tubuh manusia. Misalnya pada anak-anak putri yang hormone-hormon genelitahnya sudah mulai bekerja menimbulkan perubahan-perubahan jasmaniah, misalnya tumbuh dan berkembangnya buah dada (glandula mamae), maka sifat-sifat dan tingkah lakunya akan menjadi sifat-safatorang dewasa. Demikian jga pada anak laki-laki. Kurang atau lebih bekerjanya dari pada hormone-hormon endrokinan pada tubuh manusia akan menyebabkan kelainan-kelainan atau abnormalitas tingkah lakunya, selain dari pada pertumbyhan fisik yang abnormal pula.

2.3. Faktor Psikologi Pada Tingkah Laku Manusia

Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.

1. Komponen Afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.

2. Komponen Kognitif Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.

3. Komponen Konatif Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

Pengaruh psikologi pada biologis semula bersifat semiphilosophis dan abstark, misalnya pada sciense of mind (pengetahuan tentang proses berfikir). Tetapi sebaliknya ketika terbit buku Darwin, Origin of Species pada tahun 1859 biologi berpengaruh besar pada psikologi. Misalnya dengan pesatnya studi tingkah laku hewan, maka terjadilah pengetrapannya pada studi tentang manusia, yaitu tingkah laku manusia dijabarkan dengan tingkah laku hewan. Suatu contoh misalnya pada tingkah laku insekta semut, burung, terdapatlah suatu tingklah laku yang sebagian besar dideterminir oleh instincet sesuatu yang tidak di pelajari, relative bersifat sterotypis, dan response otomatis pada situasi tertentu. Misalnya pada jenis hitam kecil, bila diketuk akan terkejut semut-semut tadi kelihatan duduk. Pada jenis-jenis burung mempunyai kecakapan membuat sarang yang berbeda-beda, dan kecakapan-kecakapan tadi selamanya tidak berubah burung tempua misalnya sarangnya mesti begitu, burung perkutut sarangnya mesti kelompok-kelompok dan tiap-tiap kelompok itu terdiri atas semut-semut atau rayap-rayap yang sama bentuknya. Keadaan yang demikian itulah dideterminir oleh syaraf hereditaer. Mereka itu mempunyai dorongan atau drifes untuk berbuat karena menghadapi sesuatu situasi timbullah perbuatan instinctifnya.



BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Pendekatan individu adalah Yaitu pendekatan yang memperhatikan faktor individu secara utuh meliputi watak, intelegensi, psikologi, dan kemampun psikomotorik.

2. Faktor-faktor biologis pada manusia :

a) Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi.

b) Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.

3. Faktor-faktor psikologi pada manusia :

Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.

a) Komponen Afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.

b) Komponen Kognitif Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.

c) Komponen Konatif Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Drs. H. Abu, Sosiologi Pendidikan, Rineka cipta, Jakarta, 2007

http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/ragam-pendekatan-dalam-sosiologi.html

PERANAN MOTIVASI SEBAGAI PENDEKATAN SOSIOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Psikologi Dakwah merupakan ilmu yang mengkaji tentang gejala-gejala yang berhubungan dengan Interaksi sosial kemasyarakatan antara da’i dan mad’u oleh karena itu dalam diri manusia selalu terdapat beberapa elemen yang layak untuk kita ketahui bersama, guna mempermudah Kita sebagai makhluk sosial dalam bermasyarakat, Oleh karena penting sekali mengkaji tentang unsur-unsur yang ada dalam diri manusia.

Dalam pembahasan kali ini akan dikupas masalah peranan motif sebagai pendekatan sosial masyarakat mengingat posisi motif dalam Interaksi sosial berada di garda depan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dan teori-teori motivasi?

2. Bagaimana klasifikasi Motif?

3. Bagaimana peranan motivasi sebagai pendekatan sosial?


BAB II

PEMBAHASAN

A. MOTIVASI DAN TEORI-TEORINYA

Secara etimologi motif ata motive berasal dari kata motion yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Sedangkan secara terminologi banyak dari beberap ahli psikologi yang mendefinisikannya. Sherif menyebut motif sebagai suatu istilah generik yang meliputi sema faktor internal yang mengarah pada berbagai jenis perilaku yangbertuan pada pengaruh internal. Sedangkan Giddens mendefinisikan motif sebagai dorongan yang memberikan energi pada manusia sepanjang lintasan perilaku ke arah pemuasan kebutuahan. Dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam perspektif psikologi motif merupakan rangsangan atau dorongan yang dapat membangkitkan tenaga manusia atas terjadinya perilaku.

