Oleh : Fi’atus Sholihah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan kebutuhan dasar manusia, karena agama merupakan sarana untuk membela diri terhadap segala kekacauan hidup manusia, hamper semua masyarakat menusia mempunyai agama.
Akan tetapi di sisi lain banyak ditemui dalam catatan sejarah, konflik yang terjadi akibat keangkuhan manusia yang membawa agama sebagai kepentingan nagsunya, masjid-masjid indah, gereja-gereja megah, kuil-kuil dan pura mempesona, mengapa bumi bau amis darah akibat pertempuran antar agama. Kemana ajaran ihsan, ke mana ajaran tatwan asih, kemana ajaran kasih, kemana ajaran dharma. Mengapa tidak dihayati sebagai kekuatan pribadi untuk berbuat dan membangun kesejahteraan masyarakat dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran agama sebagai factor konflik di masyarakat?
2. Bagaimana agama-agama indikasi konflik di masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad[1] : Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi[2] yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaiman pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah kepada kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb ikatan-ikatan kemanusiaan[3]. Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja menjadi salah satu factor pemicu konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.
B. Agama dan Indikasi Konflik
Factor Konflik yang ada di Masyarakat secara tegas telah dijelaskan dalam Al-qur’an seperti dalam surat Yusuf ayat 5, disana dijelaskna tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan Norma Ilahi. Atau, secara kebih jelas, disebutkan bahwa kerusakan diakibatkan oleh tangan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Rom ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia.
Salah satu cikal bakal konflik yang tidak bisa dihindari adalah adanya perbedaan pemahaman dalam memahami ajaran agama masing-masing pemeluk. Peking tidak konflik terjadi intra Agama atau disebut juga konflik antar Madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran Agama.
Ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, Agama di pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran. Kedua, Agama di pahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah[4]. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Oleh karena itu, dalam setiap agama ada istilah-istilah Dakwah, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan ajaran agama.
Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasikan bahwa agamanyalah yang paling benar. Apabila kepentingan ini di kedepankan, masing-masing agama akan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya entimen agama. Dan inilah yang kemudian melahirkan konflik antar agama, bukan intra agama.
Langkah-langkah berikut akan meminimalkan konflik agama yaitu sebagai berikut :
1. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak mempedebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.
2. Melakukan kegiatan social yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal rabbaniyah.
4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakuk karimah.
5. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah di jelaskan dapat di tarik beberpa kesimpulan :
a. Menurut Afif Muhammad : Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang di anggap garang dan menyebar konflik.
b. Konflik yang ada di masyarakat adalah akibat dari ulah manusia sendiri sebagaimana di jelaskan dalam al-qur’an surat yusuf ayat 5 dan surat al-rum ayat 41 untuk mencapai pemahaman dalam agama diperlukan dua pendekatan :
Pertama : agama di fahami sebagai suatu doktrin dan ajaran
Kedua : agama di fahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah.
B. Saran
Tiada sesuatupun yang sempurna di dunia ini. Demikian halnya dengan makalah yang penulis sajikan masih terdapat banyak kesalahan baik dalam pembahasan maupun penulisan dan itulah salah satu kekurangan penulis. Dari itu semua, kritikan pembangun kualitas seorang penulis harapkan guna perbaikan dalam [embuatan karya tulis selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung : PT. Rosda Karya.
R. Schraf, Betty. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta : Prenada Media.
Sangkana, Abu. 2006. Berguru Pada Allah. Jakarta : PT. Patrap Thursina Sejati.
[1] Arif M, Kerukunan Beragama Pada Era Globalisasi, 1997, Bandung, hlm. 1
[2] Johan Efendi. Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Mihakun Teologi Kerukunan Dalam Prisma. Jakarta. 1978. Hlm. 13
[3] Betty R, Schrarf. Sosiologi Agama, Terj. The Sociological Study Of Relegion oleh Drs. Machnun Husein. Jakarta. 2004. Hlm.35
[4] Afifi Muhammad, Op. Cit
[5] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, 2006, hlm. 151-152