Istilah motif mengacu pada sebab atau mengapa seseorang berperilaku. Dari kata motif ini terbentuk kata motifasi. Menurut Sartain dalam Psychology understanding of human behaviour seperti yang dikutip oleh Ngalim Purwanto menjelaskan bahwa makna Motivasi adalah suatu pernyataan yang komplek di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku ke suatu tujuan atau perangsang.[1]

Para ahli psikologi menempatkan motivasi pada posisi penentu bagi kegiatan hidup individu dalam usahanya mencapai tujuan. Motif adalah impulse atau dorongan yang memberi energi pada tindakan manusia sepanjang lintasan kognitif atau perilaku ke arah pemuasan kebutuhan. Motif bukan hanya merupakan suatu keadaan perasaan. Motif bukan hanya merupakan suatu dorongan fisik, tetapi juga merupakan orientai kognitif, elementer yang diarahkan pada pemuasan kebutuhan.[2] Oleh karena itu motifasi dipandang sangat penting dalam kehidupan manusia. Adapun para psikolog memberikan pengertian dan teori-teori sebagai berikut:

1. Sigmund Freud berpendapat bahwa dasar dari motivasi tingkah laku manusia adalah insting (naluri).

2. Abraham Maslaw berpendapat bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan bersal dari sumber genesis atau naluriah.

3. K. S.Lashlay berpendapat bahwa motivasi dikendalikan oleh respon-respon susunan syaraf sentral ke arah rangsangan dari dalam dan dari luar yang fariasinya sangat kompleks, termasuk perubahan kompoisi kimiawi dan aliran darah.

4. Fillmore H.Sanford berpendapat bahwa motivasi itu motion yang berarti gerakan. Oleh karena itu Ia mengartikan motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan suatu organisme dan mengarahkannya kepada suatu tujuan.

5. Floyd L. Ruch berpendapat bahwa motivasi manusia sangat kompleks dan dapat mempengaruhi manusia dalam tiga cara:

a. Motif memungkinkan pola rangsang dari luar diri manusia mengalahkan rangsangan lain yang menyainginya

b. Motif dapat membuat seseorang terikat dalam satu kegiatan tertentu ehingga ia dapat menemukan objek atau situasi khusus diluar dirinya.

c. Motif dapat menimbulkan kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih berat.[3]

B. KLASIFIKASI MOTIF

Penggolongan motif dalam diri manusia menurut Ahli Psikologi :

1. Sartain, membagi motif menjadi 2 golongan:

a. Physiological Drive : Dorongan yang bersifat fisiologis. Jika kebutuhan dorongan terpenuhi maka seseorang menjadi tenang. Contoh; rasa lapar, haus, lelah dll.

b. Social Motives : Dorongan-dorongan yang ada hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat seperti dorongan estetis, dorongan ingin selalu berbuat baik (etika)[4]

2. Woodworth, membagi motif menjadi 2 golongan:

a. Unlearned Motives : Motif yang timbul disebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan dalam tubuh.

b. Learned Motives: merupakan aspek-aspek yang disadari meliputi motif-motif untuk mendekatkan diri dan menjauhkan diri dari sesuatu.

C. PERANAN MOTIVASI SEBAGAI PENDEKATAN SOSIOLOGI

Motivasi mengandung tiga komponen pokok, yaitu menggerakkan, mengarahkan, dan menopang tingkah laku manusia. Tujuan motivasi secara umum adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.

Tujuan motivasi bagi seorang da’i adalah menggerakkan atau memacu objek dakwah (mad’u) agar timbul kesadaran yang membawa perubahan tingkah laku sehingga tujuan dakwah dapat tercapai. Dalam proses dakwah di harapkan seorang da’i mamppu menggerakkan atau menimbulkan kekuatan dalam diri mad’u dan memimpin mad’u untuk bertindak sesuai denan ajaran-ajaran agama yang disampaikan. Selanjutnya seorang da’i dituntut untuk mengarahkan tingkah laku mad’u dengan menciptakan lingkungan yang dapat menguatkan dorongan-dorongan tersebut. Sehingga motivasi mempunyai peranan penting sebagai pendekatan sosiologi.

Sigmund Freud membagi insting manusia menjadi dua, yaitu: insting untuk hidup dan insting untuk mati, maka dalam Islam dikenal juga potensi positif dan negatif yang dimiliki manusia yang teraktualiasi dalam perilaku manusia sehari-hari. Freud memandang agresi (perilaku merusak atau melukai) sebagai insting dasar. Insting untuk mati (energi naluri kematian) terbentuk dalam diri manusia sampai suatu saat dilepas keluar dalam bentuk nyata atau ke dalam bentuk perilaku merusak diri. Bilamana seseorang tidak dapat berbuat berdasarkan atas dorongan insting yang bersifat merusak, maka hal itu disebabkan oleh norma-norma masyarakat yang tidak mengizinkan. Oleh karena itu dorongan-dorongan naluriah manusia itu harus dikontrol dengan kekuatan-kekuatan lain diluar diri manusia sepertikekuatan sosial ataupun agama dalammasyarakat dimana kekuatannya dapat mengarahkan tingkah laku manusia sebagian anggota masyarakat. Melalui kegiatan dakwah sesorang Da’i dapat menekan naluri destruktif mad’u dengan terus memberikan motifasi-motifasi agar mad’u dapat mengembangkan nalri konstruktif yang Ia miliki.

Berdasarkan teori kebutuhan Abraham Maslaw, manusia memiliki kebutuhan yang menjadi dasar dari motifasi tingkah lakunya. Kebutuhan yang paling mendesakakan mendominasi tingkah laku seseorang untuk mencapainya dan perhatiannya kepada kebutuhan yang lain akan terabaikan. Karena itu dalam proses kegiatan dakwah pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan manusia mutlak diperhatikan, karena tanpa menghampiri motif-motif pokok manusia, pesan-pesan dakwah mustahil dapat mempengaruhi perilaku objek dakwah (Mad’u) sebagaimana yang diharapkan.

Penting bagi seorang da’i mengetahui motif-motif mendesak dari sasaran dakwahnya agar seorang Da’i mampu menyesuaikan materi dakwah, metode dakwah atau strategi dakwah yang tepat agar tujuan dakwah dapat tercapai.


BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Tujuan motivasi bagi seorang da’i adalah menggerakkan atau memacu objek dakwah (mad’u) agar timbul kesadaran yang membawa perubahan tingkah laku sehingga tujuan dakwah dapat tercapai. Dalam proses dakwah di harapkan seorang da’i mamppu menggerakkan atau menimbulkan kekuatan dalam diri mad’u dan memimpin mad’u untuk bertindak sesuai denan ajaran-ajaran agama yang disampaikan. Selanjutnya seorang da’i dituntut untuk mengarahkan tingkah laku mad’u dengan menciptakan lingkungan yang dapat menguatkan dorongan-dorongan tersebut. Sehingga motivasi mempunyai peranan penting sebagai pendekatan sosiologi.

Penting bagi seorang da’i mengetahui motif-motif mendesak dari sasaran dakwahnya agar seorang Da’i mampu menyesuaikan materi dakwah, metode dakwah atau strategi dakwah yang tepat agar tujuan dakwah dapat tercapai.


DAFTAR PUSTAKA

Faizah dan Lalu Mukhsin Effendi.2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana.

Ahmad Mubarok.2002. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Arifin, M.2000. Psikologi Dakwah(Suatu Pengantar Study). Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, hlm. 60.

[2] Faizah dan H. Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah, hlm.107

[3] H. Muhammad Arifin, Psikologi dan beberapa Aspek kehidupan rohaniah manusia, hlm.51

[4] Ibid. hlm. 62

Saturday, October 30, 2010

EPISTEMOLOGI DAN ONTOLOGI DAKWAH

Oleh : Fahri Husaini & Nihayatus Sa’idah

A. Epistemologi dakwah

Kata epistemologi dari bahasa yunani, episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan, informasi). Dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan. Adakalanya disebut “teori pengetahuan”.[1] Dalam kamus ilmiah popular juga diterangkan bahwa epistemologi termasuk cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber serta kebenaran pengetahuan,[2] Dan dakwah dilihat dari segi bahasa yang berarti mengajak, dan secara istilah mengajak manusia kepada jalan yang diridhoi allah.

Dari dua pengertian diatas maka epistimologi dakwah adalah kajian filosofis tentang terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah. Sumber menjelaskan asal usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya.

Model-Model Epistemologi Islam

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni : bayâni, irfâni dan burhâni, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang pengetahuan.[3]

Epistimologi Bayani.

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidaklangsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.[4]

Epistemologi Irfani.

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani,tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas olehTuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1)Taubat, (2)Wa r a `,menjauhkan diri dari segala sesuatu yangsubhât, (3)Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4)Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5)Sabar, menerimasegala bencana dengan laku sopan dan rela. (6)Tawakkal, percayaatas segala apa yang ditentukan-Nya. (7)Ridla, hilangnya rasaketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.[5]

Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui.Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalahk esadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)[6] yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).

Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.

Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi (penyepadanan) makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks.15 ke dua, diungkapkan lewat syathahât[7], suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).16 Karena itu, menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran.

Epistemologi Burhani.

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[8]

Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespondan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta[9]. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna, bau, rasa atau bayangan.[10]

Jadi ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah pemahaman. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li Kulli Zaman wa Makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.[11]

B. Ontologi dakwah

Secara bahasa kata ontologi dibagi menjadi dua yaitu ontos: seatu yang berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”. Secara istilah adalah ontologi adalah ilmu teori tentang wujud hakikat yang ada.

Maka ontologi dalam Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah Islam dari segi hakikat dakwah islam dalam mengkaji problem ontologism dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah selain ilmu-ilmu lainnya.[12]

C. Sumber Ilmu Dakwah

Salah satu aspek epistemilogi dakwah adalah kajian tentang asal usul ilmu dakwah. Tuhan adalah sumber eksistensi manusia oleh karena itu manusia menjadi representasi dunia wujud yang eksistensinya berasal dari tuhan. Artinya, kajian terhadap sumber ilmu dakwah tidak mungkin terlepas dari koherensi[13] relasional antara manusia dan wahyu.

Al-Quran (Q.S,3:31) menyebutkan, “Dan dia mengajarkan kapada adam keseluruhan nama-nama segala sesuatu.” Ketika kemampuan mengeja nama benda itu diujikan kepada para malaikat, mereka menjawab: “Maha Suci engkau, kami tidak mempunyai ilmu selain yang engkau ajarkan, engkau maha mengetahui dan maha bijaksana (Q.S.3:32). Informasi mengenai adam mampu mengeja nama-nama benda membuktikan kemampuan manusia mengenal tuhan, dunia, dirinya dan juga sejarah. Dengan kemampuan tersebut manusia memiliki ilmu sehingga dapat dikatakan ilmu itu bersumber dari wahyu melalui kesadaran kognisi.

Meskipun demikian , suatu hal yang perlu disadari bahwa jangkauan ilmu manusia terbatas dan tidak sempurna. Karena jangkauan ilmu manusia terbatas, maka manusia dianugerahkan kemampuan kesadaran kognisi untuk menyelidiki rumusan hukum regulitas[14] yang melekat dalam karya dan krestifitas tuhan yang berupa alam semesta dan manusia.[15]

Terkait dengan dakwah sebagai suatu disiplin ilmu mengetahuan maka kemampuan kesadaran kognisi manusia yang tereksistensi dari wahyu adalah sumber ilmu dakwah. Dalam konteks keilmuan dakwah sering diartikan sebagai ajakan atau seruan kepada nilai-nilai kebaikan (al-kair) melalui menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar untuk memperoleh keberuntungan.” Ini Berarti bahwa nilai-nilai kebaikan adalah inti seruan dakwah sekaligus juga inti ilmu dakwah.

D. Hakikat Dakwah

Merujuk pada makna yang terkandung dalam al Quran surat al Nahl (16:125), dakwah islam dapat dirumuskan sebagai kewajiban uslim mukallaf untuk mengajak, menyeru dan memanggil orang yang berakal menjalani jalan Tuhan (din al-Islami) dengan cara hikmah, mauidzoh hasanah (super motivasi positif), dan mujadalah yang ahsan (cara yang metodologis) dengan respon positif atau negatif dari orang yang berakal yang diajak, di sepanjang zaman dan disetiap ruang.

Hakikat dakwah Islam tersebut adalah perilaku keislaman muslim yang melibatkan unsur dai, maudhu’ atau pesan, wasilah atau media, uslub atau metode, mad’u dan respon serta dimensi hal-maqom atau situasi dan kondisi.

Hakikat Dakwah Islam ini menunjukkan bahwa terdapat tiga bentuk utama dalam proses menda’wahkan islam, yaitu :

1. Melalui ahsanul qaul

2. Ahsan ‘amal, dan

3. Keterpaduan bentuk ahsan qaul dan ahsan ‘amal (contoh yang baik)

mengacu pada uraian yang telah dikemukakan di atas, maka hakikat da’wah islam ialah proses internalisasi(pendalaman/penghayatan), transmisi (pemindahan), difusi(perpindahan), institusionalisasi dan transformasi dien al islam dalam totalitas kehidupan manusia mukallaf guna mencapai tujuan hidup dunia akhirat. [16]

E. Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah

Manusia ketika di alam arwah telah melakukan syahadah yang dusebut perjanjian ketuhanan dan fitrah Allah (din al Islam). Dengan demikian, manusia mamiliki banyak kebutuhan dalam dirinya seperti kebutuhan dakwah (kebutuhan spiritual) yang diperlukan untuk mengaktualkan syahadah ila Allah kedalam kenyataan hidup manusia sebenarnya, seperti kebutuhan materialnya, baik itu makan minum , berpakaian ataupun seks. Ataupun bukan kebutuhan material, seperti kebutuhan rasa aman, bahagia, dihargai, dicintai dan lain-lain.

F. Dakwah

Pada dasarnya, dakwah adalah upaya yang dilakukan oleh manusia yang yang berangkat dari kesadaran tauhidullah untuk membawa kembali ummat kepada tauhidullah. Manusia pada dasarnya fitri dan harus kembali kepada fitri, yang dikarenakan oleh kotoran-kotoran kekufuran, kesyirikan serta dosa dan perbuatan maksiat lainnya. Esensi tauhid, menyadar kepada diri kita, bahwa Allah itu maha esa, tidak tertandingi, tidak bisa disamakan, tempat bergantung segala macam makhluk, serba sempurna, serba maha, dan lain sebagainya.

Tauhidullah sesungguhnya mengisyaratkan adanya lima paket pengertian:
Pertama : tauhidullah, mengajarkan kita akan keyakinan atau beriman tentang adanya unity of Godhead (kesatuan ketuhanan).

Kedua : kesatuan ketuhanan ini pada konsekuensi logis berikutnya menimbulkan unity of creation (kesatuan pencipataan).

Ketiga : konsekuensi berikutnya, karena umat manusia merupakan makhluk Allah, maka tentu kita harus percaya akan adanya unity of mankind (kesatuan kemanusian).

Keempat : karena adanya kesatuan kemanusiaan, tentu ada unitu of guidance (kesatuan pedoman hidup bagi orang beriman).

Kelima : karena adanya unity of guidance, maka kita di alam fana ini akan bermuara pada akhir yang sama. Sehingga tujuan hidup umat manusia seharusnya sama secara konseptual dan teoritis, yaitu adanya unity of the purpose of life (satu kesatuan tujuan hidup).

G. Dakwah Yang Tercerahkan

Seoarang dai yang akan bertugas menyebarkan nilai-nilai Tuhan, niscaya memiliki seperangkat metode untuk menyampaikan nilai-nilai Tuhan tadi. Untuk itu, diperlukan dai-dai yang kreatif dan tercerahkan.wacana utama bagi setiap kepemimpinan dakwah melingkupi tiga dimensi. Yaitu: kebersihan atau kejernihan hati, kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Yang semuanya itu harus dimiliki oleh para dai dalam mengemban risalah Ilahi.[17]

H. Kesimpulan

Espitemologi Dakwah

Epistimologi dakwah suatu kajian filosofis tentang terhadap sumber, metode, esensi, dan validitas (kebenaran ilmu) dakwah, Sumber menjelaskan asal usul ilmu dakwah, sedangkan metode menguraikan cara memperoleh ilmu tersebut dari sumbernya.

Ketiga model epistimologi Islam, Bayani, Irfani, dan Burhani, harus diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'Shalih li Kulli Zaman wa Makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmu-ilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam kedepan.

Ontologi Dakwah

Ontologi Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah Islam dari segi hakikat dakwah islam dalam mengkaji problem ontologism dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah selain ilmu-ilmu lainnya. Hakikat da’wah islam ialah proses Internalisasi (pendalaman/penghayatan), transmisi (pemindahan), difusi(perpindahan), institusionalisasi dan transformasi dien al islam dalam totalitas kehidupan manusia mukallaf guna mencapai tujuan hidup dunia akhirat.

Daftar Pustaka

§ Hasnun Jauhari Ritonga” Landasan Epistemologi Komunikasi Islam” dalam http://manajemendakwah-iainsu-medan.blogspot.com, 2010

§ Ulil Albaab “Kajian Ontologi Dakwah Islamiyah” dalam http://pgr3gp.blogspot.com, 2009

§ Dr. P. Hardono Hadi, Epistemolgi Filsafat Pengetahuan, Penerbit Kanisius (anggota IKAPI) Yogyakarta, 2002

§ Lorens Bagus ”Kamus Filsafat” dalam www.pustaka78.com, 2009

§ M. Dahlan Yacub Al Barry ”Kamus Ilmiah Populer “ Penerbit Arkola, Yogyakarta, 2001

§ Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).

§ Al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-Arabi al-Mu`ashir, (Beirut, Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989), 59.

§ Mehsi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi,

§ Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), 29.

§ Khudori Soleh “Model-Model Epistimologi Islam” dalam http://www.scribd.com

§ Hamdan MaghribiFilsafat dan Metodologi Pemikiran Islam” dalam

http://albi4ever.blogspot.com, 2007

§ Nasrullah Menapak Jalan Spiritual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997)

§ Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994)



[1] Lorens Bagus ”Kamus Filsafat” dalam www.pustaka78.com/01 januari 2009/diakses 25 Oktober 2010

[2] M. Dahlan Yacub Al Barry ”Kamus Ilmiah Populer “ Penerbit Arkola, Yogyakarta, 2001

[3] Lihat al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Al-

Jabiri ini Guru Besar Filsafat Islam pada Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko.

[4] Al-Jabiri,Ibid, 38.

[5] Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi,al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.

[6] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994), 51-53.

Uraian tentang kasyf, lihat al-Qusyairi,al-Risâlah, 75.

[7] Syatahat dalam istilah tariqat khususiah sufiah ialah terkeluarnya perkataan dari mulut pengamal tariqat khususiah sufiah, dimana perkataan itu keluar dari mulutnya tanpa dapat ditahannya atau dalam erti yang lain ia keluar tanpa kawalan. Lihat http://shahil.wordpress.com/Mei 21, 2009/diakses 30 Oktober 2010

[8] Al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-Arabi al-Mu`ashir, (Beirut, Markaz Dirasah al-Arabiyah,

1989), 59.

[9] Mehsi Aminrazavi, Pendekatan Rasional Suhrawardi, 76 dan seterusnya. Lihat pula Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), 29.

[10] A. Khudori Soleh “Model-Model Epistimologi Islam”dalam http://www.scribd.com/islam/diakses tgl 25 oktober 2010

[11] Hamdan MaghribiFilsafat dan Metodologi Pemikiran Islam” dalam

http://albi4ever.blogspot.com/islam/ kamis, 20 September 2007/diakses tgl 25 oktober 2010

[12] Ulil Albaab “Kajian Ontologi Dakwah Islamiyah” dalam http://pgr3gp.blogspot.com/islam/28 Juni 2009/diakses tanggal 25 0ktober 2010

[13] Koherensi berarti teori untuk menguji kebenaran, M. Dahlan Yacub Al Barry ”Kamus Ilmiah Populer “ Penerbit Arkola, Yogyakarta, 2001

[14] Regularitas berarti keteraturan, M. Dahlan Yacub Al Barry ”Kamus Ilmiah Populer “ Penerbit Arkola, Yogyakarta, 2001

[15] M. Amin Abdullah, Op. cit, hlm.258-259

[16] Ulil Albaab “Kajian Ontologi Dakwah Islamiyah” dalam http://pgr3gp.blogspot.com/islam/28 Juni 2009/diakses tanggal 25 0ktober 2010

[17] Ulil Albaab “Kajian Ontologi Dakwah Islamiyah” dalam http://pgr3gp.blogspot.com/islam/28 Juni 2009/diakses tanggal 25 0ktober 2010